Oleh: KH. Ma’ruf Khozin
Membaca Qur’an di dekat orang yang akan wafat atau sudah wafat bukanlah tindakan yang bodoh. Tetapi memiliki riwayat dari para ulama Salaf. Menurut Salafi yang katanya mengikuti ulama Salaf, justru mengatakan bahwa membaca Qur’an di dekat mayit (akan wafat atau sudah wafat) suatu tindakan yang bodoh.
1. Di masa Sahabat
عن الحسن عن عمر قال : احْضُرُوْا أَمْوَاتَكُمْ فَأَلْزِمُوْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَغْمِضُوْا أَعْيُنَهُمْ إِذَا مَاتُوْا وَاقْرَؤُوْا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ
Diriwayatkan dari al-Hasan dari Umar, ia berkata: “Datangilah orang yang meninggal, tuntunlah dengan kalimat Lailaaha illa Allah, pejamkan matanya jika telah mati, dan bacakanlah al-Quran di dekatnya” (Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 3/386 No 6043 dan Ibnu Syaibah 2/448 No 0882, juga diriwayatkan oleh Said bin Manshur)
Data yang melengkapi seperti di atas disampaikan oleh ulama Mazhab Hambali:
ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﺇﺫا ﻗﺮﺉ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﻴﺖ، ﺃﻭ ﺃﻫﺪﻱ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻪ، ﻛﺎﻥ اﻟﺜﻮاﺏ ﻟﻘﺎﺭﺋﻪ، ﻭﻳﻜﻮﻥ اﻟﻤﻴﺖ ﻛﺄﻧﻪ ﺣﺎﺿﺮﻫﺎ، ﻓﺘﺮﺟﻰ ﻟﻪ اﻟﺮﺣﻤﺔ. ﻭﻟﻨﺎ، ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ، ﻭﺃﻧﻪ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ؛ ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻋﺼﺮ ﻭﻣﺼﺮ ﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻭﻳﻘﺮءﻭﻥ اﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﻳﻬﺪﻭﻥ ﺛﻮاﺑﻪ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺗﺎﻫﻢ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻧﻜﻴﺮ.

Sebagian ulama berkata bahwa membaca Qur’an di dekat orang mati atau pahalanya dihadiahkan kepada mayit maka pahalanya tetap bagi pembaca Qur’an, sementara mayit seperti orang yang hadir dan diharapkan mendapat rahmat. Bagi kami adalah yang telah kami sebutkan. Dan ini adalah kesepakatan umat Islam. Sebab mereka di setiap masa dan kota berkumpul membaca Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk mayit mereka tanpa ada yang ingkar (Syekh Ibnu Qudamah Al-Mughni, 2/242)
2. Di masa Tabiin
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani:
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِى شَيْبَةَ مِنْ طَرِيْقِ أَبِى الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ مِنْ ثِقَاتِ التَّابِعِيْنَ أَنَّهُ يَقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ سُوْرَةَ الرَّعْدِ وَسَنَدُهُ صَحِيْح
“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur Jabir bin Zaid, ia termasuk Tabi’in yang terpercaya, bahwa ia membaca surat al-Ra’d di dekat orang yang akan meninggal. Dan Sanadnya adalah sahih!” (Raudlat al-Muhadditsin X/226)
3. Ahli hadisnya Aliran Salafi
Syekh Albani berkata:
وَخُلَاصَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلْوَلَدِ أَنْ يَتَصَدَّقَ وَيَصُوْمَ وَيَحُجَّ وَيَعْتَمِرَ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَنْ وَالِدَيْهِ لِأَنَّهُ مِنْ سَعْيِهِمَا ، وَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ عَنْ غَيْرِهِمَا إِلَّا مَا خَصَّهُ الدَّلِيْلُ مِمَّا سَبَقَتِ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ . و الله أعلم . (السلسلة الصحيحة – ج 1 / ص 483)

“Kesimpulannya, bahwa anak boleh bersedekah, berpuasa, berhaji, berumrah dan MEMBACA AL-QURAN untuk kedua orag tuanya. Sebab anak merupakan usaha orang tua (). Dan anak tersebut tidak bisa melakukan itu semua untuk selain orang tuanya, kecuali yang dikhususkan oleh dalil, yang telah dijelaskan” (al-Silsilah al-Sahihah, 1/483)
Syekh Albani yang dijadikan oleh para Salafi sebagai ulama ahli hadits selevel mujtahid, serta menjadi rujukan utamanya, malah terkena tuduhan bodoh juga dari mereka.