Oleh: Amirul Ulum
(Santri Mbah Moen Sarang)
Jarak setahun pasca didirikannya Nahdlatul Ulama (16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M), yaitu 1927, terdengar musibah besar yang menimpa Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Menantu yang sangat dicintainya telah kembali kembali ke Rahmatullah, Kiai Ma’shum Ali Kwaran. Wajar saja, jika Kiai Hasyim Asy’ari sangat bersedih sebab Pesantren Tebuireng semakin ramai kajian keilmuannya semenjak Kiai Ma’shum Ali bergabung dalam mengajar. Ialah orang yang menggagas berdirinya Madrasah Salafiyah Syafi’iyah yang menelurkan ribuan ulama pada waktu itu.
Dengan meninggalnya Kiai Ma’shum Ali maka secara otomatis Nyai Khairiyah menjadi janda. Kiai Hasyim Asy’ari tidak ingin putri tertuanya tersebut larut dalam kesedihan, terlebih ia mempunyai dua anak yang masih kecil, Abidah dan Jamilah. Untuk menghilangkan kesedihan ini akhirnya, Kiai Hasyim Asy’ari hendak mencari pengganti Kiai Ma’shum Ali. Sosok tersebut adalah Syaikh Muhaimin al-Lasemi, salah seorang pendiri Madrasah Darul Ulum dan pengajar di Masjidil Haram.
Mendapat tawaran untuk menikahi Nyai Khairiyah, maka Syaikh Muhaimin al-Lasemi meminta syarat permohonan kepada Kiai Hasyim Asy’ari agar masalah pernikahan tersebut dirembuk dengan Masyayikh Sarang, dalam hal ini adalah Kiai Syuaib Abdurrozak dan Kiai Ahmad Syuaib. Dengan senang hati Kiai Hasyim menyambut permintaan calon menantunya tersebut. Al-Lasemi tidak dapat hadir ke Nusantara sebab wadifah mengajarnya tidak dapat ditinggalkan.
Mendengar Kiai Hasyim Asy’ari bersama rombongan (Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Dahlan Jombang) akan berkunjung ke Pesantren Sarang, maka Kiai Ahmad menyuruh Kiai Zubair Dahlan untuk mengambil air kulah (jading wudu) yang nantinya dimintakan doa dan ludah kepada kiai-kiai Jombang tersebut. Air yang didoakan tadi nantinya akan diminumkan kepada Nyai Mahmudah yang waktu sedang dalam detik-detik melahirkan. Peristiwa itu terjadi tiga hari sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 M.
Berkah doa para Muassis Nahdlatul Ulama, akhirnya Nyai Mahmudah melahirkan dengan lancar pada 28 Oktober 1928 M. Bayi tersebut diberi nama Maimoen, yang kelak dikenal dengan Kiai Maimoen Zubair atau Mbah Moen Sarang. Nama Maimoen ini berasal dari mimpinya Kiai Zubair Dahlan saat istrinya sedang mengandung sekitar 7/8 bulan. Ia mimpi ditemui perempuan tua (nenek-nenek) yang memberikan pesan, “Wahai Zubair, jika kamu diberi rezeki anak laki-laki, maka namakan dia Maimoen.”
Selamat ulang tahun, kiaiku Kiai Haji Maimoen Zubair. Meskipun engkau sudah tiada, namun kami para santri dan muhibbin akan senantiasa mengingatmu, melanjutkan ajaran-ajaran yang engkau wejangkan kepada kami yang sanad keilmuannya bersambung kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Yogyakarta, 27 Oktober 2021