Oleh: M. Shalahuddin
Hari santri ditetapkan untuk pertama kali oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 22 pada tanggal 22 Oktober 2015. Penetapan ini untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran para ulama dalam membela, mempertahankan, serta ikut berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Nama-nama sekaliber Teuku Umar, Tuanku Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro, H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Panglima Soedirman, M. Natsir, dan Kiai Hasyim Asy’ari adalah sedikit contoh dari kaum santri yang berjuang dalam membela bangsa kita ini.
Tokoh-tokoh di atas tidaklah muncul begitu saja, namun ada narasi ajaran Islam yang mereka terima dari guru-gurunya di pesantren. Ajaran-ajaran Islam itu secara makna terpatri dalam jiwa sehingga terbentuk mental pejuang dalam diri mereka.
1. Cinta Tanah Air
Sebuah ungkapan yang masyhur حب الوطن من الإيمان “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman” adalah jargon yang dulu selalu digaungkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk memupuk cinta Tanah Air pada diri setiap muslim.
Apa yang dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari ini adalah mengikut akan ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW yang juga cinta kepada Tanah Air beliau yaitu Makkah dan juga Madinah. Nabi Muhammad SAW bersabda; “Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai negeri dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan berdomisili di tempat lain.” (HR. Ibnu Hibban).

Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW sudah hijrah ke Madinah beliau berdoa; “Ya Allah, buatlah aku mencintai Madinah seperti halnya aku mencintai Makkah atau bahkan lebih”. (Muttafaq Alaih).
Cinta Tanah Air begitu penting karena kemajuan atau kemunduran suatu negeri itu tergantung seberapa besar rasa cinta penduduknya terhadap negerinya. Sayyidina Umar Ra berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negri yang jelek (gersang). Dan dengan cinta tanah air pula dibangunnya negeri – negeri”. (Ruh Al-Bayan juz 6 hal. 442).
2. Punya kepedulian Sosial
Rasulullah SAW bersabda; “Tidak sempurna iman seorang di antara kalian sehingga ia bisa mencintai saudaranya seperti halnya ia mencintai dirinya sendiri”. (Muttafaq Alaih).
Dari hadits ini Rasulullah SAW ingin berpesan pada kita agar tidak mempunyai sifat individualis, yang mana iman seseorang belum dikatakan sempurna bilamana ia tidak bisa merasakan kesenangan dan kesedihan yang diterima orang lain, seperti halnya ketika kita sendiri yang merasakannya.
Dalam sistem pendidikan di pesantren para santri tidak hanya mendapatkan sebuah ilmu, namun juga bisa melihat langsung bagaimana contoh haliah sang kiai dalam kehidupan sehari-hari. Di mana juga santri bisa melihat bagaimana sang kiai tanggap dan terjun langsung ikut mengatasi problematika yang terjadi di tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah terbentuknya Nahdlatul Tujjar yang didanai dan dipelopori oleh 45 saudagar santri di bawah pimpinan Kiai Hasyim Asy’ari. Karena rasa prihatin mereka akan perekonomian penduduk pribumi yang mengalami krisis ekonomi, karena perekonomian pada waktu itu telah dimonopoli oleh para penjajah.
Dari sinilah mengapa para santri diharapkan lebih bisa masuk dan mewarnai masyarakat. Karena sedari awal mereka telah dilatih untuk peka terhadap lingkungan dan ringan tangan pada setiap orang yang membutuhkan.
3. Punya Sifat Juang Dan Loyalitas Yang Tinggi

Ungkapan “Hidup mulia atau mati syahid” adalah slogan yang sering digunakan oleh para kiai maupun santri pada masa penjajahan. Ditambah dengan menyetir ayat Al-Qur’an yang artinya;
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah : 111).
Hal inilah yang membuat para santri punya tekad kuat dalam berjuang mempertaruhkan harta dan nyawa mereka. Sehingga pada saat dicetuskannya resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 para santri menjadi garda terdepan dalam melawan tentara sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Begitulah sedikit gambaran sikap para santri pada jaman dahulu yang menjadi kunci keberhasilan mereka dalam menggapai kemerdekaan. Jiwa santri seperti inilah yang harus menjadi cermin bagi para santri sekarang yang tentunya diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk kebaikan bangsa ini. Dan tentunya tiada jalan lain untuk membangun jiwa santri kecuali dengan mengaji, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Syaikhona Maimoen Zubair dalam pengajian tafsirnya.