/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Meneladani Hajjah Siti Raham: Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Buya Hamka

Oleh: Ni’amul Qohar

Kita sudah sering kali mendengar sebuah ungkapan, “Di balik kesuksesan seorang suami, terdapat peran hebat seorang istri yang menyertainya”. Pada hakikatnya ungkapan tersebut telah menunjukan betapa pentingnya peran perempuan dalam setiap lini kehidupan. Mereka tidak hanya menjadi tiang agama maupun negara, tidak hanya berperan dalam mendidik anak-anaknya, menjadi madrasah awal atas terciptanya peradaban generasi penerus bangsa. Melainkan turut mengambil peran juga di dalam menciptakan kesuksesan seorang suami. Menjadi sosok pendamping hidup yang dapat memberikan dukungan, melengkapi setiap kekurangan, serta menjadi teman perjuangan dalam membangun rumah tangga.

Kisah rumah tangga Buya Hamka bersama istrinya, Hajjah Siti Raham dapat dijadikan role model keharmonisan dalam sebuah rumah tangga. Buya Hamka sapaan akrabnya, memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sosok tokoh legendaris yang pernah dimiliki bangsa ini. Sepanjang hidupnya, Buya Hamka dikenal sebagai seorang ulama besar yang sangat gigih memegang prinsip keislaman, terlebih ketika bersangkutan dengan masalah akidah. Beliau secara tegas pernah mengatakan “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun!”, ungkapan ini disampaikannya setelah dilantik menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975. Salah satu ketegasan beliau selanjutnya dalam masalah akidah yaitu mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama.

Buya Hamka bukan ulama yang amatiran. Hal ini dibuktikan ketika beliau lebih memilih mundur dari ketua MUI daripada harus menganulir fatwanya tentang perayaan Natal bersama atas desakan menteri agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara pada waktu itu. Di samping sebagai tokoh ulama, sisi lain dari Buya Hamka yaitu dikenal sebagai seorang penulis, wartawan, sastrawan, dan politikus.

Perjuangan Rumah Tangga Buya Hamka bersama Hajjah Siti Raham

Pernikahan Buya Hamka dengan Hajjah Siti Raham terjadi pada tanggal 5 April 1929 setelah dua tahun bertunangan. Waktu itu usia Buya Hamka 21 tahun sedangkan Siti Raham 15 tahun. Pada awal-awal membangun rumah tangga, hidup Buya Hamka beserta keluarganya dijalani dalam kondisi penuh dengan keprihatinan. Ketika hendak menunaikan ibadah shalat saja harus bergantian, dikarenakan rumahnya sangat sempit. Hajjah Siti Raham yang memiliki hati mulia tersebut telah menerima kondisi yang demikian ini dengan apa adanya, tidak mengeluh bahkan menuntut di luar kemampuan Buya Hamka.

Di usianya yang masih muda, Buya Hamka bukanlah seorang pegawai pemerintah ataupun pegadang ulung. Penghasilannya hanya didapatkan dari honor menulis. Ketika Buya Hamka beserta keluarga berada di Medan, beliau memimpin sebuah majalah dengan gaji sekitar 5.000 eksemplar, serta menulis buku dengan honor yang tidak seberapa. Lalu pindah ke Padang Panjang yang bertepatan dengan terjadinya revolusi. Tentu saja perpindahan ini membuat Buya Hamka kehilangan sumber penghasilan. Akhirnya beliau setiap pagi harus keluar rumah, bertemu dengan teman-temannya yang menjadi pemimpin Muhammadiyah. Kadang sampai sore atau malam hari baru bisa pulang ke rumah. Jika mendapatkan uang langsung diberikan semuanya kepada sang istri.

Beli Buku

Menduduki jabatan sebagai Konsul Muhamadiyah Sumatra Barat, membuat Buya Hamka seringkali berkeliling di kampung-kampung pedalaman. Waktu itu tidak ada kendaraan, biasanya beliau naik bendi bahkan pernah juga berjalan kaki. Ketika menjalankan tugasnya ini, Buya Hamka bisa berhari-hari tidak pulang ke rumah.

Hajjah Siti Raham mengetahui betul kondisi perekonomian yang menimpa keluarganya. Beliau seringkali menjual harta simpanannya, seperti perhiasan, kain-kain batik halus yang dibelinya ketika masih berada di Medan. Barang-barang tersebut dijual dengan harga di bawah pasar dengan tujaun agar cepat laku, sehingga dapat digunakan untuk membeli beras serta biaya sekolah anak-anaknya. Pada suatu hari pernah Buya Hamka mengeluarkan beberapa helai kain bugisnya untuk dijual. Namun dicegah oleh sang istri dengan mengatakan, “Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja, karena Angku Haji sering keluar rumah, di luar jangan sampai Angku Haji terlihat sebagai fakir miskin.”

Pada tanggal 19 September 1948 terjadi sebuah Agresi Militer Kedua yang dilakukan oleh tentara Belanda. Atas terjadinya peristiwa tersebut, Buya Hamka membawa keluarganya untuk mengungsi di Kampung Sungai Batang. Buya Hamka sendiri selaku ketua Front Pertahanan Rakyat Sumatra Barat memiliki tugas harus berkeliling di daerah pedalaman menjadi juru penerangan rakyat. Hal ini membuat beliau tidak bisa dengan sepenuhnya menemani keluarga. Buya Hamka jarang pulang ke rumah ketika menjalankan tugasnya ini hingga berbulan-bulan.

Bertempat tinggal di kampung yang diblokade Belanda bagi seorang perempuan, Hajjah Siti Raham sangatlah berat. Hidup sendiri bersama anak-anaknya yang ditinggal oleh suami menjalankan tugas. Tidak bisa keluar walau sekedar menemui saudara. Tidak ada juga yang bisa membantunya pada waktu itu, sebab para warga sendiri banyak yang susah bahkan sampai mati kelaparan. Seringkali Hajjah Siti Raham beserta anak-anaknya makan ubi dan beras yang dimasak menjadi bubur. Anaknya yang bernama Aliyah nyaris saja menemui ajal atas kondisi yang demikian. Semua ujian hidup ini telah dilewati Hajjah Siti Raham dengan penuh kesabaran dan ketakwaan.

Selang beberapa tahun kemudian, setelah penguasaan Jepang jatuh dan mengalami masa krisis di Medan, Buya Hamka mendapatkan fitnah yang keji sehingga banyak orang yang membencinya. Melihat kondisi yang demikian, dengan tenang Hajjah Siti Raham mengambil sebuah keputusan untuk mengajak suaminya meninggalkan Kota Medan. Buya Hamka yang masih termenung di dalam kamar, sang istri menghampirnya dan berkata.

“Tak ada gunanya Angku Haji termenung seperti itu berlaru-larut. Jangan dengarkan kata orang yang marah. Sebelum kita jadi gila memikirkannya, mari kita bawa anak-anak.” Hajjah Siti Raham tidak hanya mengajak Buya Hamka untuk pindah, melainkan juga melelang barang-barang berharganya yang hasilnya bisa digunakan untuk biaya pulang ke Padang Panjang.

Sekitar pada tahun 1959 di masa pemerintahan Soekarno berkuasa, muncullah sebuah peraturan dari pemerintah yang menyuruh Buya Hamka memilih jabatan pegawai negeri golongan F atau anggota partai. Ketika Buya Hamka meminta pendapat kepada istrinya, Hajjah Siti Raham memberikan jawaban yang mengejutkan, “Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan Angku Haji sebagai pegawai, jadi Hamka sajalah.”

Jawaban Hajjah Siti Raham ini menunjukan kesederhaannya sebagai seorang istri. Ia tidak berkeinginan secara ambisi agar suaminya bisa menjadi pegawai yang ujung-ujungnya ingin menjadi kaya berlimpah harta. Buya Hamka menganggap istrinya sebagai teman perjuangan hidup sepanjang masa.  Setiap kali ketika terjadi suatu permasalahan, beliau melibatkan sang istri untuk memberikan masukan maupun keputusan.

Beli Buku

Seperti contoh juga ketika Buya Hamka diundang oleh Jenderal Nasution ke kantornya yang terjadi pada tahun 1960. Isi undangan tersebut yaitu menawarkan pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh pemerintah atas jasa Buya Hamka dalam menghimpun kekuatan rakyat Sumatra Barat dan Riau. Akhirnya Buya Hamka meminta masukan dan saran dari sang istri. Jawaban Hajjah Siti Raham, “Lebih baik Angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al-Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah.”

Berikutnya, Buya Hamka pernah juga diundang oleh Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali di kantornya pada tahun 1970-an. Pada pertemuan tersebut Prof Dr. Mukti Ali menyampaikan ucapan selamat akan diangkatnya Buya Hamka menjadi Duta Besar di Negeri Saudi Arabia. Pada waktu itu Buya Hamka tidak langsung memberikan jawaban, beliau memilih untuk meminta pendapat terlebih dahulu kepada sang istri tercinta. Hajjah Siti Raham pun mengatakan.

 “Angku Haji, umat mulai semarak saat ini. Dakwah yang semakin semarak itu semua dimulai dari Angku Haji. Di masjid  ini, apa yang Angku Haji bina telah terpancar dan dicintai umat. Apa semua yang baru ini akan ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan kegiatan sebagai Duta Besar? Sebagai Duta Besar, hampir setiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan yang diadakan oleh para Duta Besar yang berada di Arab itu. Lalu kapan waktu tersedia untuk Angku Haji mengaji Al-Qur’an yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil? Kapan waktunya untuk membaca, menambah ilmu? Kapan pula waktunya untuk menjalankan hasil ilmu yang Angku Haji dapatkan dari membaca itu? Lebih baik masjid di depan rumah ini saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan sekaligus insyaAllah diridhai oleh Allah.”

Hajjah Siti Raham sebagai seorang istri sangat paham mengenai apa yang terbaik buat suaminya, Buya Hamka. Apa yang sekiranya lebih tepat atau cocok buat karakter maupun masa depan Buya Hamka. Peran Hajjah Siti Raham atas kesuksesan Buya Hamka sangatlah besar. Ia menjadi teman perjuang hidup yang terbaik buat Buya Hamka. Memiliki sifat penyabar ketika menghadapi setiap ujian hidup, serta tetap setia berada di samping Buya Hamka apapun masalah yang telah menimpanya.

Sumber Rujukan

H. Rusydi Hamka, “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”, Penerbit Noura (PT Mizan Publika), 2016 Jakarta Selatan

Irfan Hamka, “Ayah..”, Republika, 2017, Jakarta

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *