Kita sebagai makhluk sosial mau tidak mau butuh hidup berdampingan dengan orang lain. Inilah fakta yang tidak bisa dibantah sebab, setiap kebutuhan manusia tergantung dengan orang lain, bahkan sampai ia meninggal sekalipun, ia butuh orang lain yang mengurusinya. Hubungan sosial memang perlu namun terkadang secara tidak sadar dalam hubungan sosial tersebut timbul hal-hal negatif jika tidak dikontrol dengan baik. Misalnya saja timbulnya penyakit hati yang mana apabila tidak dihindari dan segera diobati, maka dapat menimbulkan perilaku negatif bahkan membahayakan orang lain.
Dalam beramal, sifat manusia terkadang tidak dari hati yang ikhlas. Banyak yang rela beramal namun tidak mendapat pahala apa-apa sebab orientasinya pada pujian orang lain. Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan orang memahami istilah syirik kaitannya dengan menyekutukan Allah. Sama juga memahami istilah riya’ dengan makna pamer. Namun apakah kalian tahu bahwa ada pendangan ulama tasawuf yang berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang tersebut. Seperti apa penjelasannya ?Berikut penjelasan mengenai istilah syirik dan riya yang serupa tapi tak sama kaitannya dengan amal.
Disebutkan dalam sebuah sya’ir dalam kitab Hidayat al-Adzkiyat ila Thariqi al-Auliya’ karya Syeikh Zainuddin al-Malibari:
عَمَلٌ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ تَرْكُهُ # لِلنَّاسِ ذَاكَ هُوَ الّرِيَاءُ سَبَهْلَلَا
“Amal perbuatan yang dilakukan karena manusia adalah syirik, sedangkan meninggalkannya karena manusia disebut riya’, (yaitu orang yang menipu)”
Sayyid Abu Bakar Syatho dalam kitab Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’ menjelaskan bahwa perbuatan riya’ adalah termasuk perbuatan yang merusak (tercela). Beliau menambahi bahwa beberapa orang meninggalkan suatu amal (tidak jadi beramal) karena khawatir dicap sebagai orang yang riya’.[ Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al- Ashfiya’, Semarang: Maktabah Karya Toha Putera, 36].
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa riya’ adalah meninggalkan suatu amal agar tidak dilihat oleh orang lain. Sedangkan syirik adalah melakukan suatu amal dengan tujuan diakui/dipuji oleh orang lain. Pengertian ini berkebalikan dengan pemahaman kebanyakan orang yang memahami riya sebagai perbuatan agar diakui dan dipuji orang lain dan syirik sebagai perbuatan menyekutukan Allah.
Jika meninggalkan sesuatu karena orang disebut riya’ dan melakukannya disebut syirik seperti yang diterangkan sya’ir di atas, lantas apa yang dimaksud ikhlas? Nabi SAW bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنَ الأَعْمَالُ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لَهُ وَابْتَغِيْ بِهَا وَجْهَهُ
“Tidaklah Allah menerima amal-amal kecuali amal seorang hamba yang tulus (ikhlas) karena Allah dan mencari ridho-Nya”. [Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, Semarang: Maktabah Karya Toha Putera, 32]. Syeikh Fudhail r.a menjelaskan bahwa Ikhlas adalah ketika Allah menghindarkanmu dari kedua sifat tersebut (riya’ dan syirik). [ Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, Semarang: Maktabah Karya Toha Putera, 36]. Dengan kata lain ketika kamu beramal tanpa ada tujuan/harapan tertentu dari orang lain, maka disebut ikhlas.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari sya’ir di atas apalagi di bulan Ramadhan yang suci. Jangan sampai kita beramal bukan karena Allah tetapi hanya untuk sekedar pujian atau pengakuan dari manusia.
Wallahu a’lam.
*Penulis : Abdul Ghofur (Pengajar di MA Al-Yasiniyah Kudus, alumnus Pascasarjana IAIN Kudus)