/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Biografi KH. Masbuhin Faqih Cahaya dari Suci

Oleh: Siti Mir’atul Af’idah

Siapa yang tidak kenal dengan Yai Buhin. Ulama kharismatik yang masyhur dengan ketawadhuannya. Pesantrennya memiliki beberapa cabang yang tersebar di berbagai penjuru daerah. Nama lengkapnya adalah KH. Masbuhin Faqih atau lebih familiar dengan panggilan Yai Buhin. Beliau merupakan putra dari Al-Maghfurlah KH. Abdullah Faqih dan Hj. Tswaibah. Dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1947 Masehi atau lebih tepatnya tanggal 18 Shafar 1367 Hijriyah. Yai Buhin merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Beliau tinggal di sebuah desa kecil, yaitu Suci, Manyar, Gresik. Sejak kecil, orang tuanya selalu mengajarkan kesederhanaan dalam hidup.

Beliau dikaruniai 12 anak, 9 putra dan 3 putri yakni: Agus H. Fahrul Anam, Agus H. Zainul Huda, Agus H. Muhammad Ma’ruf, Neng Hj. Azizah, Agus H. Achmad Suhaimi, Agus H. Majduddin, Neng Hj. Musyafa’ah, Agus H. Muhammad Anas, Neng Hj. Khodijah, Agus Muhammad (alm), Agus Muhammad Zakiyul Fuad dan Agus Muhammad Ainun Naim. Semua putra putrinya sejak kecil dididik untuk mencintai ilmu dan berakhlak yang luhur. Beberapa anak beliau belajar di Al-Ahqaf, Yaman yang diasuh oleh Habib Abdullah Baharun selama bertahun-tahun. Beliau juga sangat dekat dengan Habib Baharun, sehingga tidak heran jika Pesantren Mambaus Sholihin menjalin kerjasama yang baik dengan Al-Ahqaf.

KH. Masbuhin merupakan sosok ulama kharismatik yang mencerminkan seorang murabbi yang rabbani. Tersebarnya santri-santri beliau di berbagai penjuru daerah dan berkiprah di masyarakat tentu cukup untuk membuktikan hal tersebut. Beliau memiliki silsilah yang mulya dan agung, yakni sampai ke Sunan Giri dan merupakan keturunan ke-12 dari kanjeng Sunan Giri Syeikh Maulana Ishaq. Dengan runtutan sebagai berikut: Syaikh Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Sunan Dalem – Sunan Prapen – Kawis Goa – Pangeran Giri – Gusti Mukmin – Amirus Solih – Abdul Hamid – Embah Taqrib – Muhammad Thoyyib – Abdullah Faqih – KH. Masbuhin Faqih.

KH. Masbuhin sering menyampaikan dalam tausiyahnya terkait riwayat pendidikan beliau serta perjuangannya ketika masih nyantri. Beliau mulai mondok pertama kalinya pada tahun 1959 di pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Berawal dari pesantren inilah, beliau mendapatkan banyak ilmu, pengalaman, serta memperdalam ilmu bahasa Arab dan Inggris. Pengalaman belajar di pesantren Gontor yang juga melatar belakanginya menjadikan pesantren Mambaus Sholihin sebagai pesantren yang berbasis bahasa Arab dan Inggris.

Setelah empat tahun belajar di pesantren Gontor, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Langitan, tepatnya pada tahun 1963. Yai Buhin diantar dan dipasrahkan langsung oleh ayahnya kepada pengasuh, Romo Yai Abdul Hadi.

Suatu ketika, KH. Masbuhin didawuhi oleh Yai Abdul Hadi, Sekarang aku tidak akan memerintahkanmu untuk tirakat sebagaimana dulu aku tirakat di pesantren. Sebagai gantinya, jangan sampai kamu meninggalkan sholat berjamaah bersamaku”. Sejak saat itu, beliau bertekad untuk selalu berjamaah dengan kyai dalam keadaan apapun. Beliau yakin, bahwa di antara tunduk dan taat kyai ada barokah yang luar biasa. Karena ridho guru dan fadhilah berjamaah juga tentunya.

Beli Buku

Selama mondok di pesantren Langitan, KH. Masbuhin tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat berjamaah di belakang imam. Bahkan, beliau sering diutus menggantikan posisi imam sholat berjamaah dan memimpin pembacaan wirid ketika kyai berhalangan. Tirakat sholat berjamaah itu akhirnya juga turut diterapkan di pesantrennya. Ketika penulis masih nyantri di pesantren Mambaus Sholihin, tidak sekalipun mengetahui beliau absen memimpin jamaah sholat fardlu meski dalam keadaan kurang sehat. Bahkan, agenda apapun yang sedang berlangsung di pesantren, harus dihentikan ketika masuk waktu sholat dan semua santri wajib berjamaah. Betapa gigihnya beliau menanamkan nilai pentingnya berjamaah di hati para santri.

Setelah empat tahun nyantri di Langitan, Allah s.w.t menguji ekonomi keluarga KH. Masbuhin. Orang tua beliau tidak memiliki penghasilan sama sekali, bahkan tidak bisa mengirim uang saku untuk beliau di pesantren. Akhirnya, dengan terpaksa beliau memutuskan untuk boyong dari pesantren. Yai Buhin memberanikan diri matur kepada romo Yai Hadi untuk boyong, namun tidak diizinkan. Beliau hanya diizinkan untuk pulang sementara dan kembali ke pesantren jika keadaan telah membaik. Begitu pula ketika beliau meminta izin boyong kepada Yai Ahmad Marzuqi dan Yai Faqih, beliau hanya diizinkan istirahat sementara dan segera kembali ke pesantren.

Beberapa hari di rumah tanpa ada kesibukan, KH. Masbuhin mencoba ikut mengajar sekolah di Tanggul,  yang ketika itu di bawah kepemimpinan Yai Abdul Majid. Setelah satu minggu mengajar di Tanggul, beliau bermimpi bertemu Romo Yai dalam tidurnya yang mengutus untuk kembali ke pesantren Langitan. Mimpi tersebut diceritakan kepada ayahnya dan langsung diperintah untuk kembali. “Bawa dan juallah arloji ini setelah sampai di pesantren nanti, nak. Bapak tidak mempunyai apapun untuk diberikan padamu kecuali satu arloji ini”.

Akhirnya beliau kembali ke pesantren Langitan dengan bekal seadanya. Demi memenuhi kebutuhan dan biaya hidup selama di pesantren, beliau ikut mengajar di madrasah Attahdzibiyyah, Babat. Namun, ketika Yai mengetahuinya, beliau langsung dilarang lalu diutus untuk mengajar para santri Langitan. Waktu itu mengajar di Langitan tidak ada bisyaroh atau gajinya, semua lillahi ta’ala, sedangkan beliau sangat butuh biaya. Akhirnya Kiai Buhin menceritakan keadaannya pada Yai dan beliau mendapat nasihat Dulu ketika aku masih di pondok, Allah mengujiku dengan sakitnya orang tuaku sampai beliau tidak mampu mengirim uang untukku selama tiga bulan. Selama itu pula aku hanya makan buah duku. Tapi berkah semua itu aku berhasil menghatamkan hafalan nadhom al-Fiyah dalam waktu singkat. Sampai sekarang aku masih hafal dan paham”. Sejak saat itu, Yai Buhin yakin dan sam’an wa tho’atan. Beliau akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar di madrasah Attahzibiyyah dan fokus di madrasah Langitan.

Beliau diamanahi memegang madrasah Langitan dan mengatur masalah keuangan. Sampai pada akhirnya tahun 1980, Yai Abdullah Faqih memerintahkan beliau untuk pulang dan mendirikan pesantren di rumahnya, namun beliau masih mempetimbangkannya. Hal ini didasari rasa kekhawatiran akan munculnya nafsu (hubb al-talamidz), karena mendirikan pesantren harus benar-benar didasari oleh ketulusan hati untuk menegakkan agama Allah.

Berkat dorongan dari guru-gurunya serta keinginan luhur untuk menegakkan agama Allah, maka didirikanlah sebuah pesantren yang kini terkenal dengan nama Mambaus Sholihin. Pada awalnya pesantren ini diberi nama At-Thohiriyah, karena letaknya berada di desa Suci, yang dalam bahasa Arab berarti thahara. Nama ini kemudian dirubah oleh KH. Utsman Ishaqi, mengingat nama memiliki arti dan harapan penting. Akhirnya diberi nama Mambaus Sholihin (sumber orang-orang sholih), dengan harapan pesantren ini menjadi sumber atau tempat untuk orang-orang sholih.

KH. Masbuhin sangat gigih dalam memperjuangkan pesantrennya. Hingga kini telah berdiri 10 cabang di berbagai pelosok negeri. Kegigihan dakwahnya dikenal dan digemari banyak kalangan, bahkan beliau terkenal sebagai ulama kharismatik sampai ke luar negeri, khususnya Yaman. Sehingga, tak jarang Habaib atau masyayikh dari dalam maupun luar negeri yang mengunjungi beliau dan pesantren Mambaus Sholihin. Kemasyhuran itu tidak menjadikannya tinggi hati dan berbangga diri, namun justru semakin tawadhu’.

Beliau sangat masyhur dengan sifat tawadhu’, cinta dan hormatnya kepada dzurriyah Rasulullah dan guru-gurunya. Salah satu contoh wujud hormat dan ta’dhimnya pada guru terbukti dalam setiap acara haul alm. KH. Abdullah Faqih, Langitan. Yang mana beliau selalu berkontribusi dengan tidak segan-segan ikut serta dalam melayani makanan para tamu haul sebagaimana para santri lainnya. Ikut serta duduk dan berkumpul dengan para hadirin di belakang, meski selalu disiapkan tempat di deretan terdepan bersama masyayikh lainnya.

Beli Buku

KH. Masbuhin tidak hanya menghormati guru-gurunya, namun keluarga dan dzurriyah guru-gurunya pun turut dihormati dan di-ta’dhimi. Karena menurutnya, keluarga dan dzurriyah guru pun harus dihormati dan dimuliakan sebagaimana guru sendiri. Pernah suatu ketika beliau silaturrahmi ke pesantren Langitan dengan mengendarai mobil Alphard baru. Nyai Hunanah, istri Yai Faqih mengatakan Kok bagus mobilmu, Buhin”dengan niat hanya ingin memujinya saja. Sepulangnya dari Langitan, Yai Buhin langsung membelikan mobil baru yang sama persis dengan milik beliau, kemudian mengutus putranya, Gus Huda dan Gus Muhammad untuk memberikan kepada Nyai Hunainah sebagai bentuk ikrom asy-syaikh (memuliakan guru).

Seorang mahasiswa Al-Ahqaf asal Sulawesi menuturkan betapa Yai Buhin sangat ta’dhim dan memuliakan guru dan dzurriyah Rasulullah. Ketika keadaan Yaman sedang tidak kondusif, Habib Abdullah Baharun mencari pesantren di Indonesia yang siap menampung mahasiswa mahasiswi Al-Ahqaf asal Indonesia. Mendengar berita itu, KH. Masbuhin tanpa basa-basi langsung mengajukan pesantren Mamabaus Sholihin untuk menampung mahasiswa Al-Ahqaf. Beliau memberikan fasilitas terbaik sebagaimana memuliakan tamu. Mulai dari makan, tempat tidur, bahkan buku dan kitab disediakan oleh beliau tanpa dipungut biaya. Semua beliau lakukan sebagai wujud merealisasikan ta’dhim terhadap guru yang juga dzurriyah Rasulullah dan memuliakan para ahli ilmu.

Bukti karomah KH. Masbuhin yang lain adalah sebagaimana yang dikisahkan oleh Gus Hamam, santri takhaṣṣuṣ yang biasanya memimpin pembacaan wirid sebelum sholat fajar. Ketika itu jamaah bersama Yai Buhin dilaksanakan di Rushaifah Darun Nadwah. Gus Hamam berangkat paling awal seperti biasanya. Namun, ternyata semua lampu padam. Gus Hamam berusaha mencari bantuan, namun tak seorang pun berhasil memperbaikinya. Hingga pada akhirnya Gus Hamam benar-benar pasrah dan gelisah bagaimana jika lampu masih tetap padam sampai Yai Buhin datang. Pembacaan wirid berjalan sebagaimana mestinya dalam keadaan gelap gulita. Akhirnya beliau datang menuju Rushaifah dan seketika semua lampu menyala dengan sendirinya bertepatan ketika beliau menginjakkan kaki di lantai Rushaifah. Hal demikian memang tidak mudah dipercaya oleh akal, namun hanya dapat diyakini oleh hati yang penuh keimanan.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *