Oleh: Amirul Ulum
Ketika Kiai Zubair Dahlan wafat (15 Ramadhan 1389 H/ 25 November 1969 M), seolah punjering jagad keilmuan (di Jawa Tengah) di waktu itu telah tiada. Banyak kiai dan santri yang berduka. Ada salah satu santri yang berlebihan dalam menangisinya di hadapan Kiai Baidlowi Lasem.
“Ya Allah….” Sang santri meratap
“Bagaimana ini, Mbah. Mbah Ber sampun kapundut. Yang sepuh-sepuh sudah habis (meninggal). Bagaimana nasib kami ini, Mbah..” lanjutnya meratapi di hadapan Kiai Baidlowi Lasem.
Dengan tenang Kiai Baildowi Lasem menjawab, “Tidak usah kau tangisi berlebihan. Tunggu saja, nanti yang muda-muda juga akan tua.”
Dari cerita di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa kita yang masih muda atau para santri yang masih dalam tahap belajar harap bersungguh-sungguh dalam mengaji, menyerap ilmu para kiainya, karena kelak kita akan menjadi tua, menggantikan estafet ke-kiai-an. Para santri akan menjadi kiai yang akan menularkan keilmuan kepada para santri berikutnya dan seterusnya.
Tentunya sangat berbeda, santri yang sregep dengan yang tidak sregep. Tentunya sangat berbeda, santri yang menyiapkan bekal keilmuan dengan yang tidak. Jangan hanya berpikir kita bangga mengaji kepada guru yang alim, namun alangkah baiknya kita juga memikirkan, apakah guru kita bangga mempunyai santri seperti kita.

Yogyakarta, 20 Desember 2022