Oleh: Ni’amul Qohar
Rahma El Yunusiyah merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Lahir dari pasangan suami-istri Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafi’ah. Beliau lahir pada hari Jumat tanggal 20 Desember 1900/ 1 Rajab 1318, di negeri Bukit Sarungan Padang Panjang. Neneknya dari pihak ibu berasal dari negeri IV Angkat, Bukittinggi, Kabupaten Agam, yang turun ke Padang Panjang di Bukit Sarungan pada sekitar abad ke-18. Secara gen beliau berasal dari suku Sikumbang dengan kepala suku bergelar Datuk Bagindo Ma (ha) rajo.
Ayahnya merupakan seorang ulama besar di negeri Pandai Sikat, Padang Panjang yang menjabat sebagai qadi (hakim). Beliau juga seorang haji yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama 4 tahun. Seperti kakeknya Imanuddin, ayah Rahma merupakan seorang yang ahli falak dan pemimpin tarekat Naqsabandiyah. Kakek Imanuddin sendiri masih memiliki hubungan keluarga dengan Haji Miskin dari Pandai Sikat, salah seorang Hariman nan Salapan pada perang Paderi (1822-1838). Selain itu, beliau juga masih memiliki pertalian saudara dengan Tuanku Nan Pulang di Rao, ulama Minangkabau yang hidup pada masa Perang Paderi.
Dilihat dari latar belakang keluarganya, Rahma berasal dari keluarga yang tidak hanya taat agama (ulama) melainkan berasal dari keluarga yang turut berjuang dalam pembaharuan Islam di Sumatra Barat. Rahma dibimbing langsung oleh kakak sulungnya yaitu Zenuddin Labay. Lewat kakaknya ini Rahma mendapatkan banyak ilmu dan dorongan yang sangat berarti bagi perkembangan intelektualnya. Bagi Rahma kakaknya ini merupakan ulama otodidak yang terkenal sebagai pendidik dan tokoh pembaharu sistem pendidikan Islam model surau “Diniyah School-nya” (1915). Penguasaan bahasa asingnya (Inggris, Arab dan Belanda) sangat bagus sehingga dapat memudahkannya dalam mengakses literature asing sebagai modal mencetuskan ide-ide pembaharuan.
Rahma sangat hormat terhadap kakaknya, baginya Labay adalah seorang guru, pemberi inspirasi, dan pendukung cita-citanya. Rahma tidak mendapatkan pendidikan formal yang memadai, beliau hanya sempat sekolah dasar selama 3 tahun di kota kelahirannya. Meskipun begitu kemampuan baca-tulis Arab dan Latin beliau didapatkan dari kakaknya, Zaenuddin Labay dan Mohammad Rasyid. Beliau juga rajin membaca buku karangan Labay.
Rahma terkenal akan kecerdasaanya sehingga dapat mendorong dirinya untuk bersikap kritis, tidak lekas puas, dan selalu mencari hal yang baru. Seperti contoh ketika beliau tidak puas dengan sistem edukasi di Diniyah School, yang mana kurang memberikan penjelasan secara terbuka kepada siswa putri mengenai persoalan khusus perempuan. Hal ini yang membuatnya merasa perlu memperdalam pelajaran agamanya di sore hari dengan berguru kepada Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah), ayah Buya Hamka di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Beliau bersama tiga kawannya yaitu Rasuna Said dari Mininjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Alung.
Ketika terjadinya gempa bumi (28 Juni 1926) yang menyapu Padang Panjang dan sekitarnya termasuk Surau Jembatan Besi. Membuat Haji Rasul memutuskan untuk kembali ke kampungnya di Sungai Batang, Maninjau. Kejadian ini membuat Rahma melanjutkan berlajar agamanya kepada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syaikh Abdul Latif Rasyidi, Syaikh Mohammad Jamil Jambek, dan Syaikh Daud Rasyidi.

Pada usia 15 tahun Rahma dijodohkan oleh orang tuanya, lalu di tahun 1922 suaminya berkeinginan untuk menikah lagi. Ketika suaminya meminta izin untuk berpoligami, Rahma menolak keras keinginan suaminya itu. Meskipun tidak secara langsung menolaknya, ketika diberi pilihan untuk menerima atau memilih cerai, beliau memilih untuk cerai.
Setelah resmi bercerai, Rahma aktif melakukan gerakan memperjuangkan hak para perempuan. Beliau menjadi pemimpin rapat dengan para ibu-ibu di Padang Panjang. Kegiatan seperti sering mendapatkan sorotan curiga dari Belanda, sehingga membuatnya pernah dihukum dengan denda 100 gulden yang dituduh membicarakan pilitik dan menjadi anggota pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS).
Perjuangannya untuk mengangkat derajat kaum perempuan terus beliau gencarkan. Dengan bukti didirikannya Diniyah Putri School Padang Panjang pada 1 November 1923. Beliau sendiri yang mengurus sekolah tersebut atas bekal belajar kepada kakaknya.
Ketika kakaknya meninggal dunia pada tahun 1924, Rahma sangat sedih kehilangan seorang kakak yang sekaligus gurunya itu. Kakaknya telah meninggalkan bekal buat Rahma suatu prinsip yang kuat. Sebuah prinsip untuk menolak bantuan dari pemerintah Belanda dalam memajukan sekolahnya. Selain itu beliau ingin kaum perempuan berjuang sendiri terlebih dahulu sebelum meminta bantuan laki-laki. Bila kondisinya dalam perjuangan tidak tercapai-capai, baru boleh meminta bantuan lelaki.
Rahma mengumpulkan dana pembanguan sekolahnya dari bisaroh ceramahnya atau seminar ilmiahnya di berbagai kota, seperi Aceh, Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu pada tahun 1926. Jerih payahnya menuai keberhasilan, sekolahnya semakin maju hingga didirikan juga di Batavia.
Perjuangan gigih Rahma membuat Belanda semakin geram. Beliau ditanggkap tentara Belanda lalu disembunyikan di Gunung Singgalang pada 7 Januari 1949 dan dipenjara selama 9 bulan. Akhir kisah dari tokoh penuh inspiratif ini yang meninggal dunia pada 26 Februari 1969 (9 Dzulhijjah 1388 H) di Padang Panjang.
Sumber Rujukan

Jajat Burhanuddin, “Ulama Perempuan Indonesia”, 2002, Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan PPIM IAIN Jakarta.
Nur Jati, “Kala Ulama Perempuan Melawan”, 28 Juli 2018, Historia: Masa Lalu Selalu Aktual.