Oleh: Ni’amul Qohar
Terlahir di lingkungan pesantren yang agamis serta progresif, dan juga mendapatkan pendidikan langsung dari sang kakek, KH. Bisri Syansuri, telah membentuk pemikiran Ibu Nyai Hj. Nafisah sejak kecil hingga di penghujung usianya. Terutama terkait pemikiran beliau mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Disebutkan dari beberapa sumber bahwa KH. Bisri Syansuri merupakan salah seorang tokoh pesantren (ulama) yang pertama kali mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum perempuan, khususnya di wilayah Jawa Timur. Inovasi tersebut terjadi di tahun 1919 M. Pada awalnya, sama seperti lembaga pendidikan pesantren lainnya, beliau mendirikan Pondok Pesantren Denanyar khusus santri putra saja. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dibukalah pendidikan khusus untuk santri putri. Hal ini membuat Kiai Bisri juga dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender pada waktu itu.
Berpijak pada didikan kakeknya inilah, membuat Ibu Nyai Hj. Nafisah turut berjuang di dalam aspek kesetaraan gender. Ibu Nyai Hj. Nafisah memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesetaraan. Bagi beliau bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berbagai perbedaan baik yang bersifat individual maupun sosial. Termasuk wujud dari perbedaan individual ini adalah jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan perbedaaan sosial diwujudkan dalam bentuk bangsa dan etnis (suku). Namun dalam fungsi dan posisinya masing-masing, mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti adanya ikatan agama, ikatan idiologi, ikatan bangsa (suku), dan lain-lainnya. Adanya ikatan tersebut bukan berarti perempuan tidak bisa melakukan kegiatan/ aktifitasnya menjadi terhambat. Akan tetapi justru memberikan peluang kepada perempuan untuk mengambil alternatif terbaik dalam melakukan kreatifitasnya.
Ibu Nyai Hj. Nafisah Sahal Mahfudz, atau yang biasa disapa Ibu Nyai Nafisah merupakan salah satu tokoh ulama perempuan dari lingkungan pesantren. Lahir di Jombang pada 8 Februari 1946 M dari pasangan KH. Abd Fattah bin Hasyim Idris dan Ibu Nyai Hj. Musyarofah Fattah binti Bisri Syansuri. Ayahnya merupakan tokoh pendiri Madrasah Mu’alimin Mu’allimat yang berlokasi di Tambak Beras. Bersama dengan istrinya turut juga mendirikan Pondok Pesantren Putri al-Fathimiyyah yang berlokasi sama di kota santri (Jombang).
Hidup di lingkungan pesantren membuat Ibu Nyai Nafisah sejak kecil mendapatkan pendidikan tentang keislaman. Ketika umurnya masih 4 tahun, sang kakek KH. Bisri Syansuri memberikan tarbiyah dasar-dasar ilmu pesantren. Lalu memasuki umur ke-8 tahun, ia menempuh pendidikan dasar hingga menengah atas di madrasah yang telah didirikan serta diampu oleh ayahnya sendiri. Lepas dari Madrasah Mu’allimat Tambakberas tersebut, beliau kembali melanjutkan pendidikannya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ibu Nyai Hj. Nafisah selama di kota pelajar bertempat tingal di pesantren yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. M. Tolchah Mansoer, pendiri Ikatan Pelajar NU (IPNU). Ia juga pernah menimba ilmu kepada KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta ketika berada di bangku perkulihan. Waktu itu mata kuliah yang diajarkan oleh KH. Ali Maksum adalah tafsir.
Ketika masih menempuh pendidikan sarjana, ayahnya menikahkan Ibu Nyai Nafisah dengan salah seorang putra Kiai Mahfudz, yakni KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh Kajen, Pati, Jawa Tengah. Meskipun sudah berposisi sebagai seorang istri, Ibu Nyai Nafisah tetap melanjutkan pendidikan di bangku perkulihan. Ia pun menjalani hubungan jarak jauh dengan sang suami yang penuh keromantisan dan kesabaran. Perjuangan yang sangat gigih ini akhirnya membuahkan hasil, ketika Ibu Nyai Nafisah berhasil lulus dari Fakultas Syariah pada tahun 1968 M.
Kiprah perjuangannya di masyarakat sangatlah besar. Ia berusaha menjangkau masyarakat dimanapun tempatnya, bahkan sampai melakukan pergerakan door to door. Selain berdakwah di lingkungan sekitarnya (masyarakat), ia turut mendidik para santri di Perguruan Islam Mathali’ul Falah sejak tahun 1972 M. Selanjutnya Ibu Nyai Nafisah tercatat sebagai pendiri Pesantren al-Badi’iyyah, Kajen, dan menginisiasi berdirinya lembaga pendidikan terpadu Sekolah An Nismah.
Di tengah kesibukannya berdakwah di masyarakat, mendidik para santrinya, menjadi ibu rumah tangga, Ibu Nyai Nafisah kembali melebarkan sayap perjuangannya dengan masuk ke dalam organisasi Nahdlatul Ulama, khususnya Muslimat NU. Ia pernah mendapat amanah menjadi ketua Muslimat NU sekitar, selama dua periode, yaitu pada tahun 1976-1982, dan 1982-1987. Pada masa berikutnya ia diberi kepercayaan lagi untuk memimpin organisasi yang sama, namun di lingkup yang lebih luas, yaitu di kepengursan wilayah Jawa Tengah, selama 12 tahun (1993-2005).
Pergerakan Ibu Nyai Nafisah dalam berjuang di masyarakat terbilang sangatlah progresif. Ia seringkali melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya dengan BKKBN dalam rangka bersosialisasi tentang kesehatan, reproduksi, kependudukan, dan alat kontrasepsi. Semua kegiatan tersebut memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat setempat, terutama bagi para anggota muslimat. Atas kerjasama dengan BKKBN ini, Ibu Nyai Nafisah terpilih sebagai satu-satunya ulama perempuan yang menjadi pembicara dalam Traveling Seminar di Sulawesi. Waktu itu ia ditemani oleh Kiai Sahal, suaminya untuk berkeliling Indonesia hingga kawasan Asia.
Ibu Nyai Nafisah juga turut berjuang di dalam dunia politik. Tercatat ia pernah menjadi satu-satunya perempuan yang berada di jajaran anggota DPRD II dari Partai Islam. Namun pada periode selanjutnya, ia memutuskan untuk tidak maju lagi dalam ranah politik. Meskipun dukungan dari berbagai pihak silih berdatangan. Menurut Ibu Nyai Nafisah, jabatan merupakan suatu amanah yang tidak bisa dibuat main-main.
Kali ini dukungan dari berbagai pihak yang sangat kuat untuk dirinya agar maju di dunia politik tidak bisa ditolak. Terlebih sang suami tercinta turut juga memberikan dukungan. Akhirnya ia maju dalam pemilihan calon anggota DPD dalam masa jabatan 2004-2009. Ibu Nyai Nafisah berhasil memperoleh suara terbanyak di antara para anggota DPD RI se-Indonesia.
Pada kurun waktu lima tahun ketika menjabat sebagai anggota DPD RI, Ibu Nyai Nafisah selalu berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Posisinya sebagai abdi masyarakat, istri, ibu, dan guru menjadi tantangan tersendiri bagi Ibu Nyai Nafisah. Ia harus bolak-balik dari Pati ke Jakarta dalam sepekan. Waktunya telah dibagi empat hari di Jakarta, dan tiga hari di Pati. Atas kerja kerasnya inilah, Ibu Nyai Nafisah telah mengajarkan kepada kita bahwa berjuang bisa dilakukan dimanapun tempatnya, serta apapun posisinya, gender bukanlah suatu penghambat bahkan penghalang.
Ibu Nyai Hj. Nafisah pernah mendapatkan penghargaan di dalam tingkat nasional. Pada tahun 2004, ia mendapat penghargaan sebagai Eksekutif Berprestasi dan Citra Kartini Indonesia. Setahun berikutnya, ia kembali mendapatkan anugrerah Men an Women of The Year. Sedangkan di dalam lingkungan organisasi NU, posisinya sekarang adalah sebagai mustasyar PBNU, sebuah posisi yang selama ini seringkali dihuni oleh kaum laki-laki.
Sumber Rujukan
Hasna A. Fadhilah, “Nafisah Sahal”, dalam Kupi Pedia Ensiklopedi Digital KUPI, 10 November 2021, https://kupipedia.id/index.php/Nafisah_Sahal