/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Biografi Ulama KH. Mufid Mas’ud (Yogyakarta)

Oleh: Arina Manasikana 

KH. Mufid Mas’ud merupakan waliyullah yang menyebarkan agama Islam di daerah Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, atas perintah Sunan Kalijaga. Beliau adalah keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran.

Al-Mukarram KH. Mufid Mas’ud, lahir bertepatan dengan hari Ahad Legi 25 Ramadhan pada tahun 1928 di Solo, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Ali Mas’ud yang makamnya berada di kompleks Makam Golo Paseban, Bayat, Klaten.

Berdasarkan garis keturunan, KH. Mufid Mas’ud merupakan pribadi yang tumbuh di lingkungan keluarga yang agamis. Pendidikan atau pemahaman terhadap agama didapatkannya langsung dari bimbingan orang tuanya. Pendidikan dasarnya didapatkan di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo. Beliau menempuh pendidikan selama lima tahun, dari tahun 1937 sampai 1942. Lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh Paku Buwono X, dan ketika KH. Mufid menempuh pendidikan di sana, madrasah tersebut di bawah pimpinan KH. Sofwan.

Pada tahun 1942 setelah menamatkan pendidikan di Solo, kemudian beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun tersebut bertepatan dengan tujuh bulan setelah kedatangan tentara kolonial Jepang di Indonesia. Selang tiga tahun kemudian, beliau melanjutkan hafalan Al-Quran kepada KH. Muntaha di Wonosobo atas anjuran gurunya di Klaten, yaitu KH. Sofwan. Namun, pada tahun 1950 KH. Mufid Mas’ud kembali ke Krapyak dan menikah dengan putri KH. Munawir (pengasuh Pondok Pesantren Krapyak) yang bernama Hj. Jauharoh.

Setelah menikah, KH. Mufid menjadi salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Walaupun demikian, beliau tetap masih mengaji Al-Quran kepada KH. Abdul Qadir dan KH. Abdullah Affandi. Kemudian untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH. Ali Maksum. Kegigihan dan ketekunan beliau dalam mendalami ilmu agama tidak pernah diasingkan oleh orang-orang terdekatnya. Salah satunya adik beliau yaitu Hj. Qomariyah Abdul Chahan, menyatakan bahwa kakak kandungnya sangat rajin menuntut ilmu, apalagi ilmu agama. Manurutnya sampai-sampai beliau pernah dikabarkan hilang saat terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Namun akhirnya dapat kembali lagi bertemu dengan keluarga.

Bagi KH. Mufid, rajin belajar saja tidaklah cukup. Terdapat hal lain yang menurutnya harus dilakukan oleh seorang pencari ilmu supaya ilmunya berkah. Yaitu Shuhbatu Ustadzin atau taat dan bersahabat karib dengan guru. Sama halnya dengan nasihat Imam Syafi’i, bahwa ilmu itu tidak akan bermanfaat kecuali apabila seorang murid melakukan enam perkara. Salah satunya Shuhbatu Ustadzin.

Beli Buku

Pada setiap kesempatan KH. Mufid selalu menekankan pentingnya Shuhbatu Ustadzin. Beliau sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam, bahkan mengaku pula telah terpengaruh oleh mereka. Di antaranya, KH. Abdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH. Muntaha (Wonosobo), KH. Ali Maksum (Yogyakarta), Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), Sayyid Mjuhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al-Maliky Al-Makky (Makkah).

Bermodalkan Al-Quran, pengetahuan keislaman dan jalinan silaturahmi yang erta dengan tokoh-tokoh Islam, KH. Mufid berkeinginan hati untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran atau biasa disingkat menjadi PPSPA.

Awalnya, PPSPA berdiri di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi dengan satu rumah dan sebuah mushala di atasnya. PPSPA ini, secara resmi berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M. Peresmian PPSPA tersebut, dihadiri oleh Paduka Paku Alam VIII, Bupati Sleman Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat lainnya. Terdapat harapan yang besar dari masyarakat kepada KH. Mufid, bahwa PPSPA dinilai akan mampu menjadi suatu agen perubahan bagi masyarakat sekitar. Yaitu perubahan moral maupun pemantapan aqidah.

Mengenai akhlak dan kedisiplinan merupakan dua hal yang selalu KH. Mufid tekankan kepada santri-santrinya. Bagaimana akhlak terhadap guru, keluarga guru, saudara, tetangga, lebih-lebih akhlak terhadap Al-Quran dan Rasulullah SAW.

Pada tanggal 19 Maret 2007, merupakan hari-hari terakhir bagi KH. Mufid. Waktu itu, setelah pulang dari Jawa Tengah, beliau merasakan sakit pada tulang bagian belakang, lalu sebagian waktunya digunakan untuk beristirahat. Menjelang keesokan harinya, keadaan seperti itu masih saja beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, KH. Mu’tashim Billah (sekarang Pengasuh PPSPA komplek 3) untuk membawanya ke Rumah Sakit (RS) Harapan Insani (HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik dari KH. Mufid.

Di sana beliau mendapat perhatian khusus dengan penjagaan dan pemantauan selama 24 jam. Menurut seorang dokter ahli saraf, beliau saat itu hanya mengalami sakit tulang belakang, pada istilah kedokteran disebut terdapat serabut kecil syaraf di tulang belakang yang terjepit akibat proses pengapuran.

Gejala tersebut dialami KH. Mufid dikarenakan sangat seringnya kelelahan. Pada tanggal 29 Maret, beliau dirujuk untuk dibawa ke RS Panti Rapih untuk foto rontgen syaraf. Pada saat itu, Panti Rapih menjadi salah satu dari dua RS di daerah Yogyakarta yang mempunyai alat untuk rontgen. Namun demikian, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk.

Pada tanggal 30 Maret, KH. Mufid merasakan sakit di bagian perut. Beliau pun harus dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap dan besar atas saran dari RS HI. Beliau disarankan untuk ke Jogja International Hospital (JIH). Pengobatan beliau di selama di RS JIH, semakin lama semakin membaik. Namun takdir berkata lain, secara medis memang membaik, dan mungkin sudah saatnya beliau menghadap kepada Allah SWT, tepat pada hari Selasa Kliwon, 2 April 2007 (17 Rabiul Awal 1428).

Beli Buku

KH. Mu’tashim Billah beserta beberapa keluarganya, menuntun beliau membaca kalimat tayyibah, lalu beliau menghembuskan nafas terakhir. Hari itu menjadi hari yang paling bersejarah terutama bagi masyarakat Islam Yogyakarta dan khususnya bagi keluarga PPSPA. Sebagai seorang ulama terdapat beberapa perbuatan KH. Mufid Mas’ud yang dapat diteladani serta dapat dijadikan peganagan bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Di antaranya yaitu :

Dekat dengan santri-santri

Meskipun KH. Mufid sebagai seorang kiai atau guru bagi para santri, namun beliau tidak mau dipanggil dengan panggilan “Kiai”. Beliau lebih suka dipanggil “Bapak”. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya seorang guru yang pantas digugu dan ditiru, beliau berusaha menjadi seorang ayah (orang tua) kedua bagi para santrinya.

Al-Quran & Shalawat

PPSPA merupakan tempat seseorang ingin menghafalkan Al-Quran. Sebagai pelengkapnya, KH. Mufid menyarankan santri-santrinya untuk membaca shalawat Dalailul Khoirot minimal seminggu sekali. Menurut beliau, istilahnya “Al-Quran di tangan kanan dan shalawat di tangan kiri”.

Jangan Suka Meminta

KH. Mufid Mas’ud sebagai kiai di pondok pesantren memiliki prinsip yang juga selalu diajarkan pada santri-santrinya. “Jangan suka meminta bantuan, termasuk pada negara, namun jika ada pihak yang memberi bantuan, silahkan diterima, asalkan niatnya benar-benar tulus ikhlas dan tanpa tambahan suatu apapun.”

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *