Oleh: Redaksi
Sayyidah Nafisah merupakan seorang ulama perempuan yang lahir di Mekkah al-Mukaramah, pada tanggal 9 Juni 762 M/ 11 Rabiul Awwal 145 H. Beliau termasuk cicit Rasulullah SAW dari jalur ayah Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA (Sayyidah Fatimah ra). Ketika masih berusia 5 tahun beliau dibawa oleh ayahnya ke Madinah untuk belajar menghafal Al-Qur’an beserta tafsirnya. Selian itu ayahnya juga sering membawanya ke Masjid Nabawi untuk menunaikan ibadah shalat dan bermunajat kepada Allah SWT. Didikan ayahnya tidak berhenti sampai di situ, Sayyid Hasan al-Anwar juga selalu mengajak putrinya ini untuk berziarah di makam Rasulullah SAW.
Tarbiyah terbaik yang diberikan ayahnya itu, membuat Sayyidah Nafisah tumbuh menjadi anak yang rajin belajar dan tekun beribadah di masjid. Meskipun beliau tidak bisa membaca dan menulis (ummi), akan tetapi kecerdasan, keluasan serta kedalaman pemahaman ilmunya tidak perlu diragukan. Zainab binti Yahya, putri saudaranya yang sering kali menyertai perjalan hidupnya memberikan penjelasan bahwa, “Bibiku (Sayyidah Nafisah) hafal Al-Qur’an dan mengetahui tafsirannya, ketika ia membaca Al-Qur’an sambil menangis yang ditutup dengan doa, ‘Ya Allah mudahkanlah aku untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim AS’.” Maksud doanya ini sebab Nabi Ibrahim AS merupakan bapak monotisme sejati, sekaligus bapak Nabi Muhammad SAW dari jalur Nabi Ismail AS.
Pada tahun 193 H, beliau bersama suaminya; Ishaq al-Mu’tamin bin Imam Ja’far ash-Shaddiq melaksanakan ibadah haji dan berniat untuk mengunjungi Mesir. Waktu itu usianya 44 tahun. Mendengar kabar baik ini, membuat penduduk Mesir sangat gembira dan antusias untuk menyambut kedatangan Sayyidah Nafisah beserta suaminya. Bahkan mereka saling berebut menawarkan binatang tunggangan untuk membawanya sampai ke tempat tinggal.
Sayyidah Nafisah bersama suaminya memutuskan untuk tinggal di rumah saudagar kaya bernama Jamaluddin. Ketika sudah berada di tempat tinggalnya ini, ada kurang lebih dari ratusan orang silih berganti mendatangi beliau. Mereka pada berkonsultasi, meminta doa mapun mendengar nasihat-nasihat ilmunya yang sangat luas ini. Lambat laun semakin bertambah banyak umat Islam menemui beliau. Hal ini membuatnya memiliki waktu yang amat sedikit untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayyidah Nafisah pun berkata, “Dulu, aku memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang perempuan yang lemah, orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid sebagai bekal akhiratku. Lagi pula rumah ini sangat sempit untuk menampung orang sebanyak itu, selain itu aku juga sangat rindu dengan makam kekekku, Rasulullah SAW.”
Penduduk Mesir merasa sangat sedih ketika mendengar berita ini. Mereka memohon agar Sayyidah Nafisah tetap tinggal di Mesir. Gubernur Mesir; Sirri al-Hakam pun turut meminta agar Sayyidah Nafisah tetap berada di Mesir, beliau melobby dengan memberikan jalan keluar untuk menyediakan tempat tinggal yang lebih luas lagi. Serta memberikan saran agar menerima tamu hanya ketika hari Rabu dan Sabtu. Selain hari itu bisa digunakan oleh Sayyidah Nafisah beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selama di Mesir banyak para fuqoha, tokoh tasawuf dan orang-orang shaleh mendatanginya untuk menimba ilmu. Di antaranya yaitu Imam Syafi’i, Imam Utsman bin Sa’id al-Mishri, Dzun Nun al-Mishri, Al-Mishri as-Samarqandi, Imam Abu Bakar al-Adfawi dan lain-lain. Sayyidah Nafisah terus mengajar dan menyebarkan ilmu di Mesir sampai akhir hayatnya. Beliau pernah bermimpi kakeknya; Rasulullah SAW yang mengatakan ‘Jangan pergi dari Mesir karena Allah akan mewafatkanmu di sana’. Mimpi ini menambah kemantapan hatinya untuk memilih tetap tinggal di Mesir.

Diceritakan karena sudah mengetahui akan wafat di Mesir, Sayyidah Nafisah menggali liang-lahatnya sendiri dan menirakatinya dengan menghatamkan Al-Qur’an ribuan kali. Sebagaian riwayat ada yang mengatakan menghatamkan Al-Qur’an sebanyak 1900 kali, 2000 kali bahkan 6000 kali. Siang dan malam selalu beliau menyempatkan diri turun ke lubang makam untuk mendaras Al-Qur’an.
Pada awal bulan Ramadhan, Sayyidah Nafisah mengalami sakit keras. Beliau mengirimkan surat kepada suaminya yang sedang berada di Madinah untuk pulang ke Mesir. Sang suami datang bersama dua anaknya yang bernama Al-Qosim dan Ummu Kultsum. Pada pertengahan awal bulan Ramadhan sakitnya semakin parah. Para Dokter datang untuk memeriksa kondisi beliau serta memberi saran agar membatalkan puasanya. Akan tetapi saran ini ditolak oleh Sayyidah Nafisah dengan berkata “Nauzubillah! Selama 30 tahun aku berdoa agar wafat dalam keadaan berpuasa, sekarang kalian menyuruhku untuk membatalkan?”.
Hingga pada pertengahan bulan Ramadhan sakitnya tak kunjung sembuh. Sayyidah Nafisah melanjutkan bacaan Al-Qur’annya di surat Al-An’am yang tepat sampai di ayat ,
(قُل لِّلَّهِۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَۚ) naiklah rohnya kehariban Allah SWT.
Wallahu’alam….
Sumber Rujukan

Muhammad Fazal Himam, “Sayyidah Nafisah, Ahlul Qur’an yang Menggali Kuburnya Sendiri”, dalam Sanad Media, diakses pada 28 Agustus 2021.
Rara Zarary, “Sayyidah Nafisah Perempuan Suci Berkaromah”, dalam Tebuireng Online, diakes pada 28 Agustus 2021.
Muhammad Alfian Budi Pratama, “Biografi Tokoh Sufi Wanita dalam Kitab ‘Manaqib Sayyidah Nafisah’”, dalam Jurnal Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Adab dan Budaya.
Imas Damayanthi, “Mengenal Sayyidah Nafisah, Guru Imam Syafi’i”, dalam Republika.co.id, diakses pada 28 Agustus 2021.
Nadirsyah Hosen, “Sayyidah Nafisah: Perempuan Suci yang Ilmuwan”, dalam Khazanah GNH, diakses pada 28 Agustus 2021.
Rira Nurmaida, “Nafisah binti Hasan al-Anwar: Guru Para Fuqoha”, dalam Thisisgender.com, diakses pada 28 Agustus 2021.