“KH. Bisri Mustofa kalau berbicara jelas, tepat, dan mengena sasaran. Jarang sekali seorang ulama pandai berpidato dan menjadi penulis seperti beliau ini. Kitab tafsirnya ditulis dengan menggunakan Bahasa Jawa yang enak, cocok menurut selera orang Jawa Tengah, jelas dan mudah dipahami.”
(Kiai Tholhah Mansoer)
Kiai Bisri Mustofa dikenal sebagai kiai yang multi talenta. Selain alim, ia dikenal sebagai orator ulung, singa podium, yang setiap menyampaikan ceramah, membuat khalayak terpukau. Gayanya yang menarik itu, bukan hanya ketika menyampaikan ceramah, namun ketika menyampaikan gagasan ke dalam sebuah kitab/buku. Ia sungguh ulama produksif dalam menghasilkan karya tulis.
Garis Keturunan
Kiai Bisri Mustofa lahir di Desa Sawahan, Gang Palem, Rembang pada tahun 1915 M dari pasangan Haji Zainal Mustofa dan Hj. Chadijah. Nama kecilnya adalah Mashadi. Ketika usai menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Bisri Mustofa (Kiai Bisri Mustofa).[1] Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum. Selain mempunyai saudara kandung, ia juga mempunyai saudara tiri seayah dan seibu. Untuk saudara tiri seayahnya adalah Haji Zuhdi dan Maskanah. Untuk saudaranya tiri seibunya adalah Ahmad dan Tasmim.
Jika ditelusuri, garis keturunan Kiai Bisri Mustofa sampai kepada salah seorang ulama Sarang, Mbah Sura, yaitu melalui jalur ayahnya, Haji Zainal Mustofa. Sedangkan ibunya, masih berdarah Makassar, yaitu Chadijah binti E. Zajjati bin E. Sjamsuddin Makasar.
Riwayat Pendidikan
Kiai Zainal Mustofa dikenal sebagai seorang hartawan yang dermawan. Ia dekat dengan kiai-kiai yang ada di Rembang, terlebih Sarang dan Kasingan. Ia senang membantu dakwah kiai-kiai untuk kepentingan agama. Karena kedekatannya dengan kiai ini, maka ia sangat berharap kelak putranya menjadi seorang alim. Ia sering sowan ke kiai, memintakan doa agar kelak keturunannya menjadi alim, salah satunya, ia pernah meminta doa kepada Kiai Ahmad Syuaib ketika masih menjalani dirasah di Haramain.
Ketika Mashadi berumur 8 tahun, ia diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan ibu dan adik-adiknya, yaitu Nyai Chadijah, Salamah (berumur lima setengah tahun), Misbcah (berumur tiga setengah tahun), dan Ma’shum (berumur setahun). Ketika bersama-sama dalam menunaikan haji ini, Haji Zainal Mustofa sering sakit-sakitan, sehingga hal tersebut menjadi perantara ia dipanggil saat dalam proses menjalani ibadah haji. Jenazahnya diserahkan kepada Syaikh Haji dengan membayar uang Rp. 60. Pihak keluarga tidak ada yang mengetahui di mana Syaikh Haji memakamkan jenazah Haji Zainal Mustofa.[2] Dengan wafatnya Haji Zainal Mustofa, hal ini menjadi pukulan berat bagi Kiai Bisri Mustofa. Hal ini tentu sangat berpengaruh dengan perekonomian keluarganya.
Ketika kembali ke tanah air, masalah pendidikan Kiai Bisri Mustofa dibantu oleh kakak tirinya, Haji Zuhdi. Ketika ia sudah menamatkan belajarnya dari Ongko Loro pada tahun 1926 M, sang kakak memerintahkannya untuk mondok di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh Kiai Khalil Kasingan. Kiai Khalil Kasingan ini adalah adik sekaligus murid dari Kiai Umar ibn Harun al-Sarani, yang sanad keilmuannya bersambung dengan Syaikh Mahfudz al-Termasi.
Mulanya, ketika Kiai Bisri Mustofa mondok di Pesantren Kasingan, ia ogah dan aras-arasen (malas), sehingga pelajaran yang diajarkan di pesantren sulit untuk dicernanya. Hal ini disebabkan kemauannya tidak ada atau minim, serta adanya beberapa alasan yang lainnya, sehingga membuatnya ogah belajar. Ia berhenti belajar beberapa bulan. Kejadian ini membuat kakaknya memerintahkannya lagi untuk kembali ngaji di Pesantren Kasingan.
Karena Kiai Bisri Mustofa dianggap belum siap untuk menerima pelajaran dari Kiai Khalil Kasingan yang dikenal galak dan keras. Ia sering dimarahi sang kiai jika ngajinya tidak sesuai dan hafalannya tidak baik. Akhirnya, untuk mengantisipasi supaya Kiai Bisri Mustofa bisa betah mondok di Pesantren Kasingan, Kiai Khalil Kasingan memerintahkannya untuk ngaji ke santrinya yang senior dahulu, yaitu Kiai Sujai. Setelah dinilai sudah bagus ngajinya, maka ia akan ngaji langsung kepada Kiai Khalil Kasingan.
Selain nyantri di Pesantren Kasingan asuhan Kiai Khalil, Kiai Bisri Mustofa pernah nyantri di Pesantren Kajen, Pesantren Tebuireng, Pesantren Sarang, dan Pesantren Kedunglo. Setelah itu, karena ia merasa masih haus dengan keilmuan, terlebih waktu itu ia diambil menantu oleh Kiai Khalil Kasingan, sehingga mau tidak mau, ia akan mendapatkan posisi mengajar, sedangkan ilmunya merasa belum cukup, akhirnya iapun meminta izin kepada Kiai Khalil Kasingan untuk melanjutkan belajarnya ke Haramain.
Ketika belajar di Haramain, Kiai Bisri Mustofa belajar kepada sahabat seperguruan Kiai Khalil Kasingan ketika belajar di Pesantren Sarang dan Haramain, yaitu Syaikh Abdul Muhaimin al-Lasemi, Syaikh Baqir al-Jukjawi, dan Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi. Al-Lasemi adalah sahabat Kiai Khalil yang berasal dari Lasem yang pernah mengaji kepada Kiai Umar ibn Harun al-Sarani. Al-Lasemi ini merupakan salah satu ulama Nusantara yang diangkat sebagai pengajar di Masjidil Haram dan pendiri Madrasah Dar al-Ulum (di Syi’ib Ali, Haramain). Kepadanya, ia belajar Jam’u al-Jawâmi’. Sedangkan dan Syaikh Baqir al-Jukjawi (berasal dari Yogyakarta), yang merupakan pengajar di Masjidil Haram, murid dari Syaikh Mahfudz al-Termasi. Kepadanya, ia belajar Lubbu al-Ushûl, Umdatul Asrâr, dan Tafsir al-Kasyâf. Sedangkan Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi adalah murid dari Syaikh Mahfudz al-Termasi, yang dikenal sebagai Muhaddistu al-Haramain (pakar Hadist tanah suci Makkah dan Madinah). Kepadanya, ia belajar kitab Hadist, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Selain kepada ketiga ulama di atas, Kiai Bisri Mustofa juga belajar Masyayikh Haramain lainnya seperti kepada Sayyid Amin al-Kutbi, Syaikh Hasan al-Masyath, dan Sayyid Alawi al-Maliki. Ulama-ulama Haramain ini, halaqahnya sering diserbu oleh thalabah Nusantara untuk mendalami dan mematrikan keilmuan.
Bahtera Rumah Tangga
Kiai Bisri Mustofa tidak menyangka kalau ternyata dirinya akan diambil menantu oleh gurunya sendiri, yaitu Kiai Khalil Kasingan. Mulanya, sang guru berkeinginan untuk menjodohkannya dengan putri salah seorang kiai alim, Kiai Murtadha dari Makam Agung Tuban. Sebagai seorang santri, ia tidak dapat menolak permintaan tersebut, meskipun dalam hatinya ia berat untuk menjalankan. Ia sangat berharap agar perjodohan tersebut tidak jadi.
Apa yang diinginkan oleh Kiai Bisri Mustofa menjadi sebuah kenyataan. Ketika ia diajak oleh Kiai Khalil Kasingan untuk acara khitbahnya, ternyata sang gadis yang hendak dijodohkan dengannya lari dan tidak mau menemuinya, sehingga alasan ini digunakan oleh Kiai Bisri Mustofa untuk menolak perjodohan ini. Usai dari gagalnya perjodohannya, ia akhirnya pergi dari rumah selama sebulan. Ketika ia kembali ke Pesantren Kasingan, ia merasa sungkan dengan sikapnya, sehingga iapun akhirnya meminta maaf kepada Kiai Khalil Kasingan. Tidak lama dari peristiwa tersebut, akhirnya sang kiai berkehendak untuk menjadikannya sebagai menantu. Dengan penuh ketaatan, Kiai Bisri Mustofa melaksanakan apa yang diinginkan oleh kiainya. Ia dinikahkan dengan Nyai Ma’rufah. Dari pernikahan ini, keduanya dikarunia delapan anak, yaitu Chalil, Mustofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.
Selain dengan Nyai Ma’rufah, Kiai Bisri Mustofa juga menikah dengan Nyai Atiyah dari Tegal, Jawa Tengah. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai keturunan bernama Maimun.
Pesantren Raudhatut Thalibin
Ketika Kiai Bisri Mustofa diambil menantu Kiai Khalil Kasingan, maka kariernya dalam bidang keulamaan mulai ketara, sebab di waktu itu Pesantren Kasingan sangat masyhur dalam mencetak generasi Islam, kiai. Semenjak itu, ia ikut berkiprah dalam dunia mengajar.
Seiring dengan berjalannya waktu, semenjak Kiai Khalil Kasingan kembali ke Rahmatullah, terbesitlah dalam dirinya untuk mendirikan pesantren di Leteh, yaitu Pesantren Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sebagai kelanjutan dari Pesantren Kasingan yang kini diasuh oleh Gus Mus.
Pesantren asuhan Kiai Bisri Mustofa sudah menelurkan alim ulama yang bertebaran di berbagai wilayah Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Di antara muridnya adalah Kiai Saifullah (pengasuh pesantren di Cilacap), Kiai Muhammad Anshari (Surabaya), Kiai Wildan Abdul Hamid (pengasuh pesantren di Kendal), Kiai Basyrul Kafi, Kiai Jauhar, Drs. Umar Faruq, Drs. Ali Anwar, Drs. Fathul Qarib, Kiai Rayani (pengasuh pesantren di Bogor).
Karir Politik & Perjuangan
Kiai Bisri Mustofa bukan hanya mengabdikan dirinya sebagai kiai yang hanya mulang ngaji dalam pesantren dan mengisi mauidhah hasanah di berbagai tempat, namun ia juga ikut serta dalam berjuangan mengusir penjajah dan mempertahankannya ketika kompeni hendak kembali menjajah dengan agresi militernya. Ketika gerakan PKI tumbuh dan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia yang hendak merongrong kedaulatan bangsa Indonesia dan mengganti idiologi Pancasila dengan komunis, maka iapun ikut berjuang bersama rakyat dan tentara untuk membersihkan wilayah Rembang dari Partai Komunis Indonesia tersebut.
Kiai Bisri Mustofa hidup dalam tiga periode. Ia menemui masa penjajahan, kepemimpinan Presiden Soekarno, dan kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam perjuangannya, ia selalu mengikuti irama arah kiai-kiai Nahdlatul Ulama. Ketika zaman penjajahan Jepang, ia pernah diangkat menjadi Ketua Nahdlatul Ulama cabang Rembang. Ia pernah menjadi Ketua Masyumi dan pernah mendapat amanah sebagai Kepala Kantor Urusan Agama dan Ketua Pengadilan Agama Rembang.
Ketika Nahdlatul Ulama melalui komando Kiai Wahab Hasbullah memisahkan diri dari Partai Masyumi, dengan mendirikan partai sendiri, yaitu Partai NU, maka Kiai Bisri Mustofa ikut bergabung dalam partai tersebut (1955 M). Melalui kepiwaiannya dalam berorator, ia ikut mengampanyekan partai tersebut, sehingga banyak kalangan, terutama warga nahdliyin yang antusias dalam mencoblos atau memilih Partai NU. Ia mempunyai massa banyak.
Dalam dunia politik, Kiai Bisri Mustofa pernah mendapat amanah sebagai anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Ketika menjadi anggota ini, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Soeharto sebagai Presiden menggantikan Bung Karno.
Pada masa Orde Baru, melalui Partai NU, Kiai Bisri Mustofa pernah mendapatkan amanah sebagai anggota DPRD I Jawa Tengah (1971) dan anggota MPR dari utusan Golongan Ulama. Saat partai Islam berfusi ke dalam satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), iapun ikut berjuang dalam mencari dukungan. Ia terdaftar sebagai anggota DPR RI dari PPP. Namun sayangnya, sebelum Pemilihan Umum berlangsung, Allah telah berkehendak lain. Ia meninggal seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977 M.
Karya & Pemikiran
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Bisri Mustofa pernah mengatakan, “Tenaga saya hanya untuk Partai NU dan di samping itu untuk menulis buku.” Dari dawuhnya ini, dapat diambil kesimpulan akan kegigihannya dalam memperjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Selain itu, tampak pula akan produktivitasnya dalam dunia karang mengarang. Ia sangat produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan, khususnya pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rata-rata karyanya ini menggunakan Bahasa Arab Pegon atau al-Jawi al-Marikiyah.
Kiai Bisri Mustofa menguasai berbagai disiplin keilmuan yang diwujudkan dalam sebuah karya. Menurut sebuah sumber, ia menulis kurang lebih 54 judul yang meliputi kajian Tafsir, Hadist, Aqidah, Fiqih, Sirah Nabawi, Balaghah, Nahwu, Sharaf, kisah-kisah, syiiran, naskah sandiwara, tuntunan untuk modin, khutbah-khutbah, dan lain-lain. Karya-karyanya tersebut diterbitkan di berbagai penerbitan di Jawa semisal Salim Nabhan Surabaya, Toha Putra Semarang, Raja Murah Pekalongan, al-Ma’arif Bandung, dan yang paling banyak mencetak karyanya adalah percetakan Menara Kudus.
Di antara karya Kiai Bisri Mustofa adalah Rawihah al-Aqlâm ‘Aqidah al-Awâm, Tarjamah Mandzumah al-Baiqûni, Washâya al-Abâ li al-Abnâ, Kitab Syi’iran, Ngudi Susilo, al-‘Idah al-Jurûmiyah, al-Haqibah, Tarikh al-Auliya’, Islam lan Keluarga Berencana, al-Ibriz, Sulamul Afham, dan lain-lain.
Dalam segi pemikiran, Kiai Bisri Mustofa bersikap tengah-tengah antara tekstual skriptualitas dan rasionalis. Hal ini nampak dengan Tafsir karangannya, al-Ibriz. Dalam memaknai ayat-ayat mutasyâbihat, ia mengambil beberapa pendapat mufassirin yang kemudian disertai argumennya sendiri. [3]
Ketika membahas tarikh Walisanga, Kiai Bisri Mustofa membahas sejarah Walisanga, dengan bahasa singkat padat dan mengena. Selain sejarah Walisanga, dalam kitab tersebut disisipkan sejarah kerajaan Islam di Jawa, yaitu Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram. Juga, ada perang Dipanegara dalam melawan penjajah Belanda, kemudian dikupas juga masalah penjajahan Jepang, Pergerakan Nasional, dan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kembali ke Rahmatullah
Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya, bahwa tahun 1977 M, umat Islam di Nusantara, menyongsong pemilu untuk memilih wakil rakyat. Partai-partai Islam berfusi dalam satu wadah yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kiai Bisri Mustofa yang asalnya berada dalam barisan Partai NU ikut bergabung dalam partai berlambang Ka’bah tersebut. Sebelum kemangkatannya, ia telah mengikuti dan menghadiri acara penting PPP yang diselenggarakan di Jakarta, Purwodadi, dan menemui Rais ‘Am Nahdlatul Ulama di Jombang, yaitu Kiai Bisri Syansuri. Selain itu, ia juga masih aktif dalam mengajar di pesantren dan menghadiri undangan warga.
Sepulang dari Jombang, Kiai Bisri Mustofa benar-benar merasakan rasa sakit. Ia meminta salah seorang putranya untuk memanggil dokter. Ternyata, setelah dokter memeriksanya, ia terkena kompilasi yang mengharuskan untuk diinapkan di Rumah Sakit dr. Karyadi Semarang. Usai diinapkan, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Dalam situasi yang seperti, ia tetap menjalankan salat lima waktu.
Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan Kiai Bisri Mustofa, namun Allah berkehendak lain. Allah telah memanggilnya. Ia kembali ke Rahmatullah seminggu sebelum kampanye 1977 M, tepatnya pada hari Rabu Pahing 17 Februari 1977 M. Ia wafat menjelang Ashar. Jenazahnya diberangkatkan usai Salat Isya dari Semarang menuju Rembang oleh Gubernur Jawa Tengah, Supardjo Rustam.
Dengan wafatnya Kiai Bisri Mustofa, maka denyut PPP di Jawa, khususnya Jawa Tengah seolah terhambat perjalanannya. Kharismanya dalam menggait suara sangat dominan sekali. Sehingga, kepergiannya untuk selama-lamanya sangat dirasakan oleh kaum nahdliyin, terlebih Partai Persatuan Pembangunan wilayah Jawa Tengah. []
Referensi :
Tulisan ini disadur dari buku Kebangkitan Ulama Rembang karya Amirul Ulum
[1] Achmad Zainal Huda, H Mutiara Pesantren : Perjalan Khidmah KH. Bisri Mustofa, hal. 8.
[2] Ibid., hal. 9-10.
[3] Mastuki HS & Ishom el-Seha, Intelektualis Pesantren, hal. 76.