Oleh : Amirul Ulum
Seorang ulama jika kebajikan yang ditanamkan sudah mematri di qalbu masyarakat, maka penghormatan mereka kepadanya terkadang lebih tinggi dibandingkan dengan seorang penguasa. Haibah atau kewibaannya melebihi yang lain sebab terpancar secara zahir dan batin. Itulah yang terjadi kepada Tuan Abdus Shomad Pulai Chondong atau yang lebih dikenal dengan Tok Pulai Chondong. Ketokohannya sebagai ulama yang menjadi imam dan panutan di tengah-tengah masyarakatnya membuat haibahnya melebihi baginda Sultan Muhammad II.
Nama Tok Pulai Chondong sangat harum di daerahnya. Ia disejajarkan dengan tokoh-tokoh ulama terkemuka lainnya semisal Tok Tun Datu, Tok Tebing, Tok Ka’bah, Tok Jias, Tok Bahrain, Tok Bangsal, Tok Nahu, Tok Kutan, Tok Salor, Tok Seribong, Tok Panchor, Tok Tikat, Tok seRidik, Tok Raja Imam, Tuan Pangkalan, dan Tuan Padang. Kebanyakan ulama yang sejajar dengan Tok Pulai Chondong ini, riwayatnya jarang ditemui karena minimnya tradisi tulis menulis yang mengupas tentangnya.
Tok Pulai Chondong leluhurnya berasal dari Kampung Bira, Patani. Ia dilahirkan pada 1792 di Kampung Bukit Pulai Chondong, Kelantan. Ia merupakan putra dari Faqih Haji Abdullah ibn Hasyim. Ia mempunyai saudara tua perempuan. Namanya Halimah.
Tok Pulai Chondong menerima pendidikan agama Islam dari kedua orang tuanya sendiri, terlebih Faqih Haji Abdullah ini merupakan seorang ulama yang disegani di Kampung Bukit, Pulai Chondong. Ia makruf dengan kealimannya dalam kajian kitab fiqih. Selain kepada Faqih Haji Abdullah, Tok Pulai Chondong juga belajar kepada ulama yang ada di kampung halamannya.
Ketika umur Tok Pulai Chondong beranjak 16 tahun, tepatnya pada 1808, ia diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studi ilmiah di Haramain. Karena ladzat-nya menikmati transmisi keilmuan di Haramain, setelah kembali ke Kampung halamannya, ia melakukan perjalanan haji untuk yang kedua kali, yaitu pada 1840. Di antara ulama Haramain yang menjadi gurunya adalah Syaikh Muhammad Adham (pakar dalam bidang al-Qur’an) dan Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fathani. Sedang teman-teman yang seperguruan dengannya seperti halnya Haji Wan Hasan Ibn Syaikh Ishaq al-Fathani, Syaikh Abdul Malik ibn Isa Terengganu, dan Syaikh Musa al-Fathani.
Merasa masih belum puas dengan ilmu yang didapatkannya, Tok Pulai Chondong merantau ke Mesir untuk belajar kepada ulama al-Azhar dan menziarahi makam pendiri Madzhab Syafi’i, yaitu Muhammad ibn Idris asy-Safii.

Setelah merasa cukup dengan pengembaraannya dalam menuntut ilmu, Tok Pulai Chondong kembali ke kampung halamannya untuk menyebarkan dakwah al-Islamiyah. Mulanya ia berkiprah dengan membantu mengajar di surau milik ayahnya, Faqih Haji Abdullah. Ketika sang ayah kembali ke Rahmatullah, ia ditunjuk sebagai penggantinya untuk menjadi imam di Kampung Bukit.
Setelah beberapa tahun berkiprah di Kampung Bukit, terbesitlah hatinya untuk hijrah. Ia membuka sebuah kawasan yang disebut dengan Kampung Bilal Talib yang letaknya berada di sebelah Kampung Tok Mat. Ketika membabat desa, ia mendapati sebuah pohon pokok pulai yang besar dan mencondong. Dari kejadian ini kampung tersebut dikenal dengan Kampung Pulai Chondong.
Semenjak berkiprah di surau milik ayahnya, nama Tok Pulai Chondong sudah dikenal masyarakat. Ketika ia hijrah menuju Kampung Pulai Chondong, maka masyarakat yang sudah gadrung dengan keilmuannya berbondong-bondong menyerbu majlis keilmuan yang diselenggarakannya. Ia bagaikan sebuah mutiara dengan sinar yang terang-beneran. Kemanapun sinar itu menyemburatkan cahayanya, maka akan dikejar-kejar orang untuk mendapat sebuah keterangan sebagai bekal hidup selamat di dunia dan akhirat.
Pondok pesantren yang dibangun Tok Pulai Chondong semakin dibanjiri thalabah yang ingin belajar ilmu agama kepadanya. Di antara muridnya yang menjadi ulama berpengaruh adalah Haji Wan Muhammad ibn Abdurrahman (w. 1913), Haji Jamaludin ibn Muhammad kota Baharu (w 1886), Haji Yaqub ibn Muhammad (w. 1907), Haji Ahmad ibn Muhammad (1915), Haji Mat saman Ibn Haji Wan Taib (w. 1917), Haji Umar ibn Haji Abdus Shomad (w. 1911), Haji Asryad ibn Abdus Shomad (w. 1912), Haji Wan Abdul Qadir ibn Haji Wan Sulaiman (w. 1900), Haji Abdul Ghani (w. 1880), Haji Muhammad Bendang al-Fathani (w. 1950), dan Lebai Hamat ibn Deraman (w. 1933).
Dalam menjalani dakwah menyebarkan agama Islam, Tok Pulai Chondong pernah mendapatkan sebuah ujian yang berupa suraunya yang bertempat di Kampung Bilal Talib terbakar hangus. Melihat kejadian itu, penduduk kampung ramai-ramai mengumpulkan dana untuk membangunnya menjadi lebih baik. Yang asalnya berupa surau kecil diubah menjadi sebuah masjid yang dilengkapi dengan bedug dan menara yang digunakan untuk azan.
Menara masjid Pulai Chondong mempunyai sebuah keunikan tersendiri. Menurut sebuah cerita rakyat bahwa masjid tersebut dibuat tahun 1857 dengan gotong-royong. Tok Pulai Chondong sebagai arsiteknya dengan memakai alat tradisional semisal beliung, cetar, kapak, dan pahat. Tinggi menara ini 57 kaki dengan bentuk lapan segi sekata. Lilitan luarnya berukuran 12 setengah kaki, sedangkan ketebalan dindingnya sesuku kaki. Di dalam tengah menara terdapat sebatang tiang yang tidak bersambung di tanah dengan kedalaman kira-kira 28 kaki. Tiang menara berbentuk lapan persegi dengan ukuran lilit yang pangkalnya 43 inci dan 24 inci untuk pucuknya. Menara ini mempunyai 23 batang anak tangga yang bentuknya trapezium. Bentuknya mengelilingi tiang mengikuti lawan arah putaran jarum jam. Untuk jarak purata antara satu anak tangga dengan yang lainnya sekitar satu pertiga kaki (1. 2/3). Semua ujung anak tangga tersebut melekat kepada tiang dan dinding menara yang berdiri tegap dan kukuh dalam posisinya. Ketika menancapkan bagian batang tiang ke dalam tanah, Tok Pulai Chondong melakukannya sendiri. Sepertiga dari bagian tiang tersebut terbenam dalam tanah. Menara masjid Pulai chondong sekarang sudah tidak seperti di zaman Tok Pulai Chondong. Sudah ada beberapa perubahan, terlebih setelah tahun 1979. Haibah kekeramatannya sudah mulai berkurang.
Tok Pulai Chondong mempunyai sebuah amalan wirid yang senantiasa dilanggengkannya, yaitu Hizb Bahr karya Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Amalan ini diijazahkan kepada Tok Wan Ali Kutan dan putra-putranya seperti Haji Umar dan Haji Muhammad Arsyad yang kemudian ijazahnya diteruskan oleh Pak Cu Wail.
Selain dikenal dengan kealimannya, Tok Pulai Chondong masyhur dengan karomah-karomah yang dimilikinya di antaranya sebagai berikut :

- ketika ia masih menjalani dirasah di Haramain, ada seorang gurunya yang menginginkan sebuah durian. Maka dengan seketika Tok Pulai Chondong mengamblnya dari kampung halaman dan diberikanlah kepada sang guru.
- Suatu ketika, Tok Pulai Chondong tidak kelihatan di Pondok Pulai Chondong untuk beberapa saat. Ternyata ada yang menyaksikan ia sedang bersembahyang di Masjidil Haram.
- Ketika membuat surau, ada pohon besar yang tidak bisa diangkat oleh penduduk. Akhirnya, oleh Tok Pulai Chondong ditungganginya lalu penduduk disuruh mengangkatnya ternyata bobotnya menjadi ringan.
Tok Pulai Chondong sering menunaikan ibadah haji. Entah secara zahir atau melalui karomah yang dimilikinya. Pada tahun 1874, ia memerintahkan kepada Raja Perempuan Kelantan agar berkenan menunaikan ibadah haji untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Dengan senang hati sang ratu akan menyanggupi perintah gurunya tersebut. Berangkatlah Tok Pulai Chondong terlebih dahulu ke Haramain. Ketika sang ratu hendak menyusul, terdengarlah berita bahwa Tok Pulai Chondong sudah kembali ke Rahmatullah (1874). Ia dimakamkan di Ma’la. Sebagian pendapat mengatakan bahwa ia wafat di Kelantan di akhir tahun 1873. Makamnya ramai diziarahi orang sampai sekarang.
Setelah kembali ke Rahmatullah, perjuangan Tok Pulai Chondong diteruskan oleh putera-puterinya yang berjumlah 12 (asalnya 16, namun wafat 4 ketika usianya masih kecil) dari 4 istri. Mereka yaitu Haji Abdul Hamid, Haji Abdus Syukur, Haji Abdul Aziz, Haji Umar, Haji Muhammad Said, Haji Taib, Hajjah Siti Maryam, Haji Muhammad Arsyad, Haji Abdullah, Haji Muhammad, Hajjah Zainab, dan Ummaimunah.
Karena jasa Tok Pulai Chondong yang begitu besar terdapat kemajuan agama dan pendidikan di Kelantan, Dato’ Haji Muhammad ibn Ya’qub selaku Menteri Pelajaran Malaysia melakukan sebuah ceremony untuk mengabadikan nama Tok Pulai Chondong menjadi sebuah lembaga sekolah yaitu Sekolah Menengah Pulau Chondong yang pada akhirnya namanya diganti menjadi Sekolah Menengah Kebangsaan Abdul Shamad. {}