Oleh: Ni’amul Qohar
Sumber hukum Islam yang utama seperti Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan keterangan secara baku mengenai konsep sistem Negara Islam. Melainkan hanya menjelaskan tentang konsep susunan masyarakat yang hidup dalam bernegara. Hal ini dapat dilihat juga dari perjalanan sejarah dunia Islam, bahwa teori tentang sistem Negara Islam mengalami proses perubahan dan cenderung menyesuaikan pada situasi yang konkrit. Artinya telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada di mana Negara Islam itu berdiri, seperti yang sudah dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah hingga masa Khalifah Turki Utsmani.
Semua itu merupakan negara historis, bukan negara ideologi-teokrasi yang sudah dibakukan di dalam dua sumber hukum Islam di atas. Maka dari itu, ketika Rasulullah SAW membangun Madinah digunakannya suatu sistem yang sesuai pada situasi saat itu, dengan kata lain mengedepankan aspek manusiawi, kehidupan harmonis serta rukun atau damai yang aturannya diserahkan kepada manusia sebagai bentuk ijtihad.
Bagi Negara Indonesia dengan mayoritas pendudukanya beragama Islam telah memiliki sistem negara tersendiri atas hasil ijtihad dari para tokoh pendiri bangsa di masa lampau. Bangsa yang sudah berabad-abad hidup dalam keberagaman warna kulit, bahasa, adat budaya, serta agama menjadi modal utama oleh para pendahulu dalam membangun sistem Negara Islam.
Namun dalam perjalannya, bangsa kita ini harus menghadapi sebuah ujian yang sangat pahit. Sistem suatu negara yang sudah dirumuskan oleh para pendahulu serta sudah final tersebut, harus ditentang oleh sebagian kempok. Mereka kembali terlibat dalam pertanyaan mendasar mengenai hubungan agama dengan negara. Mulai dari kelompok yang ingin menyatukan antara agama dan negara, sampai pada kelompok yang ingin memisahkan antara negara dan agama. Keduanya sama-sama berada dalam kelompok yang ekstrem.
Kelompok yang hendak menyatukan antara negara dan agama, ingin sekali mendirikan sistem pemerintahan Islam (Daulah Islamiyah). Hal ini dipelopori oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), al-Qaedah, Ikhwanul Muslimin (IM), Isalamic State of Iraq adan Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL).
Menurut mereka runtuhnya Daulah Islamiyah merupakan kerugian dan kehancuran bagi umat Islam yang berlandaskan nilai ketuhanan di atas muka bumi. Sehingga membuat musuh-musuh Islam semakin leluasa dalam melakukan kerusakan di muka bumi dengan menuruti nafsu syahwat duniawi.
Lantas apakah sistem pemerintah Daulah Islamiyah sangat relevan diterapkan di Indonesia? Menanggapi pertanyaan tersebut, sebenarnya sudah lebih dari cukup kita jawab dengan melihat sejarah perjalanan negeri ini. Seperti halnya yang sudah dirumuskan oleh para tokoh bangsa, bahwa Negara Indonesia adalah Dar Islam bukan Daulah Islamiyah, sebab mayoritas penduduknya beragama Islam serta dapat menjalankan syari’at Islam secara bebas dan terang-terangan.
Landasan para pendiri bangsa ini merujuk pada kitab Bughayatul Mustarsyidin karya Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal Syaikh Ba’lawi yang mengatakan.
“Setiap kawasan di mana orang muslim mampu menempatinya pada masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan masa sesudahnya walaupun kakuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda), dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti ini, maka dinamakan darul harb (daerah perang) hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Demikian perlu diketahui bahwa kawasan Batavia dan bahkan seluruh Tanah Jawa (Nusantara) adalah Dar Islam (daerah Islam) karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang kafir (penjajah Belanda).”
Berdasarkan keterangan tersebut menunjukan bahwa Negara Indonesia merupakan Dar Islam bukan Daulah Islamiyah. Rumusan sistem pemerintahan ini sudah dibentuk oleh para pendahulu sesuai apresiasi dari umat muslim seluruh Indonesia. Sebuah kesepakatan karena di dalamnya terdapat jaminan bagi umat muslim untuk mengajarkan dan menjalankan syariat agama secara bebas. Maka dari itu umat Islam tidak perlu lagi merubah bahkan membuat sistem pemerintahan (Daulah Islamiyah) yang berlandaskan syariat Islam, sebab negara Indonesia dengan sistem pemerintah republik, berideologi Pancasila sudah sesuai dengan ketentuan syariat Islam melalui jalur ijtihad dari para pendahulu.
Sistem pemerintahan di Indonesia yang dirumuskan berdasarkan hasil ijtihad itu tetap memperhatikan nilai-nilai syariat yang tertuang di dalam maqashid al-syariah. Oleh karena itu, tugas berikutnya dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan yang sudah ada, harus terfokuskan pada melindungi agama (hifdz al-din), melindungi jiwa (hifdz al-nafs), melindungi akal (hifdz al-‘aql), melindungi nasab keturunan (hifdz al-nasl), dan melindungi harta (hifdz al-mal).