Oleh: Achmad Dhani
Setiap bulan Syawwal hari ke-7, adalah Haul Agung Truwolu, Kiai Dahlan Al-Mutamakkin, bertempat di Makam Agung Kedungcowek, Desa Truwolu, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan. Kiai Muhammad Dahlan Al-Mutamakkin adalah putra dari KH. Ahmad Arif Bandungsari bin K. Abu Idris Kedungcowek bin K. Abdullah Kracah bin K. Ahmad Yonoyo Kusumo Karangwetan bin K. Muhammad Endro Kusumo Gambiran-Pati, putra seorang waliyullah yang masyhur, As-Syaikh Ahmad Al-Mutamakkin, Kajen. Syaikh Ahmad Al-Mutamakkin merupakan putra dari R. Muhammad Kusumo Hadinegoro, Tuban, putra dari K. R. Abdul Khalim (Pangeran Benowo Kusumo Hadiningrat), bin Sultan Hadiwijoyo Jaka Tingkir, yang berjuluk Pangeran Ing Ngalogo Sayiding Panoto Agomo. Dengan nama asli Pangeran Abdur Rahman- Sultan Pajang.
Adapun nasab Syaikh Muhammad Dahlan dari jalur ibu yaitu putra dari Nyai Syarifah binti K. Hasan Puro Bandungsari. Dengan nasabnya yang bersambung sampai Mbah Habibah Jatisari, yang bersambung ke Mbah Sambu Lasem (Sayyid Abdurrahman). Sedangkan K. Hasan Puro adalah suami dari Nyai Samanah -putri K. Basaruddin, orang asal pamotan yang mendakwahkan Islam pertama kali di Bandungsari. Maka putrinya itu, dengan izin suaminya berpuasa selama lebih dari 40 tahun hingga akhir hayatnya. Ketika suaminya bertanya tentang puasanya itu, beliau menjawab, “Aku berharap semoga Allah mengabulkan permohonanku agar keturunan kita menjadi orang sholeh.”
Syaikh Muhammad Dahlan lahir di Bandungsari- desa yang penuh dengan ulama dan ilmu pada masanya, lahir pada tahun 1292 H atau sekitar tahun 1875 M.
Ayahandanya KH. Ahmad Arif sewaktu berhaji di Makkah, selama di sana selalu menghadiri, mendengarkan, dan tidak mau ketinggalan majlis ilmu dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan di Masjidil Haram. Ulama yang mengarang kitab bernama Mukhtashor Jiddan, Syarah Jurumiyah. Karena kecintaannya itu, beliau memohon pada Allah SWT agar dikaruniai anak laki-laki yang akan dinamai Muhammad Dahlan. Dan Allah mengabulkannya.
Syaikh Muhammad Dahlan tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu dan akhlak di bawah bimbingan ayahandanya, KH. Ahmad Arif dan pamannya, KH. Asmu’in Bandungsari. Beliau belajar dan mengkhatamkan Al-Quran serta mendalami ilmu-ilmu agama kepada para Kiai di Bandungsari. Selalu menghadiri majlis-majlis mereka di setiap pagi, sore, dan selepas sholat magrib. Beliau mempelajari kitab-kitab dasar agama Islam kepada para gurunya. Seperti kitab Safinatun Najjah, Sulamut Taufiq, Taqrib, Tafsir Jalalain, Matan Jurumiyah, dan kitab-kitab matan lainnya.
Beliau selalu bersungguh-sungguh dan giat dalam mempelajari ilmu yang berkaitan dengan adab atau akhlak yang baik. Dan berhasil menguasai ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf, dan balaghoh dalam waktu singkat. Mampu membaca dan memahami kitab tafsir, hadits, fiqih, dan berbagai ilmu ushul dengan baik dan benar di usia dini.

Beliau berakhlak luhur dengan menghiasi dirinya sifat mulia, sehingga tampak darinya cahaya keberuntungan. Banyak dari gurunya yang memberikan izin kepada beliau untuk mengajar dan memberi fatwa sedang usianya baru menginjak 20 tahun.
Beliau sering ke ulama untuk menimba ilmu dan meminta ijazah serta mendapat pandangan dari mereka. Adapun guru-guru beliau untuk menimba ilmu, sangatlah banyak. Di antaranya, sebagai guru utamanya adalah ayahandanya, KH. Ahmad Arif Bandungsari dan K. Asmu’in Bandungsari. K. Sirodj Kajen, K. Hasyim Padangan Bojonegoro, K. Nasuha Selo, dan K. Baijuru Rembang. Adapun guru futuhnya beliau yang dijadikan sandaran pegangan dalam segala urusannya adalah Al-Allamah al-Waliy as-Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan- Madura.
Beliau memiliki kegiatan dakwah dengan mendirikan dan menjalankan majlis pengajaran di desa-desa. Seperti majlis taklim bulanan di tempat Haji Azhari Wirosari. Di desa Selo dan di majlis-majlis lainnya, sebagai tempat penyampaian ajaran Islam.
Ketajaman ilmunya telah diakui oleh sahabatnya yang bernama KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng. Beliau mengatakan bahwa, “Keterangan-keterangan Syaikh Dahlan adalah keteranganku, perkataannya adalah perkataanku. Dan Syaikh Dahlan adalah seorang ‘Alim yang faqih, zuhud, dan seorang wali.”
Di antara Syaikh Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari memiliki hubungan persahabatan yang sangat dekat dan saling perhatian. KH. Hasyim Asy’ari mengunjungi Syaikh Dahlan guna mempererat tali persaudaraan sebanyak dua kali setelah perpisahan mereka di Tebuireng. Yang pertama adalah ketika di Bandungsari, yaitu kunjungan saling dukung dan menguatkan. Dalam perjumpaan itu, KH. Hasyim Asy’ari meminta pandangannya tentang rencananya mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menyetujui, membantu, dan mendukung hanya saja beliau tidak mau masuk dalam jajaran kepengurusan. Yang kedua, ketika KH. Hasyim Asy’ari mendengar kepindahannya ke desa Truwolu, membuka pondok, masjid, dan juga rumah baru. Beliau mengunjungi untuk kedua kalinya untuk memberi dukungan dan ingin melihat keadaan sahabat dekatnya itu.
Adapun orang-orang yang mengambil ilmu dari beliau adalah sangat banyak. Di antara yang paling unggul dari mereka adalah Al-Allamah K. Hambali Waturoyo, Kajen, Al-Allamah K. Sanusi Cuwaringin, Cirebon, Al-Allamah K. Abbas Buntet, Al-Allamah K. Zubair Salatiga, Al-Allamah K. Bisri Denanyar, Al-Allamah K. Thohir Purwodadi, dan Al-Allamah K. Mastur Rembang. Mereka semua berguru kepada Syaikh Dahlan, semasa beliau di Tebuireng. Saat membantu sahabatnya, yaitu Syaikh Hasyim Asy’ari. Atas perintah guru besarnya, Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan untuk mengajar dan berdakwah bersama sahabatnya itu di Tebuireng. Setelah kepulangan beliau dari Bagkalan- Madura.