Oleh: Ni’amul Qohar
Pada abad ke-21 ini, KH. Nur Rohmat merupakan seorang ulama yang sekaligus menjadi polisi. Jika ada ulama yang menjadi pejabat negara, seperti menjadi anggota DPRD, DPR, MPR, Bupati, Gubernur bahkan sampai Presiden itu sudah menjadi hal yang umum, artinya banyak sekali yang berada di posisi tersebut. Tetapi ada ulama yang sekaligus bertugas mengamankan negara, menjaga keutuhan NKRI dari kejahatan yang berintensitas suatu risiko yang sangat tinggi, beliaulah KH. Nur Rohmat, darinya terdapat samudra hikmah yang begitu luas.
Pada awalnya ketika beliau menjadi polisi mendapat duko (marah) oleh ayahnya. Sebab sang ayah, Kiai Maskuri sangat mengharapkan jika beliau menjadi kiai. Suatu takdir kehidupan memang tidak bisa ditetapkan secara mutlak melalui tangan setiap hambaNya. Allah SWT lah yang Maha Kuasa atas semua itu. Dilihat dari sejarah perjalanan hidup beliau, memang harus menjadi polisi terlebih dahulu sebelum menjadi kiai. Hal ini menandakan bahwa harapan Kiai Maskuri dikabulkan oleh Allah SWT. Meskipun sudah menjadi polisi semangatnya dalam ngaji tidak pernah pudar.
Seperti yang sudah disinggung oleh penulis di atas, ketika sudah menjadi polisi, semangat ngaji dan belajarnya tidaklah berhenti. Beliau pernah ngaji kepada KH. Dimyathi Rois Kaliwungu dan Syaikh Abdurrahman Baidlowi, menantu Syaikh Muslih Abdurrahman, Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak. Di samping ngaji kitab turost karya para ulama, beliau juga pernah mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ilmu bahasa ini merupakan ruhnya keilmuan. Ketika seseorang mampu menguasai bahasa dapat dipastikan dia akan menguasai sebuah keilmuan.
Ilmu bahasa menjadi keilmuan yang terus dibutuhkan di sepanjang perjalanan zaman. Ilmu bahasa yang beliau dapatkan dari kursus. Ilmu tata negara yang beliau dapatkan dari kepolisian, serta ilmu agama Islam yang beliau dapatkan di pesantren. Tiga ilmu ini menjadi kekuatan besar untuk hidup di zaman yang semakin modern ini. Dan beliau telah menguasai ilmu-ilmu tersebut.
Sebelum menjadi polisi, beliau pernah nyantri di Lasem yang tepatnya berada di tiga pesantren yang ada di sana. Lasem sejak zaman dahulu menjadi daerah pusat keilmuan Islam dan pusat kemajuan peradaan Islam. Ulama-ulama yang hidup di kota tersebut sangat terkenal dengan kealimannya dalam menguasai ilmu balaghah, nahwu, sorof dan lain sebagainya. Seorang ulama bangsawan yang hidup sekitar abad-17 yaitu Sayyid Abdur Rahman Basyaiban atau yang terkenal dengan nama Mbah Sumbu, merupakan ulama yang banyak menurunkan para kiai besar yang berada di Lasem maupun di daerah lain.
KH. Nur Rohmat ketika berada di Lasem pernah nyantri di Pondok Pesantren Nailul Najah, Pondok Pesantren Al-Fahriyah, dan Pondok Pesantren dan An-Nur. Tiga pondok tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat. Sang muasis Pondok Pesantren Nailul Najah yaitu KH. Fathurrohman merupakan putra KH. Zainuddin dan Ibu Nyai Hj. Mashfuriyyah. Sebelum berdirinya Pesantren Nailun Najah, KH. Zainuddin mempunyai pengajian rutin yang dihadiri oleh para masyarakat sekitar maupun luar. Baru pada masa KH. Fathurrohman yang memimpin pengajian tersebut, meneruskan perjuangan ayahnya, berdirilah Pondok Pesantren Nailul Najah, di Desa Sumbergirang, Lasem, Rembang. Setelah KH. Fathurrohman, kepemimpinan Pondok Pesantren Nailun Najah dipegang oleh KH. Huda lalu dilanjutkan lagi KH. Mudhoffar.
Selain di Pondok Pesantren Nailun Najah, KH. Nur Rohmat juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Fahrriyah. Cilak bakal berdirinya pesantren ini hampir sama dengan berdirinya Pondok Pesantren Nailun Najah, yaitu yang diawali dengan pengajian kitab di mushola oleh Kiai Shiddiq, setelah beliau hijrah ke Jember, pengajian kitabnya digantikan oleh manantunya yang bernama, KH. Abdullah Umar (ayah KH. Abdul Hamid Pasuruan), dari beliaulah berdiri Pondok Pesantren Al-Fakhriyyah. Lalu dilanjutkan oleh KH. Abdurrohim Abdullah. Perlu diketahui bahwa KH. Abdullah Umar dengan KH. Fathurrohman, masih memiliki hubungan keluarga, yaitu istri KH. Fathurrohman, bernama Ibu Nyai Hj. Asiyah, merupakan kakak KH. Abdul Hamid Pasuruan.
Selanjutnya Pondok Pesantren An-Nur, Soditan, Lasem, Rembang yang menjadi tempat beliau menimba ilmu keislaman. Pesantren ini didirikan oleh KH. Kholil, beliau merupakan sahabat karib KH. Hasyim As’ary, pendiri Nahdlatul Ulama dan juga sama-sama belajar kepada Syaikh Mahfudz at-Turmuzi. Bahkan sampai saat ini masih tersimpan dengan baik manuskrip KH. Kholil dari kitab gurunya ini yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nazhar. Setelah KH. Kholil wafat kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh Kiai Manshur Kholil yang melalui beliau ini terjalin hubungan kekeluargaan dengan pesantren Maslakhul Huda, Kajen Pati, yaitu istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Muzayyanah Mahfudz, kakak kandung KH. A.M. Sahal Mahfudz. Kiai Manshur Kholil sangat terkenal dengan kalimannya dalam bidang ilmu tafsir. Setiap bulan Ramadhan beliau sangat fasih menerangkan Tafsir Jalalain kepada para santrinya di masjid Lasem dengan metode muqaran (membandingkan dengan tafsir-tafsir lain). Pada tahun 2002, beliau pulang keharibaan Allah SWT, selanjutkan kepengasuhan pesantren diamanahkan kepada Gus Quyyum (KH. Abdul Qoyyum Manshur), hingga sekarang.
Dari di sini bisa dilihat bahwa guru-guru KH. Nur Rohmat yang berada di Lasem sangatlah ‘alim ‘alammah semuanya. Tidak hanya sekedar ngalim, tetapi juga memiliki ilmu hikmah yang sangat dalam. Setelah nyantri di Lasem KH. Nur Rohmat menjadi Polisi Brimob pada tahun 1978 M, di Srondol, Semarang. Di sela-sela kesibukannya menjadi anggota kepolisian Brimob, semangat ngajinya tidak pernah luntur begitu saja. Terbukti dengan adanya riwayat kalau beliau pernah nyantri di Kaliwungu dan Mranggen, Demak.
KH. Nur Rohmat masuk kepolisian bukanlah tanpa alasan atau tidak memiliki landasan yang kuat. Meskipun alasan ini belum pernah penulis dapatkan secara lansung dari beliau maupun dari narasumber lainnya. Di sini penulis akan berusaha mengurai dengan cara melihat dan memahami setiap apa yang beliau sampaikan kepada para santrinya maupun jamaah pengajiannya.
Sejak zaman dahulu para ulama selain menguasai keilmuan Islam juga menjadi panglima perang. Bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang yang sangat lama ini, tidak bisa dihapuskan oleh sejarah bahwa para ulama, kiai dan santri memiliki andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kita bisa melihat setelah Pangerang Diponegoro ditangkap saat melakukan perlawanan kepada Belanda dan Jepang, perjuangannya dilanjutkan oleh para murid-muridnya yang merupakan para ulama, kiai dan santri.
Bersambung…
Wallahu’alam bishowab