Oleh: Amirul Ulum
Ibu Nyai Hj. Fahimah lahir pada tahun 1942 M / 1361 H. Beliau adalah putri dari Kiai Badlowi bin Abdul Aziz dan Ibu Nyai Hamdanah. Tahun kelahiran Ibu Nyai Hj. Fahimah ini bertepatan dengan kedatangan Jepang, yaitu tahun 1942.
Keturunan Mbah Syambu Lasem
Ketika terjadi perebutan kekuasan atas Sutawijaya (Penembahan Senopati) dengan Sultan Hadiwijaya tentang siapa yang berhak untuk meneruskan kerajaan Demak, maka ketika Raja Pajang yang di waktu itu di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya sedang dalam detik-detik ajalnya, maka sang sultan berpesan kepada anaknya, Pangeran Benowo agar mengalah dengan putra Ki Ageng Pamenahan (Sutawijaya). Wasiat itu dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Kerena antara Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dan Ki Ageng Pamenahan ini masih ada hubungan kerabat. Jabatan sultan yang seharusnya menjadi hak keturunan Sunan Pajang diberikan kepada Sutawijaya dan pusat pemerintahannya dialihkan dari Pajang menuju Mataram.
Setelah Pangeran Benowo mengalah dalam usaha untuk menduduki jabatan sebagai raja pengganti ayahnya, akhirnya beliau dijadikan adipati di Pajang. Dengan kedudukannya sebagai adipati ini, beliau menghabiskan waktunya untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan agamanya. Beliau mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang islami sebagaimana yang diajarkan oleh leluhurnya. Salah satu anaknya yang menjadi ulama dan penyebar agama Islam adalah Sayyid Abdurrahman. Beliau adalah ulama yang tidak tergiur dengan sebuah jabatan untuk meneruskan tahta ayahnya. Beliau lebih suka menyebarkan agama Islam. Daerah yang menjadi incaran beliau adalah kota Lasem, Rembang, sebuah kota kecil yang sudah maju sejak zaman dahulu. Dengan batik Lasemnya, kota Lasem dikenal hingga manca negera (Belanda). Lasem sejak zaman dahulu telah dihuni pengusaha-pengusaha China, ulama-ulama handal dan para penjajah. Sehingga, pilihan Sayyid Abdurrahman yang menjadikan kota Lasem sebagai tempat untuk berdakwahnya sangatlah tepat sekali. Sebab semakin maju sebuah daerah (dengan ditempati orang-orang China dan kaum penjajah), maka maksiat yang ada dimungkinkan akan semakin merajalela. Maka tugas seorang ulama adalah berusaha meminimalisir dan menghilangkannya setahap demi setahap hingga puncaknya kota Lasem dikenal sebagai kota santri. Semuanya ini tidak lepas dari perjuangan para ulama yang ada di Lasem, termasuk Sayyid Abdurrahman.
Di daerah pesisir pantai utara ini, Sayyid Abdurrahman menyebarkan agama Islam untuk melanjutkan jejak Sunan Bonang yang pernah menyebarkan agama Islam di Lasem. Beliau dikenal oleh masyarakat Lasem dengan sebutan Mbah Syambu. Makam beliau ada di utara Masjid Jami’ Lasem. Makam itu sampai sekarang masih banyak diziarahi orang.
Berkah sifat kezuhudan Mbah Syambu terhadap perkara dunia, pangkat atau kekuasaan, maka Allah telah memberikan ganti sebuah anugerah yang luar biasa. Banyak keturunannya yang menjadi ulama besar, seperti ulama-ulama yang ada di Lasem, Jombang (seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah), ulama-ulama yang ada di Kajen Pati dan lain-lain yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia khususnya pulau Jawa. Adapun untuk keturunan Sutawijaya kebanyakan menjadi priyayi atau pejabat sejak zaman feodalisme yang digencarkan oleh Belanda sebagai media untuk menjajah rakyat hingga sampai sekarang. Akan tetapi, ada sebagian keturunan Sutawijaya dan Kerajaan Pajang yang menjalin hubungan keluarga, yang membuahkan keturunan beberapa ulama seperti yang ada di Tegalrejo. Kebanyakan dari keturunan Sutawijaya tersebar di wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
Salah seorang ulama keturunan Mbah Syambu Lasem adalah Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz. Beliau adalah salah satu ulama Indonesia yang keilmuannya diakui di tingkat nasional dan internasional. Bukti keulamaan beliau diakui di tingkat internasional adalah bahwa ketika beliau belajar di Makkah, beliau telah diberi kepercayaan oleh ulama-ulama Makkah untuk mengajar. Sehingga, tidak mengherankan jika biografi singkat beliau dimasukkan dalam kitab ‘Alamu al-Makkiyin : 832-1399 H (The Biography of Makkah Scholars Out Standing Male and Female : 832-1399 H) karya Syaikh Abdallah Abdurrahman. Di kitab ini sejarah Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz ada di urutan 1253 dari 1522 ulama di seluruh dunia. Kitab ‘Alamu al-Makkiyin menerangkan tentang biografi singkat ulama-ulama terkemuka seluruh dunia yang pernah mukim dan berpengaruh di Makkah. Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz adalah salah satu dari dua ulama Indonesia yang menjadi pengurus Nahdlatul Ulama di awal dekade yang dicatat di ‘Alamu al-Makkiyin. Yang satunya lagi adalah Kiai Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama semenjak didirikannya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926.
Untuk bukti bahwa keulamaan Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz diakui di tingkat nasional adalah, ketika Nahdlatul Ulama mempunyai cabang organisasi Jam’iyah Ahli Thariqah Muktabarah pada 10 Oktober 1957 di Pesantren Tegalrejo, maka sosok Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz pernah diangkat untuk menjadi Rois Akbar Ifaddhiyah Thariqah Muktabarah. Amanah ini diembannya selama 12 tahun. Selain itu, bukti yang menunjukkan keulamaan beliau diakui di tingkat nasional adalah, ketika Kartoesowirjo mendirikan DI/TII karena ingin mendirikan negara Islam pada 1953, maka Presiden Soekarna meminta fatwa kepada para kiai, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama tentang keabsahannya menjadi Presiden Republik Indonesia jika dilihat dari kacamata syariat Islam. Sebab di waktu itu, umat Islam berselisih pendapat, sehingga sebagian dari mereka ada yang ingin memberontak dan ingin mendirikan negara Islam.
Menanggapi permintaan Bung Karno ini, akhirnya para kiai Nahdlatul Ulama mengadakan perkumpulan di Pesantren Denanyar Jombang (asuhan Kiai Bisri Syansuri) untuk bermusyawarah. Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz mendapat undangan untuk ikut membahasnya. Para kiai berbeda pendapat. Perdebatan berlangsung sengit sehingga terjadilah deadlock. Pemimpin sidang memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Waktu itu, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz belum mengemukakan pendapatnya. Sehingga, oleh Kiai Wahab Hasbullah beliau diminta pendapatnya tentang masalah ini.
Ketika sidang dibuka lagi, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz memberikan sebuah pendapat. Beliau mengatakan; “Soekarno, Huwa Waliyyul Amri Adloruri Bisy Syaukati (Soekarno, dia adalah Presdien RI yang sah karena darurat).“ Dari pendapat Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz ini, akhirnya musyawarah memutuskan bahwa Soekarno adalah Presiden RI yang sah karena keadaan darurat. Hasil musyawarah ini dibawa konferensi Alim Ulama di Mega Mendung, Bogor pada awal Mei 1953. Dengan pendapat Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz atas keabsahan Soekarno menjadi kepala negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka secara tidak langsung Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz telah ikut berpartisipasi meredam konflik bangsa. Padahal dengan legetimasi dari Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz ini, orang-orang Masyumi menampakkan sikap yang sinis.
Secara garis nasab, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz adalah keturunan Jaka Tingkir yang merupakan Raja Pajang pertama kali. Secara berurutan, nasab Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz adalah, Kiai Baidlowi bin Kiai Abdul aziz bin Kiai Baidlowi bin Kiai Abdul Latif__ bin Kiai Abdul Bar bin Kiai Abdul Alim bin Sayyid Abdurrahman (Mbah Syambu) bin Sultan Benowo bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya).
Dari nasab di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz adalah masih mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah Saw. Sebab, Jaka Tingkir ini adalah menantu Sultan Trenggono bin Raden Fatah. Dan Raden Fatah adalah menantu Sunan Drajat, yang merupakan salah satu anggota walisongo yang termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Mbah Syambu adalah seorang sayyid yang diambil menantu oleh Pangeran Benowo. Karena kedalaman ilmu agamanya, Sayyid Abdurrahman Basyaiban dinikahkan dengan salah seorang putri dari Pangeran Benowo. Secara berurutan, nasab Sayyid Abdurrahman Basyaiban hingga Rasulullah SAW adalah, Sayyid Abdurrahman Basyaiban bin Sayyid Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar Basyaiban bin Sayyid Muhammad Asadullah bin Sayyid Husein al-Turabi bin Sayyid Ali bin Sayyid Muhammad Shahib al-Faqih al-Muqaddam bin Sayyid Ali bin Sayyid Muhammad Shahib al-Murbath bin Sayyid Ali al-Khali’ Qosim bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Alwi bin Imam Ubaidullah bin Imam Ahmad al-Muhajir Ilallah bin Imam Isa al-Naqib bin Muhammad al-Naqib bin Imam Alwi al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fathimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.
Dalam membina rumah tangga, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz dikaruniai putra-putri sebanyak duabelas orang. Dengan istri pertama beliau, Ibu Nyai Halimah, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz diberi 2 orang putra dan 1 putri yaitu, Abdul Quddus, Abdul Bar, dan Roudloh. Setelah istri pertamanya wafat usai menjalankan ibadah haji, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz menikah lagi dengan Ibu Nyai Hamdanah. Dari pernikahan yang kedua ini, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz diberi anugerah sembilan anak, di antaranya adalah Ibu Nyai Hj. Fahimah Maimoen dan KH. Hamid Baidlowi.
Riwayat Pendidikan
Sejak usia dini, Ibu Nyai Hj. Fahimah sudah memperoleh pendidikan Islam dari orang tuanya yang kealimannya tidak diragukan lagi. Sehingga, dari didikan ini, beliau memiliki dasar-dasar agama yang kuat. Selain belajar kepada kedua orang tuanya, Ibu Nyai Hj. Fahimah juga belajar kepada Ibu Nyai Utsman (Nyai Khadijah) yaitu kakak Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz. Dari Ibu Nyai Utsman, beliau mengaji ilmu membaca al-Qur’an. Selain Ibu Nyai Hj. Fahimah yang belajar mengaji al-Qur’an kepada Ibu Nyai Ustman, ada juga anak-anak penduduk Lasem yang belajar kepadanya. Salah satunya adalah KH. Ali Ma’shum (putra Kiai Ma’shum Ahmad) yang pernah menjadi Rais ‘Am Nahdlatul Ulama.
Sejak kecil, Ibu Nyai Hj. Fahimah merupakan sosok muslimah yang menghabiskan hari-harinya dengan menjalankan aktifitas yang bermanfaat, mengaji ilmu agama baik di pesantren abahnya atau di rumah langsung dengan bimbingan kedua orang tuanya.
Bahtera Rumah Tangga
Ketika usia Ibu Nyai Hj. Fahimah beranjak 12 tahun, saat menginjak masa remaja yang masih gejolak, datanglah seorang ulama dari daerah Sarang yang berniat mempersuntingnya. Beliau tidak lain adalah Syaikhuna Maimoen Zubair. Perjodohan ini mendapatkan sambutan gembira dari keluarga Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz dan Kiai Zubair Dahlan serta Kiai Ahmad bin Syu’aib. Mereka ingin antara keluarga ulama Sarang dengan ulama Lasem bukan hanya menjalin ikatan keilmuan, namun mereka juga ingin menjalin ikatan kekeluargaan.
Ketika antara keluarga Syaikhuna Maimoen dengan keluarga Ibu Nyai Hj. Fahimah sudah saling sepakat, maka akad pernikahanpun dijalankan. Namun, untuk masalah resepsinya, kedua belah pihak keluarga itu baru melangsungkan resepsi pernikahan (Walimatul Ursy) setelah satu tahun berlalu dari waktu pernikahan tersebut.
Saat-saat indah menapaki kehidupan baru bersama sang suami tercinta, Ibu Nyai Hj. Fahimah tetap aktif mengikuti pengajian yang diasuh oleh budhe beliau sendiri (Ibu Nyai Ustman) meskipun dalam keadaan mengandung putra pertama, yakni KH. Abdullah Ubab Maimoen. Selain itu, beliau juga sempat ngalap barokah dengan mengaji kepada KH. Wahab Hasbullah yang tidak lain adalah besan Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz.
Layaknya manusia yang selalu hidup dengan beraneka ragam masalah, Ibu Nyai Hj. Fahimah juga sempat berhadapan dengan lika-liku bahtera rumah tangga yang cukup rumit, sehingga beliau mengalami furqoh selama 31 tahun, mulai dari tahun 1971-2002 M / 1391-1423 H. Selama itu beliau tinggal bersama orang tuanya di Lasem.
Di tengah kesibukan Ibu Nyai Hj. Fahimah mengasuh tujuh putra-putrinya yang masih belia yaitu KH. Abdullah Ubab, Ag. Muhammad Abid, Ng. Mas’adah, Ng. Azzah, KH. Muhammad Najih, Ng. Rofiqoh, Ng. Shobihah, beliau masih menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya yang bertepatan tahun 1981 M / 1402 H. Kemudian pada tahun 1994 M / 1415 H, beliau terpanggil kembali untuk menapakkan kaki di tanah suci yang kedua kali bersama dengan putra pertama beserta sang menantu, Nyai Hj. Roudlotul Jannah. Dan, pada tahun 1999 M, Ibu Nyai Hj. Fahimah menunaikan ibadah haji lagi. Untuk kali ini, beliau disertai dengan putra kedua beserta menantunya, yaitu KH. Muhammad Najih dan Ibu Nyai Hj. Mutammimah.
Pada tahun 2002 M / 1423 H, Ibu Nyai Hj. Fahimah rujuk kembali dengan Syaikhuna Maimoen Zubair dan kemudian beliau berpindah ke Sarang lagi bersama suami tercinta.
Kembali ke Rahmatullah
Ketika kembali lagi membina rumah tangga dengan Syaikhuna Maimoen Zubair, Ibu Nyai Hj. Fahimah beraktifitas sebagaimana layaknya istri seorang ulama. Beliau ikut berkiprah dalam mengasuh Pesantren Putri al-Anwar. Sisa-sisa umur beliau dihabiskan untuk mengajar, beribadah dan melayani suami tercinta.
Ibu Nyai Hj. Fahimah sangat gemar sekali melanggengkan dzikir. Salah satu dzikir yang beliau amalkan adalah Basyair al-Khairat. Dzikir itu beliau istiqamahkan hingga kembali ke Rahmatullah pada malam Rabu sekitar jam 11 WIS, 22 Dzulqa’dah 1432 H yang bertepatan dengan 18 0ktober 2011. Saat itu, Syaikhuna Maimoen Zubair sedang menjalankan ibadah haji. Syaikhuna Maimoen berangkat ke tanah suci sekitar 3 atau 4 hari sebelum Ibu Nyai Hj. Fahimah wafat.
Detik-detik kemangkatamnya, Ibu Nyai Hj. Fahimah hendak mengambil air wudhu untuk menjalankan ibadah shalat. Tidak lama dari peristiwa itu, beliau dipanggil ke Rahmatullah. Santri-santri yang di waktu itu sedang menjalankan rutinitas musyarawah, langsung buyar di saat mendengar kabar bahwa Ibu Nyai Hj. Fahimah telah wafat. Bacaan al-Qu’an tak henti-hentinya dilantunkan para santri dari malam hingga Ibu Nyai Hj. Fahimah dikebumikan.
Berita duka cepat tersebar hingga ke pelosok Nusantara dan Timur Tengah. Kota Sarang dipenuhi dengan banjir manusia untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ibu Nyai Hj. Fahimah. Ucapan bela sungkawa, baik melalui karangan bunga atau yang lainnya selalu berdatangan mulai dari pejabat pusat hingga rakyat biasa. Semuanya ikut berduka atas wafatnya Ibu Nyai Hj. Fahimah.
Shalat jenazah dikerjakan silih berganti hingga lebih dari 17 kali dengan gelombang jamaah yang besar, memadati Mushalla Al-Anwar. Selain itu, shalat jenazah bil ghaib juga dikerjakan di Makkah, di Dar al-Ulum dengan jumlah yang besar juga. Semoga Allah menempatkan Ibu Nyai Hj. Fahimah di surga-Nya. Amiin.[1]
[1] Tulisan ini dikutip utuh dari buku Syaikhuna wa Usratuhu karya Amirul Ulum