Oleh: Redaksi
Ning Hj. Amiroh binti KH. M. Nurul Huda Muslih, atau yang lebih dikenal dengan Ning Amiroh. Ia dilahirkan di Desa Lodan Sarang Rembang, saat ini menjadi pengasuh di salah satu pesantren sepuh yang ada di daerah Purwodadi. Tepatnya yaitu Pondok Pesantren Al Ma’ruf Bandungsari Ngaringan Grobogan. Rihlah dirosahnya di antaranya yaitu di Pondok Pesantren Arrisalah Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Ittihadul Falah Kudus/ MA Nu Banat Kudus/ Madipu TBS Kudus, dan Pondok Pesantren Hidayatul Mubatadiaat Lirboyo Kediri.
Ning Amiroh menjadi ulama perempuan yang sangat konsen dalam membahas fiqih. Terlebih tentang fiqih kewanitaan. Kajian fiqihnya telah dibagikan melalui akun media sosial peribadinya yang banyak dijadikan rujukan oleh kaum muda zaman sekarang. Dedikasinya dalam memberikan ilmu agama di media sosial sangat besar. Ia juga mendirikan sebuah kajian khusus tentang haid bagi para perempuan. Salah satu kajian fiqihnya yaitu tentang telaah hukum ta’aruf yang akan kami coba uraikan di bawah ini.
Landasan hukum mengenai ta’aruf kebanyakkan orang menggunakan dalil dari Al-Qur’an yang terdapat di dalam Surah Al-Hujarat ayat 13. Menurut Ning Amiroh Alauddin, kata ta’aruf di dalam ayat tersebut berbeda dengan konsep ta’aruf yang biasa dipahami sebagai proses sebelum pernikahan. Ulama ahli tafsir Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa maksud dari ta’aruf di dalam ayat 13 surah Al-Hujarat yaitu saling mengenal yang didasari oleh berbedanya suku, ras, maupun bangsa. Tujuannya selain untuk saling mengenal yaitu agar tidak terjadinya sikap saling acuh, saling menjauhi, memusuhi, mencela, menghina, dan ghibah yang semuanya membawa pada perseturuan atau perselisihan.
Baca juga… Ning Nadia Abdurrahman Influencer Tahfidzul Qur’an
Lalu ada lagi yang menggunakan dalil hadits riwayat Abu Daud dari Jabir bin Abdullah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika dia mampu untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya dia melakukannya.”Jabir berkata; “kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya.” (HR Abu Daud).
Hadits ini menurut Ning Amiroh tidak menunjukan dibolehkannya untuk ta’aruf. Tetapi dibolehkan untuk melihat (nadzor) orang yang akan dikhitbah.
Pembahasan mengenai hukum tentang ta’aruf masih agak buram. Di dalam Al-Qur’an dan hadist sendiri dalil yang sering dipakai terkesan terlalu dipaksakan. Sedangkan menurut kitab salaf hanya diberikan keterangan hukum sebelum masuk jejang pernikahan. Seperti dianjurkan yaitu nadzor (melihat) orang yang akan dilamar, lalu khitbah (melamar), setelah itu menikah.
Namun di dalam kitab fiqih kontemporer ada keterangan mengenai batasan ta’aruf, bisa dilihat di dalam kitab fiqih kontemporer (kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu),
والشرع أباح التعرف على المخطوبة من ناحيتين فقط الأول عن طريق إرسال امرأة يثق الخطيب تنظر إليها وتخبره بصفتها – إلى أن قال – واللمرأة أن تفعل مثل ذلك بإرسال رجال فلها أن تنظر إلى خاطبها فإنه تعجبه منه ما يعجبه منهاز. ألثانية النظر مباشرة من الخاطب للمخطوبة للتعرف على حالة جمال وخصوبة البدن فتنظر إلى الوجه والكفين والقامة.
Redaksi yang ada di atas mengatakan bahwa syara’ memperbolehkan ta’aruf atas wanita yang ingin dinikahi dari dua arah saja. Pertama, dari seseorang itu mengirimkan seorang perempuan yang adil pada wanita yang hendak dinikahi, untuk bisa melihatnya dan memberitahukan sifat-sifatnya.
Baca juga… Kumpulan Dawuh Ning Sheila Hasina
Kedua, seseorang tersebut melihat langsung pada wanita yang hendak dinikahi untuk ta’aruf (mengetahui) kecantikannya dan kesuburan badannya, maka dia melihat pada wajah dan telapak tangannya serta postur tubuhnya.
Maka selain dua hal yang sudah dijelaskan di atas tidak diperbolehkan. Seperti chatingan, video call tanpa adanya tujuan atau hajat yang jelas. Mengingat konsekuensi yang ditimbulkannya seperti nadhor (memandang lawan jenis), khalwah (berduan dengan lawan jenis) akan menimbulkan fitnah. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih (menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sedangkan pacaran berkedok ta’aruf, baik yang diteruskan ke jenjang pernikahan maupun tidak, berdasarkan hukum syariat maka tidak diperbolehkan. Meskipun praktik semacam ini bagi sekelompok masyarakat dianggap wajar, tetapi kembali lagi berdasarkan kaca mata syariat sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Zaman sekarang banyak kita temukan praktik pacaran di kalangan muda, yang lazimnya tidak hanya saling memandang, tapi lebih jauh lagi sampai saling berpegangan, hingga melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
NB
Tulisan diolah dari kajian Ning Amiroh di akun Instagram pribadinya