Oleh: Gus Zaki Abigeva
Kemarin sore, 15 Jumadil Awwal tepat diadakan haul Sayyid Chaidar bin Hasan bin Shadaqah bin Zaini Dahlan. Orang Lasem sering menyebut beliau dengan panggilan “Yik”, akronim dari sayyid (versi lidah Jowo). Lahir di Kendal pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1980 di Lasem.
Dimakamkan di komplek pekuburan Pohlandak, selatan Lasem. Marga Dahlan merupakan cabang dari al-Jaelani yang masih keturunan Rasulullah SAW, maka tak mengherankan jika di tiap haul Sayyid Chaidar dihelat turut dibacakan manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani sebagai bentuk penghormatan dan tabarruk mereka terhadap leluhurnya.
Selain aktif hidmah dan mengabdi terhadap masyarakat serta pendidikan, beliau juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Di samping itu beliau juga aktif dalam organisasi seperti Masyumi sebagai wakil ketua Masyumi Rembang, namun setelah NU dinyatakan keluar (pasca muktamar Palembang) dari Masyumi di tahun 1953 ia menjabat sebagai sekretaris di kepengurusan NU di tingkat cabang.
Menurut banyak cerita beliau sangat gulo-wentah dengan kiai-kiai Jawa, khususnya para kiai di Lasem. Bahkan saking akrabnya dengan ayah kami, jika butuh apa-apa beliau tanpa canggung sering meminta bantuan. Begitupun juga sebaliknya. Jangankan meminjam barang, meminjam uang juga sudah biasa dan lumrah.
Karya tulis dari salah satu murid Kiai Hasyim Asy’ari ini juga tak sedikit, kelihaiannya menulis tidak lepas dari gen penduhulunya yang banyak menyusun kitab serta aktifitas beliau yang pernah menjadi wartawan di Asian Press Board (APB). Di antara karya tulisnya adalah:
- Biografi Mbah Ma’shoem (1972)
- Biografi Syeikh Nawawi Al-Bantani. Merupakan karya tulis pertama tentang Syeikh Nawawi berbahasa Indonesia yang berjudul Sejarah Pujangga Islam: Syeikh Nawawi Albanteni Indonesia, diterbitkan tahun 1978.
- Biografi Sayyid Hamzah Syatho (1979), mertua beliau yang ditulis dalam bahasa jawa.
- Biografi KH. Ahmad Sanusi Sukabumi (1980). Dan beberapa arsip lainnya yang belum sempat tercetak.
Sang ayah, Sayyid Hasan bin Shadaqah bin Dahlan (w. 1922) juga bukanlah orang sembarangan. Sebelum hijrah ke Nusantara, Sayyid Hasan adalah pengajar di Masjidil Haram sekaligus juga mengajar di Madrasah Ash-Shoulatiyah Mekkah al-Mukarramah. Jejak keilmuan Sayyid Hasan bin Shadaqah juga terekam dalam kitab karangan sang paman, yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, yang berjudul “al-Atsar fi al-Istimthar”. Kitab tersebut dicetak oleh Mathba’ah Madrasah Walidah ‘Abbas di Kairo (Mesir) pada tahun 1329 H (1911 M). Di sana, nama Sayyid Hasan tercatat sebagai penyunting naskah (al-mu’tani). Tak sampai di situ, nama Sayyid Hasan juga sempat disebut dalam kitab “Tarikh Makkah” karya Syeikh Ahmad al-Siba’i yang berkisah tentang jaringan keilmuan keluarga besar Dahlani di Mekkah.

Di Kendal Sayyid Hasan menikah dengan perempuan Kaliwungu bernama Nyai Siti Zahrah binti Kiai Umar. Di sana beliau tetap istiqomah mengajar dan melahirkan beberapa santri, di antaranya adalah Kiai Abdul Hamid Kendal yang mengabadikan kemuliaan sosok sang guru dalam sebuah nadzam berbahasa Arab:
توفى حبيبي سيدي هو دحلان # إمام لبيب كل علم به سكن
جواد مهيب لم بخف لوم لائم # يحب لمولاه ويقلى لذي المنن
جليل جميل الذات في الحسن كامل # مليح السجايا حامل الحق والسنن
لقد ساد أقرانا وأبدى مآثرا # وأشدى هبات بالخفاء وبالعلن
فإني وإن بلغت في المدح والثنا # لأعجزني في المدح جهلي واللحن
خليلي قوما وابكيا لوفاته # لست وعشر شهر ست فيا حزن
وإذا طار طير النسر قلت مؤرخا # بمقعد صدق فزت شيبا أيا حسن

وسامح إلهي ما جده وجازه # بخير جزاء أنت ذا هبة ومن
وقائله عبد الحميد خويدمه # لعل به في القبر والموت يؤتمن
————-
Sedangkan keterkaitan Sayyid Chaidar bin Hasan dengan beberapa ulama’ masyhur dapat disimak dalam uraian berikut ini:
1. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mekkah (w. 1886)
Sayyid Ahmad adalah saudara dari kakek Sayyid Chaidar, yang bernama Sayyid Shodaqoh bin Zaini Dahlan. Dengan kata lain Sayyid Chaidar adalah cucu keponakan dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Mekkah. Sayyid Ahmad sendiri dikenal sebagai mufti madzhab Syafi’i di Mekkah pada zamannya. Juga berjuluk Syeikhul Islam di kawasan Hijaz di bawah naungan Daulah Usmaniyah di Istanbul Turki.
Dikenal sebagai salah satu tokoh yang pernah mengajar di Masjidil Haram, otomatis beliau menjadi rujukan para ulama-ulama dari penjuru arah yang pernah belajar di Mekkah termasuk ulama-ulama nusantara seperti: Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Kholil Bangkalan, Syeikh Sholeh Darat Semarang, Syeikh Mahfudz Termas, Syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi (makam di Syubaikah) dll.
Tak berhenti di situ, beliau juga sangat produktif menyusun kitab. Berikut adalah karya-karya emasnya:

Fitnatul Wahabiyah, Taysirul Ushul wa Tashilil Wushul ringkasan Risalah Qusairiyah, Ad-Durruts Tsamin yang berisikan biografi para pemimpin kekhalifahan Islam, Irsyadul ‘Ibad fi Fadhailil Jihad, Ad-Duras Saniyah Fir radd’ Alal Wahabiyah yang berisikan argumen dan dalil-dalil yang menentang aliran Wahabi, Asnal Mathalib yang membahas tentang paman Nabi SAW, Abu Thalib. Dan beberapa kitab lainnya.
2. Sayyid Abu Bakri bin Muhammad Syatho (w. 1893)
Dalam silsilah nasab, Sayyid Chaidar masih terbilang cucu keponakan (jalur nenek) dari Sayyid Abu Bakri Syatho, dimana nenek beliau (istri Sayyid Shadaqah bin Zaini Dahlan) adalah saudara perempuan dari Sayyid Abu Bakri Syatho pengarang kitab legendaris I’anatut Tholibin yang sangat masyhur di kalangan pesantren. Ringkasnya, Sayyid Abu Bakri Syatho adalah saudara ipar dari Sayyid Shadaqah.
Menariknya Sayyid Bakri Syatho ini memiliki 2 saudara yang juga menjadi ulama’ dan guru dari kiai-kiai di Jawa, seperti Sayyid Utsman Syatho yang menjadi guru dari Kiai Abdul Hamid al-Qudsi Kudus. Dan Sayyid Umar Syatho yang menjadi guru dari Kiai Ahmad bin Syu’aib Sarang.
3. Sayyid Abdullah bin Shadaqah Dahlan (w. 1941)
Beliau adalah paman dari Sayyid Chaidar bin Hasan bin Shadaqah, pendiri madrasah al-Khairiyyah di Garut. Beliau banyak membantu beberapa ulama Nusantara yang menjadi kawannya dalam upaya mendirikan institusi pendidikan Islam, di antaranya adalah Madrasah Nurul Islam di Jambi, juga Madrasah As’adiyah di Sengkang (Sulawesi Selatan). Hidupnya sering berkelana dan berpindah-pindah. Dari Mekkah, Sri Lanka, Singapura hingga akhirnya menetap di Garut. Sedangkan Sayyid Hasan bin Shadaqah (saudaranya) memilih menetap di Kendal.
Karya menumentalnya berjudul “Risalah al-‘Izhah wa al-Dzikra bi al-Harb al- ‘Alamiyyah al-Kubra” yang ditulisnya pada tahun 1940. Selain itu juga menyusun karangan lainnya, seperti: Irsyad Dzil Ahkam, Zubdatus Sirah an-Nabawiyyah, Tuhfatuth Thullab fi qawa’idil i’raab, Khulaashah at-Tiryaaq min samuum asy-Syiqaaq, Irsyadul Ghaafil ila mafiith thoriiqatit Tijaaniyyati minal bathil dan Fatwa fi ibthal thoriqah wahdatil wujud.
Keilmuannya semakin teruji ketika menulis kata pengantar dalam Kitab Khasyiyah at-Turmusi. Intinya, kematangan ilmiahnya tidak bisa dilepaskan dari didikan paman beliau sendiri yakni Sayyid Ahmad Zaini bin Dahlan. Sebab Sayyid Abdullah telah ditinggal wafat ayahnya sejak kecil.

4. Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi Solo (w. 1953)
Pernah berjuang bersama Sayyid Abdullah bin Shadaqah di Garut. Keduanya menjadi menantu dari Sayyid Ali al-Gadri. Jika Sayyid Abdullah menikahi Syarifah Maimunah binti Ali al-Gadri maka Habib Alwi menikah dengan Syarifah Khadijah binti Ali al-Gadri yang kemudian lahirlah Habib Anis bin Alwi al-Habsyi Solo. Awalnya Habib Anis lahir di Garut, baru kemudian di usia sekitar 9 tahun barulah diboyong ayahnya pindah ke Solo. Habib Alwi sendiri adalah putra dari shohibul maulid Simthud Duror, al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi yang haulnya rutin diadakan setiap bulan Rabiul Tsani di komplek Masjid Ar-Riyadh Kota Solo. Ringkas kata, Habib Alwi bin Ali al-Habsyi merupakan per-ipar-an dengan paman dari Sayyid Chaidar, yakni Sayyid Abdullah bin Shadaqah Dahlan.
5. Sayyid Hamzah bin Abdullah bin Umar Syatho Sedan (w. 1940)
Menurut urutan nasab, beliau ini adalah saudara dua pupu atau dalam istilah Jawa disebut mindoan dari Sayyid Chaidar. Mengingat nenek Sayyid Chaidar (istri Sayyid Shadaqah) adalah saudara dari Sayyid Umar Syatho kakek dari Sayyid Hamzah. Di samping itu, Sayyid Chaidar juga menjadi menantu dari Sayyid Hamzah dengan mempersunting Syarifah Halimah binti Hamzah Syatho.
Setiap tanggal 23 Muharrom ribuan masyarakat menghadiri haul beliau di Sedan. Kedatangan beliau ke Sedan (termasuk sebagian besar para saadah lainnya ke nusantara pada periode peralihan kekuasaan di Mekkah) sejatinya tidak lepas dari pergolakan politik di jazirah Arab kala itu. Peristiwa kudeta berdarah terhadap pemerintahan Raja Syarif Husain oleh kelompok yang kini menguasai bagian penting semenanjung Arab, menyebabkan banyak ulama’ dan habaib yang berhaluan ahlus sunnah wal jamaah keluar dari tanah suci dan memilih berdakwah di tempat bahkan negara lain termasuk Indonesia.
Wallahu a’lam
