Ketika kita membuka lembaran sanad-sanad yang menghimpun mata Rantai silisilah keilmuan ulama Nusantara, terutama yang dihimpun Syaikh Yasin al-Fadani, maka nama Kiai Jam’an bin Samun akan sering muncul tatkala hendak meriwayatkan sanad keilmuan dari jalur Syaikh Nawawi al-Bantani.
Kiai Jum’an bin Samun al-Tangerangi merupakan salah satu murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang muammar (berumur panjang, sekitar 180 tahun). Ia berasal dari Tegal Kunir, Mauk, Tangerang, Banten. Ia wafat pada 8 Syawal 1381 H yang bertepatan pada 13 Maret 1962. Dari usia yang panjang ini, maka banyak ulama yang bertabarruk, mengambil sanad kepadanya, di antaranya adalah Syaikh Yasin al-Fadani dan Kiai Maimoen Zubair.
Syaikh Yasin al-Fadani mengambil sanad kepada Kiai Jum’an bin Samun al-Tangerangi melalui sebuah surat yang dititipkan kepada salah satu cucu al-Tangerani, yaitu Mas’ud al-Jam’ani. Dengan antusias maka al-Tangerani memberikan ijazahnya kepada al-Fadani secara ammah, terlebih jalur keilmuan yang ia riwayatkan dari Syaikh Nawawi al-Bantani.
Kiai Jum’an bin Samun al-Tangerangi merupakan salah satu santri terdekat Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurut catatan Sayyid Chaidar bahwa al-Tangerani ini pernah menjadi khadim al-Bantani. Sering memijat al-Bantani ketika lelah dalam mengajar atau berdakwah. Dengan mulazamah seperti ini maka tidak mengherankan jika Syaikh Yasin al-Fadani menyebutnya sebagai al-allamah al-mufanninu, seorang yang sangat alim dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Dengan posisinya sebagai khadim, maka tidak mengherankan jika Kiai Jum’an bin Samun al-Tangerangi mempunyai banyak hal/ kenangan yang ia saksikan langsung dari apa yang terjadi kepada guru umdahnya, Syaikh Nawawi al-Bantani. Yaitu, saat al-Bantani mengarang kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali. Menurut keterangan al-Tangerani bahwa kitab Maraqil Ubudiyah tersebut dikarang sang guru selama 11 hari dalam perjalanan antara Makkah dan Madinah.
Jambi, 8 Mei 2023
Amirul Ulum