Oleh: Amirul Ulum
Setiap seminggu sekali, Kiai Khalil Kasingan menyelenggarakan pengajian yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Orang-orang kampung Kasingan dan sekitarnya banyak yang hadir. Mbah Sutopo (ayah Kiai Bisri Mustofa) adalah orang yang sering menghadiri pengajian tersebut. Jarang sekali ia absen, kecuali memang benar-benar ada uzur syar’i. Setiap usai ngaji, ia sering menyempatkan diri untuk sowan kepada Kiai Khalil. Setiap sowan pasti ia memberikan bisyarah (hadiah) berupa uang kepada Kiai Khalil.
Suatu ketika, terbesitlah dalam diri Kiai Khalil Kasingan untuk menjalankan sebuah usaha. Karena ia tidak mempunyai modal, maka ia menemui Mbah Sutopo untuk meminjam modal. Ia mengutarakan niatnya ingin membangun usaha yang nantinya dapat membuahkan hasil seperti halnya Mbah Sutopo. Mbah Sutopo merupakan orang terkaya di Rembang yang sangat dermawan.
“Kang, saya ingin berdagang seperti Sampean, kira-kira modal awalnya habis berapa?” Kiai Khalil bertanya kepada Mbah Sutopo.
“Sepuluh juta cukup, Kiai,” jawab Mbah Sutopo.
Tanpa berfikir panjang, Mbah Sutopo langsung mengeluarkan uang sepuluh juta untuk diserahkan kepada kepada Kiai Khalil. Karena belum pernah kulakan barang dagangan sebagaimana yang dilakukan Mbah Sutopo, maka ia meminta tolong kepada Mbah Sutopo supaya membelanjakan uang tersebut untuk kulakan barang dagangan yang nantinya akan dijualnya kembali.
Karena basic Kiai Khalil bukanlah seorang pedagang, maka dagangannya tidak membuahkan untung sama sekali. Ia mengalami kerugian. Harus dengan apa ia akan mengambalikan uang subanyak itu kepada Mbah Sutopo. Ia sempat kepikiran terus.
Mbah Sutopo mengetahui apa yang menimpa Kiai Khalil. Biasanya kalau menghadiri pengajian ia berada di bagian depan atau tempat yang bisa dilihat Kiai Khalil, maka pada saat itu, ia sering mencari tempat di bagian belakang atau yang tidak terlihat Kiai Khalil. Biasanya habis pengajian, Mbah Sutopo sowan Kiai Khalil terlebih dahulu, maka pada situasi ini, ia tidak sowan. Bukan berarti ia ingin menagih uangnya. Tidaklah demikian, tapi disebabkan ia tidak ingin membuat resah jika dikira ia ingin menagih hutang kepada Kiai Khalil.
Kejadian tersebut berlangsung beberapa saat. Mbah Sutopo tidak kuat jika tidak sowan kepada Kiai Khalil. Tapi sowannya bukan untuk menagih hutang, melainkan sowan seorang santri kepada kiainya untuk memandang wajah dan meminta petuah dan nasehat. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk sowan Kiai Khalil.
Karena belum mempunyai uang sejumlah yang dihutang dari Mbah Sutopo, maka Kiai Khalil merasa gelisah. Takut jika sewaktu-waktu Mbah Sutopo datang untuk menagih dan ia belum bisa melunasi hutangnya. Ia merasa malu jika itu terjadi.
Ternyata apa ditakutkan Kiai Khalil benar-benar terjadi. Mbah Sutopo datang. Ia dikira akan menagih hutang, sehingga saat mengetahui Mbah Sutopo hendak sowan, Kiai Khalil sempat lari, menghindar, tapi akhirnya keduanya bertemu. Ia mengatakan kepada Mbah Sutopo bahwa ia belum mempunyai uang untuk melunasi hutangnya. Dikira menangih hutang ternyata tidak. Mbah Sutopo mengatakan bahwa sowannya bukan untuk menagih hutang, akan tetapi murni sowan ingin memandang wajah kiainya dan meminta nasehat-nasehatnya.
Mbah Sutopo mengatakan kepada Kiai Khalil bahwa hutangannya telah dibebaskan. Ia tidak memikirkan uang sepuluh juta yang telah dipinjam darinya. Ia menyarankan kepada Kiai Khalil agar focus mengajar saja. Untuk masalah maisyah atau materi, ia siap menyukupi kebutuhannya. Semenjak itu, Kiai Khalil tidak lagi berdagang. Ia fokus mengajar dan menulis kitab. Hasil tulisannya banyak diminati para santri. Wadifah inilah yang menjadi salah satu maisyah utamanya.
Lahumul fatehah….
Yogyakarta, 30 Desember 2022
Amirul Ulum
Catatan :
Tulisan ini penulis sarikan dari cerita Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) saat sowan pada 30 Mei 2022.