Oleh: Gus Zaki Abigeva
Di tahun 1976 ayah kami mendapat jatah berangkat haji dari menteri agama yang kala itu dipegang Kiai Mu’thi Ali, karena ingin berangkat berdua bersama ibu, maka ayah kemudian meminta “surat sakti” dari Mbah Bisyri Syamsuri agar dapat naik haji bersama istri. Alhamdulillah harapan itu terwujud meskipun ibu saat itu baru melahirkan putra kedua (kakanda Ahfas Faishol) yang baru berumur 4 bulan.
Waktu itu ayah-ibu kami hanya kebagian tiket pesawat dan visa saja. Untuk urusan tempat, makan dan keperluan lainnya harus mengeluarkan biaya dari kantong pribadi. Pengelolaan haji saat itu belumlah serapi sekarang. Dulu belum ada istilah maktab apalagi sektor. Pengelola haji saat itu dipegang oleh seorang syekh. Salah satu yang menjadi rujukan orang Jawa adalah Syekh Mukhtar dari Sedayu dan beberapa syekh lainnya.
Setibanya di Mekkah, ayah kemudian sowan ke beberapa ulama’ khususnya para kiai Jawa yang bermukim lama di Mekkah. Salah satunya adalah Syekh Dahlan Jampes Kediri. Saat bertandang di sana, tak sengaja beliau duduk bersama orang Arab yang sama-sama menunggu tuan rumah. Kemudian muncul dialog ringan antara keduanya, kira-kira seperti ini:
Orang arab: “Enta min (Kamu siapa)?”
Ayah: “Indunisi”.
Orang arab: “Ismak (nama kamu siapa)?”
Ayah: “Abdul Hamid”
Orang arab: “Bin?”
Ayah: “Baidhowi”
Orang arab: “Bin?”
Ayah: “Abdul Aziz”
Orang arab: “Masyaallah.. Walidak dulu pernah tinggal di rumah kakek saya. Kamu dan istrimu wajib ila baiti..”
Saat diminta paspor dan kelengkapan imigrasi ayah sempat takut, namun kemudian diyakinkan oleh Syekh Dahlan. Dari perkenalan awal inilah kemudian beliau meminta agar segala kebutuhan dan tempat tinggal ayah dan ibu kami selama di Haramain akan ia tanggung. Orang sana bilang: “ala hisabi” alias gratis. Baik ia maupun istrinya kerap berucap:
بيتي بيتَك
Sebuah peribahasa Arab yang mirip dengan pernyataan hangat dalam bahasa Indonesia, “anggap rumah sendiri”. Hingga semua oleh-oleh haji-pun tak luput dari urusan beliau dan istrinya. Semua sudah disiapkan. Dan kelak orang tersebut kami kenal bernama Syeikh Shoddiq bin Muhammad bin Hasan Asy’ari, namun kami lebih terbiasa memanggil dengan sebutan Syekh Shoddiq.
Uniknya, ia mampu berbahasa Jawa dengan lancar bahkan Jawa Krama, bahasa-bahasa lainnya juga dikuasai meski tak sefasih bahasa Jawa. Mulai Bahasa Banjar, Lombok atau bahkan Madura. Kakeknya dulu tinggal di Jabal Qubais dekat Marwa, karena kepentingan kerajaan kemudian kawasan elite tersebut digusur dan dibangun Istana raja. Di dalam rumah itulah dulunya sang kakek, Syekh Hasan Asy’ari sering menjamu bahkan menjadi jujugan santri-santri Jawa yang belajar di Mekkah kala itu. Hilir-mudiknya para kiai Jawa inilah yang menjadikan beliau mahir bahasa Jawa. Sebut saja Syekh Yasin al-Fadani, Mbah Wahab Hasbullah, Mbah Bishri Syamsuri, Mbah Baidhowi, Mbah Muhaimin, Mbah Masykuri, Mbah Bishri Musthofa dan masih banyak lagi.
Maka menjadi tidak heran jika Syekh Shoddiq hafal betul nama-nama, nasab dan manaqib ulama’-ulama’ yang pernah mukim di Mekkah mengalahkan kita-kita yang justru asli Jawa. Ingatannya begitu luar biasa tajam meski usianya udzur. Saat menceritakan kisah Syekh Yasin misalkan, beliau dengan mudah bercerita tabi’at dan keseharian termasuk sanad-sanad musalsalnya karena beliau memang gulo-wentah dengan Syekh Yasin. Begitu juga saat berkisah tentang sejarah madrasah Darul Ulum Mekkah rintisan para ulama-ulama Nusantara akan disampaikan dengan detail dan gamblang.
Kedekatan keluarga/sesepuh ayah dengan keluarga Asy’ari menjadi berkah bagi anak turunnya. Ini terbukti saat kedua putra ayah kami selama ngangsu kaweruh di Haromain beliaulah yang menjadi sponsor/penjamin (kafil)-nya. Ajibnya, beliau tidak pernah meminta bayaran sama sekali bahkan saat mengurus iqomah di kantor imigrasi beliau sendiri yang membayarkan biaya perpanjangan. Di luar sana, seorang kafil akan leluasa meminta bayaran kepada makfulnya (orang yang disponsori) dengan semena-mena. Mulai 1.000 riyal hingga belasan ribu setiap mengajukan perpanjangan.
Saking dekatnya dengan keluarga besar di Lasem, saat al-faqir menikah-pun beliau juga hadir. Begitupun saat Simbah Nyai Khoiriyyah binti Baidhowi wafat di awal tahun 2018, beliau juga ndilalah sedang kunjungan di Indonesia dan didapuk keluarga untuk memimpin doa saat pelepasan jenazah di halaman Pesantren al-Fatah Banjarnegara.
Kebaikannya tak berhenti sampai di situ, di tahun 2010 beliau pernah mengusahakan 35 kiai dan guru untuk berangkat haji. Usaha tersebut berbuah manis meskipun awalnya nyaris gagal karena visa haji yang tak kunjung datang. Ini juga yang membuat ayah kami nge-drop sebab iba dan kasihan karena kebanyakan yang akan diberangkatkan adalah para kiai dan ustadz yang kurang mampu.
Setelah visa datang, ayah kami terlanjur sakit namun tetap memaksakan berangkat bersama jamaah. Karena kondisi kurang prima, setelah pelaksanaan wuquf ayah kami dirujuk di ICU rumah sakit setempat. Namun setelah mendapat pertimbangan dari berbagai pihak termasuk dari Syekh Shoddiq dan kemudahan pengurusan kepulangan akhirnya ayah kami bisa pulang ke tanah air terlebih dahulu dari rombongan.
Ikhitiar beliau untuk memberangkatkan orang-orang menuju tanah suci tak selasai di situ. Sebab usahanya terus ditempuh, salah satunya melalui kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta. Hingga selama kurang-lebih 3 kali mampu memberangkatkan guru-guru di lingkungan pesantren kami menjalankan rukun Islam yang kelima. Termasuk juga menggratiskan beberapa orang agar bisa dapat pergi umroh.
Kini, beliau sudah dipanggil Allah. Tepatnya hari Senin 13 Dzulqo’dah 1443 Hijriyah. Segala bentuk sumbangsih dan kebaikannya semoga menjadi jariyah beliau. Shubuh hari ini (waktu Saudi Arabia) beliau disholatkan di Masjidil Haram, berlanjut dimakamkan di Pemakaman Jannatul Ma’la Mekkah berkumpul dengan Sayyidah Khodijatul Kubro, guru tercintanya Syekh Yasin al-Fadani, Sayyid Alawi al-Maliki, Sayyid Muhammad al-Maliki, Syekh Ismail al-Yamani, Syekh Muhaimin al-Lasemi dan masih banyak lagi. Serta berbaur di makam yang sama dengan Mbah Maimoen Zubair yang keduanya saling takdzim dan saling menghormati saat keduanya masih sugeng. Masih ingat dalam ingatan 3 tahun lalu, saat prosesi pemakaman Kiai Maimoen dilaksanakan. Beliau juga hadir. Satu-satunya mu’azziyin yang masuk pemakaman Ma’la dengan menggunakan mobil. Tak sedikit yang keheranan, hingga di antara kami ada yang berceletuk: “Maklum, yang punya Mekkah”.
Kini beliau-beliau sudah berkumpul bersama. Semoga yang tersisa dari kita selalu dapat tersambung (hati) dengan para sholihin dan diberi nikmat bisa disegerakan sowan dan menziarahi mereka di Ma’la nanti. Amin2…
Lahumul Fatihah…