Oleh: Santri Putri Al-Munawwir Komplek L
Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah atau yang biasa disapa Ibu Nyai Zahro’ merupakan salah satu ulama perempuan yang sangat kuat dan tekun dalam menjaga Al-Qur’an. Beliau adalah putri terakhir KH. M. Munawwi bin Abdullah Rosyad dari pernikahan dengan Ibu Nyai Khodijah, Kanggotan, Gondowulung, Yogyakarta. Adapun saudara kandungnya secara berurutan yaitu Ibu Nyai Juwairiyyah, Ibu Nyai Durriyah, Ibu Nyai Walidah, KH. Ahmad, dan Ibu Nyai Zuhriyyah.
Sesuai dengan huruf awal namanya, Ibu Nyai Zahro lahir di tahun Za’, yaitu pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Jumadilakhir 1358 H/ 19 Juli 1939 M. Waktu usianya baru tiga tahun beliau sudah ditinggal ayahnya menghadap Allah SWT. Sehingga dalam proses tarbiyah mengaji Al-Qur’an mendapat bimbingan langsung oleh kakaknya, KH. Abdul Qodir Munawwir. Setelah menginjak usia dewasa beliau nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, di bawah asuhan KH. Arwani Amin sampai khatam menghafalkan Al-Qur’an. Ketika sudah selesai nyantri di Kudus, beliau kembali ke Krapyak untuk membantu ibunya dalam mengurus Rubatut Tahfidz (sekarang komplek L) bersama KH. Ahmad Munawir.
Ibu Nyai Zahro’ sangat istiqomah nderes untuk menjaga hafalan Qur’annya. Bahkan ketika ada tamu ke rumahnya, hanya ditemui sebentar guna menggurkan kewajiban menerima tamu. Setelah itu beliau meminta izin ke belakang untuk berlama-lama. Sehingga membuat sang tamu segera pamit untuk pulang, kemudian beliau melanjutkan deres Qur’annya.
Ada sebuah kisah tentang Ibu Nyai Zahro’ yang memiliki riwayat penyakit misterius, yaitu ketika melafadzkan lafadz Allah dalam al-Qur’an beliau mengalami kejang bahkan bisa sampai tidak sadarkan diri. Peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali, tetapi berkali-kali, sebab banyak sekali lafadz Allah di dalam al-Qur’an. Menurut KH. Munawwar Ahmad, pengasuh komplek L, bahwa Bu Nyai Zahro’ merupakan hamba Allah yang telah berada pada tingkatan iman tinggi. Sebagaimana firmanNya dalam surah Al-Anfat ayat 2 :
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.
Al-Qur’an yang sudah beliau hafal itu telah menjadi pedoman hidup dalam bertingkah-laku sehari-hari. Hal ini menjadikan Bu Nyai Zahro’ memiliki akhlak yang sangat bagus dan selalu bertakwa kepada Allah SWT. Ketakwaan beliau bisa dilihat dari salah satu akhlaknya yang ketika di jalan sedang berpapasan dengan lawan jenis, beliau selalu menundukkan kepala tanpa berani melihat orang yang bukan muhrimnya itu. Menjaga pandangan merupakan bukti ketakwaan kepada Allah SWT, karena hal ini bisa menimbulkan syahwat yang bisa dikatakan ke dalam zina mata.
Pada usia yang sudah 35 tahun Ibu Nyai Zahro’ belum juga menikah, padahal sudah ada banyak yang hendak mengkhitbahnya, tetapi dengan halus beliau tolak. Hingga tiba saatnya ada seorang kiai yang juga sangat terkenal kewaliannya sejak masih muda, yaitu KH. Mubasyir Mundzir, pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri. Kiai Mubasyir waktu itu usianya sudah 55 tahun tetapi juga belum menikah. Mungkin ini sudah takdir pertemuan antara dua insan yang menjadi kekasih Allah SWT.
Suatu kesempatan Kiai Mubasyir mendapatkan saran untuk melamar Ibu Nyai Zahro. Karena sama-sama belum saling kenal, maka Kiai Mubasyir meminta Gus Thoha yang merupakan salah satu murid dan keponakannya itu untuk melihat Ibu Nyai Zahro’ dengan mata batinnya. Akhirnya Gus Thoha mampu melihat Ibu Nyai Zaho’ denga mata batin jernihnya, yang hasilnya bahwa Ibu Nyai Zahro’ merupakan seekor burung merpati putih yang berparuh emas, burung merpati yang selalu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dua insan yang belum pernah bertemu dan hanya dilihat dengan mata batin yang jernih ini, akhirnya bisa menikah dan membangun keluarga yang selalu bertakwa kepada Allah SWT. Inilah sesungguhnya jodoh diridhoi Allah SWT. Dua kekasih Allah SWT yang menjaga terus ketakwaannya bertemu dan saling melengkapi. Pada akhirnya di hari Jumat akhir bulan Juni 1973 berlangsunglah pernikahan KH. Mubasyir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah dengan sederhana. Waktu itu yang mengakadkan yaitu KH. Ali Maksum, yang bertindak sebagai wali adalah KH. Ahmad Munawwir, sedangkan yang menjadi saksinya yaitu Bapak Syal’an dan Gus Thoha. Acara pernikahan ini berlangsung di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L dengan mahar sebesar 10.000 dan ditutup dengan doa yang dibacakan oleh Gus Toha.
Sumber referensi:
Tim Redaksi Komplek L, “Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah”, dalam Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 Al-Munawwir Komplek L