Oleh: Jeri Ardiansa
Dea Guru[1] Haji Muhammad Daud atau yang lebih akrab disapa dengan H. Daud atau Dea Imam Batudulang adalah salah satu dari sekian banyak ulama Sumbawa. Seperti halnya Dea Guru Syaikh Zaenuddin Tepal As-Sumbawi[2], Dea Guru Umar bin Abdurrasyid as- Sumbawi[3], Dea Guru Syaikh Idris bin Utsman as-Sumbawi, Dea Guru Syaikh Yusuf al-Gani bin Sawwal as-Sumbawi, Dea Guru Syaikh Ibrahim al-Khulusi as-Sumbawi sang maestro kaligrafi, Dea Guru Syaikh Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi penulis mushaf al-Quran kedua pada tahun 1838, Dea Guru Syaikh Abdurrahman bin Musa as-Sumbawi, penulis mushaf al-Quran kuno pada tahun 1864, Dea Guru Syaikh Haji Muhammad bin Sulaiman as-Sumbawi, juga sebagai penulis dua buah mushaf al-Quran, yang ditulis pada tahun 1867 dan 1869. Syaikh Muhammad Arsyad Umar as-Sumbawi, Syaikh Muhammad Umar Sumbawa.[5] Dan Dea Guru Syaikh Muhammad Ali as-Sumbawi pengarang kitab Al-yawaqit wal Jawahir dll.[6]Mushaf-mushaf al-Quran yang ditulis oleh ulama Sumbawa ini tersimpan rapi di Istana Bala Kuning, Sumbawa Besar.[4]
Dea Imam Batudulang memiliki peran penting mengajarkan agama Islam, membina dan membimbing masyarakat Batudulang menjadi masyarakat yang religius. Ia adalah guru ngaji yang selalu istikomah mentransfer ilmu agama, serta mengadakan pengajian di Masjid At-taqwa untuk masyarakat Batudulang. Batudulang saat itu dipimpin oleh seorang Demung atau Camat, yaitu Jalaludin yang istrinya bernama Siti Siyah. Sedangkan Sumbawa waktu itu sistem pemerintahannya dipimpin oleh seorang sultan, sehingga Dea Imam Batudulung hidup di era Sultan Muhammad Jalaluddin III, tahun 1883-1931,[7] dan Sultan Muhammad Kharuddin III, tahun 1931-1958.[8] Sultan Muhammad Kharuddin III bin Sultan Muhammad Jalaluddin III adalah murid Dea Imam Batudulang.[9]
Keteladanan DGH. Muhammad Daud
Keseharian Dea Imam diisi dengan hal-hal yang positif, seperti berdakwah. Ia tidak hanya berdakwah dengan lisan (ucapan) tetapi juga berdakwah dengan hal (perbuatan), seperti dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Menurut Hamka, dakwah dengan budi pekerti yang baik dan wajah yang senyum kadang-kadang lebih besar dampaknya daripada hanya dakwah dengan lisan atau mulut.[10] Dengan memiliki budi pekerti yang baik, sehingga H. Dawit menjadi insan teladan bagi masyarakat Batudulang dan murid-muridnya. Berikut beberapa contoh keteladanan Dea Imam Batudulang.
Pertama, dermawan, Dea Imam Batudulang adalah ulama yang kaya dan suka memberi harta (dermawan). Rasulullah Saw bersabda: “Orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan syurga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari syurga, dan dekat dengan neraka.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Baihaqi).[11]
Menurut cucunya, yaitu Atta Arsyad yang langsung diceritakan kepada penulis, bahwa H. Dawit memiliki emas, kerbau, kuda, sapi, ayam, dan kebun yang luas, tetapi dengan hartanya yang ia miliki tidak menjadikannya sombong dan pelit. Ia merupakan sosok orang yang suka memberi dan membantu orang lain, bahkan H. Dawit setiap selesai shalat Jumat selalu mengajak orang makan di rumahnya, dan pada bulan Ramadhan selalu mengundang masyarakat untuk berbuka puasa di kediamannya. Kebiasaan tersebut dilakukan sampai ia wafat.[12]
Kedua, memberi hadiah kepada tamu, Dea Imam Batudulang juga memiliki kebiasaan memberi hadiah kepada tamu, seperti yang diceritakan oleh Pak Abdullah kepada penulis bahwa rumah Dea Imam selalu ramai karena banyak orang yang datang bertamu. Mereka para tamu datang dengan berbagai keperluan, seperti silaturrahmi, meminta nasihat, dan belajar agama. Ketika tamunya pamit untuk pulang, Dea Imam selalu memberikan uang atau beras.[13] Gus Mus pernah berpesan “Berbahagialah mereka yang kebahagian mereka memberi, sama atau bahkan melebihi kebahagiaan mereka ketika diberi.” [14]
Ketiga, suka membaca, Dea Imam adalah sosok orang yang suka membaca, umur tidak menjadi alasan bagi Dea Imam untuk berhenti belajar, bahkan malam hari Dea Imam sedikit tidur, lebih banyak terjaga karena ia menyibukkan diri beribadah dan membaca kitab. Dea Imam memiliki banyak kitab. Menurut Atta Arsyad yang dituturkan kepada penulis, Dea Imam memiliki kitab 3-4 peti yang beliau bawa dari Makkah ketika menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu agama di sana. Dea Imam menetap di Makkah selama dua tahun setengah, sehingga ia memiliki ilmu agama yang luas.[15]
Keempat, menguasai bahasa asing, Dea Imam tidak hanya pandai berbahasa Sumbawa maupun pandai menulis satera jontal[16], tetapi ia juga menguasai bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Dengan menguasai bahasa Arab, maka Dea Imam mampu membaca kitab litelatur berbahasa Arab, seperti kitab fiqih, tauhid, ushul fiqih, tasawuf, tafsir dll. Bahasa adalah jendela ilmu, menurut Pak Atta Arsyad, Dea Imam sering menggunakan bahasa Arab, bahkan ketika membangunkan muridnya untuk shalat subuh menggunakan bahasa Arab.[17]
Kelima, Istikomah shalat berjamaah, salah satu cara membina masyarakat Batudulang oleh Dea Imam adalah memberi contoh, agar hati masyarakat tergantung kepada masjid, dalam hal ini adalah shalat di Masjid, walaupun usianya tak muda lagi dan sudah sakit-sakitan, Dea Imam selalu menyempatkan diri untuk berjamaah di Masjid. Sesuai dengan apa yang dicerikan oleh Pak Atta Arsyad kepada penulis (14-7-2020), Dea Imam selalu berjamaah di Masjid dan selalu menjaga shalat walaupun beliau dalam keadaan sakit.
Keenam menjaga pola makan dengan sedikit makan, Dea Imam Batudulang selalu menjaga perutnya dari barang yang haram dzatnya dan barang yang haram cara mendapatkannya. Karena penuntut ilmu dan ulama harus menjaga apa yang dikonsumsi dan jangan mengikuti hawa nafsu ketika makan. Mengkonsumsi barang yang haram akan berdampak di dunia dan di akhirat terhadap orang yang memakannya. Rasulullah Saw bersabda ‘’Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadapnya.” (HR. Al-tabrani).[18] Sehingga tidak heran Dea Imam menjadi ulama kharismatik, doanya terijabah, dan menjadi kekasih Allah.
Sumber Rujukan
[1] Gelar Dea Guru adalah sebutan lokal masyarakat Sumbawa untuk Kiai atau Tuan Guru.
[2] Menurut Snouck Hurgronje Syaikh Zaenuddin As-sumbawi sangat pasih berbahasa Arab dan setiap pagi selalu mengelar pengajian di Masjidil Haram dan juga mengajar di rumahnya. Majlis Syaik Zaenuddin selalu dipadati oleh pelajar di Makkah. Maulana La Eda, 100 Ulama Nusantara Di Tanah Suci, (Solo: Aqwam, 2020), h. 198.
[3] Syaikh Umar as-Sumbawi adalah guru Syaikh Ahmad bin al-Qisti, pendiri madrasah as-Segaf di Nusantara pada tahun 1909 dan Madrasah al- Athas pada tahun 1912. Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945, (Tanggerang Selatan: Pustaka Copass, 2016), h. 257.
[4] Nurdin Ranggabarani, Dea Guru Syaikh Zainuddin Tepal as-Sumbawi, (Sumbawa Besar: Yayasan Sumbawa Bangkit, 2017). h. 8-9.
[5] Syaikh Muhammad Arsyad as-Sumbawi dan Syaikah Muhammad Umar Sumbawa adalah putra Syaikh Umar Sumbawa. Maulana La Eda, 100 Ulama Nusantara di Tanah Suci, (Solo: Aqwam, 2020), h. 199.
[6] Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur:Peta dan Jejak Islam di Nusantara, ( Yogyakarta: IRCiSoD: 2020), h. 84.
[7] Era Sultan Muhammad Jalaluddin III, pada tahun 1885 terjadi perubahan bentuk pada Istana Sultan yang sekarang di kenal dengan Istana Tua, sehingga menjadi perhatian turis yang berlibur ke Sumbawa. Lalu Mantja, Sumbawa pada Masa Dulu: Suatu Tinjauan Sejarah, (Sumbawa Besar: Cv. Samratulangi, 2011), h. 121-122.
[8] Ibid. h. 122.
[9] Wawancara dengan H. Hasanuddin pada tanggal 15, Juli, 2022.
[10] Prof. Dr. Hamka, Prinsip & Kebijaksanaan Dakwah islam, (Depok: Gema Insani, 2018), h. 193.
[11] Dr. H. Abdul Wahid, M. Ag, Karena Kau Manusia. Syangi Manusia: Mewarisi perjuangan Kemanusian Gus Dur & Gus Mus, (Yogyakarta: DIVA Press, 2018), h. 193-194.
[12] Wawancara dengan Pak Atta Arsyad pata tanggal 14, Juli, 2022.
[13] Wawancara dengan Pak Abdullah pada tanggal 9, Juli, 2022.
[14] Dr. H. Abdul Wahid, M. Ag, Karena Kau Manusia. Syangi Manusia: Mewarisi perjuangan Kemanusian Gus Dur & Gus Mus, (Yogyakarta: DIVA Press, 2018), h. 187.
[15] Wawancara dengan Pak Atta Arsyad pada tanggal 14, JUli, 2022
[16] Satera jontal adalah aksara Sumbawa.
[17] Wawancara dengan Pak Atta Arsyad pada tanggal 14, Juli, 2022.
[18] NU online. Di akses pada hari Minggu, 31-Juli-2022.
Semoga sejarah ulama di Sumbawa tetap berkelanjutan, karena di tana samawa masih banyak sejarah yang belum terungkap, seolah olah tidak mau dipublikasikan, semoga dengan sejarah ulama di tanah samawa ini kita semakin banyak tahu, bahwa tanah samawa begitu banyak para ulama yang bersejarah