/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Biografi Kiai Aniq Muhammadun: Kiai Pesantren Penjaga NKRI

Oleh: Basmah Nafisah

Kiai Aniq Muhammadun atau yang biasa disebut Kiai Aniq lahir di desa Pondowan, kecamatan Tayu, kabupaten Pati, 31 Desember 1952.  Ayah beliau merupakan seorang Kiai yang masyhur bernama Kiai Muhammadun atau yang dikenal dengan Mbah Madun. Ibu beliau bernama Nyai Nafisah putri dari Mbah Yasin Mbareng. Sejak MI Kiai Aniq belajar di Mathali’ul Falah Kajen, kemudian setelah lulus melanjutkan belajar agama kepada abahnya-Kiai Madun-selama beberapa tahun hingga abahnya wafat. Pada tahun 1982, waktu umurnya 30 tahun, Kiai Aniq menikah dengan Ibu Nyai Hj. Salamah yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyyah. Nyai Salamah merupakan adik kandung dari KH. Maimun Zubair putra Kyai Zubair Dahlan. Pada tahun 1983, setelah sang istri lulus dari pendidikan Tsanawiyyah, Kiai Aniq memboyong sang istri untuk tinggal di Pondowan.[1]

Akan tetapi tinggalnya beliau di Pondowan tidak berlangsung lama. Pada tahun 1985 Kiai Aniq beserta istri dan anak pertama beliau pindah ke Sarang. Selama 3 tahun di Sarang, beliau mengajar di Pesantren Sarang dan mengajar di MGS (Madrasah Ghazaliyyah Syafi’iyyah). Saat dikaruniai anak ke dua pada tahun 1988, beliau kembali berpindah ke desa Pakis yang jaraknya tidak jauh dari desa Pondowan. Pada saat inilah pertama kali beliau merintis pondok pesantren Manbaul Ulum dengan 8 orang santri. Semakin tahun santri beliau semakin banyak karena berkah kealiman yang masyhurnya. [2]

Kiai Aniq adalah panutan bagi santri dan keluarganya. Beliau dikenal dengan sosok yang ‘alim dan istiqomah. Keistiqomahan beliau dapat dilihat dari jadwal yang sangat padat dalam mengajar atau mengaji kitab kuning. Beliau tidak pernah meninggalkan kegiatan ngaji ini kecuali saat sakit dan kegiatan mendesak. Beliau tidak hanya membuka pengajian terkhusus untuk santri saja, setiap hari beliau mengadakan pengajian harian di Pesantren di mana siapa saja boleh mengaji baik warga sekitar pesantren, tetangga, dan lain sebagainya. Pengajian ini dimulai pagi setelah shalat Subuh, siang sebelum jama’ah shalat Dzuhur mengaji kitab Tafsir Munir dan Mahallly Kanzu ar-rogibin, pengajian sore ba’da jama’ah Ashar menggunakan kitab Ihya Ulumuddin hingga menjelang Magrib dan bakda Isya, mengaji kitab Fathul Mu’in dan Sohih Bukhori. Adapun saat hari Jum’at bakda sholat Jum’at, Kiai Aniq mengadakan pengajian menggunakan kitab Irsyadul Ibad di Masjid Pakis, dan setiap Ahad siang beliau mengisi pengajian  dengan kitab Nasoihu ibad di masjid desa Pondowan. Selain itu, setiap selapan dino atau sebulan sekali, yaitu pada setiap hari Kamis malam Jum’at wage, beliau juga mengadakan pengajian di pesantren dengan kitab Al-hikam. [3]

Kiai Aniq sangat memperhatikan masalah pendidikan para santrinya. Salah satu keberhasilan pesantren PMU adalah menanamkan jiwa kebersihan, setiap Jum’at beliau turun langsung di pesantren bersama santri untuk mengadakan roan atau kerja bakti. Tak heran apabila Pesantren Manbaul Ulum mendapatkan gelar pesantren terbersih se pesantren Jawa Tengah.[4] Beliau juga sangat ketat terhadap santrinya, hal ini tak lain agar akhlak santri dapat dijaga sebagaimana seharusnya santri. Bahkan beliau terbuka kepada masyarakat, dan meminta kepada masyarakat agar melapor kepada pengurus pesantren jika ada santri PMU yang nakal, seperti nongkrong di jam malam, atau kenakalan yang lainnya. Beliau sangat meneguhkan prinsip kuat terutama dalam permasalahan agama.[5]

Bagi beliau, tantangan Indonesia saat ini adalah menjaga khuluq (tata krama) atas kenakalan pelajar, terutama pada sosial media. Keberadaan pesantren sendiri adalah untuk mendidik adab anak supaya memahami agama sekaligus mengamalkannya. sehingga syariat agama terealisasikan dalam amaliyyah sehari-hari, tidak hanya sekedar teori semata.[6] Khuluq merupakan sesuatu yang diprioritaskan, karena tindakan diri kita merupakan cerminan bagaimana diri kita. Ilmu sedikit saja ketika diamalkan bisa menyelamatkan jiwa di dunia dan akhirat. [7]

Meskipun hanya berlatar belakang pesantren, Kiai Aniq pernah aktif dalam partai. Saat Masih Muda, beliau pernah mengikuti PKB dan PKNU. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, karena beliau diminta oleh gurunya, Kiai Sahal untuk masuk dalam Organisasi Nahdatul Ulama. Mulai 2008 beliau Aktif di kegiatan Bahsul Masail NU dan sering menjadi mushohih Bahsul Masail terutama dalam permasalahan waqi’iyyah.[8] Beliau sangat berharap kalau santri harus selalu berpegang kepada kutubu at-turos, beliau menyampaikan apa yang pernah disampaikan Kiai Sahal ketika ditanya mengenai kewajiban mengikuti kutubu at-turos atau kutubu al-mazhab, Kiai Sahal menjawab bahwa memang kutubu al-mazhab  bukan merupakan suatu yang final, karena yang final adalah Al-quran, akan tetapi mengapa harus mengikuti kitab ulama madzhab? Karena itulah pilihan yang terbaik.[9]

Beli Buku

Pada tahun itu, beliau juga dicalonkan di pengurus wilayah NU JATENG, Akan tetapi beliau tidak terpilih dan akhirnya menjadi salah satu wakil Rais pengurus wilayah jateng. Kemudian pada Tahun 2013 hingga sekarang selama 2 periode beliau menjadi Raisy Syuriah NU Pati.[10] Kapastitas keilmuan beliaulah yang menjadikan menjadi Rois Syuriyah, NU membutuhkan tokoh seperti Kiai Aniq. Meskipun di sisi lain Kiai Aniq memang masih punya keterbatasan dalam segi manjemen dan keorganisasian, akan tetapi Keilmuan murni pesantren yang kuat mampu memperkuat legitimasi NU dan memiliki kharisma, beliau merupakan pelindung NU yang mana NU sendiri merupakan organisasi Islam yang sangat menjaga keutuhan NKRI.[11]

Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang disampaikan beliau ketika kami bertanya mengenai isu khilafah saat ini, beliau  mengatakan :

“Itu hanya wacana, satu contoh bank konvensional dan bank syariah menurut saya tidak ada bedanya. Setali tiga uang, nama itu ndak penting, kalau kita orang Islam tentu menginginkan agama Islam berlaku, untuk namanya terserah silahkan. Mau khilafah NKRI, terserah.  Dalam praktek fikih kan ada dan itu berbeda-beda, Mamlakah Saudiyya,Eemirat Arab, Amir, tidak semua agama Islam berbentuk khilafah, yang penting kan setiap pemimpin raja atau presiden menjalankan aturan yang aturan itu sesuai dengan syariat. Namanya terserah entah republik dan NKRI. “

Selain itu beliau juga bercerita bahwa saat berangkat haji mewakili NU Jawa Tengah pada tahun 20013, beliau sekamar dengan seorang dari PKS. Karena orang tersebut mengetahui bahwa Kiai Aniq merupakan seorang Kiai, akhirnya bertanya mengenai sistem khilafah itu sendiri. Orang tersebut mengandaikan sistem pemerintahan Islam seperti katolik di Roma yang memiliki seorang Paus memimpin katolik sedunia, kemudian berpendapat bahwa alangkah baiknya Islam juga dipimpin oleh khalifah. Akan tetapi kemudian Kiai Aniq menjawab “Kalau pun sistem khilafah bisa terjadi, itu ya bagus” lalu beliau Kiai Aniq bertanya balik, “Namun apakah mungkin dunia Islam bisa dipimpin oleh satu khilafah?” Jangankan se-dunia, di Indonesia saja sering terjadi konflik pada suatu masalah yang kecil, seperti contoh tidak ada persatuan pendapat mengenai keputusan hari raya di antara NU dan Muhammadiyah. Muhammadiyah berangkat dari hisab dan NU dari ru’yah hilal, “Lha opo meneh sak dunyo, kalo bisa si bagus, tapi bisa ndak ? tutur beliau.

Kiai Aniq juga berpendapat bahwa isi pancasila merupakan suatu yang Islami, karena dalam sejarah sendiri pancasila telah digodok oleh Kiai Wahid Hasyim tokoh pendiri NU, sehingga membela UUD dan Pancasila merupakan suatu pilihan. Kiai Wahid Hasyim telah memilih menghapus tujuh kata piagam Jakarta yang berbunyi “Atas kalimat ketuhanan dengan kewajiban menjalankankan syariat Islam bagi pemeluknya” demi keutuhan NKRI. Beliau juga mengungkapkan bahwa kemerdekanan Indonesia tidak hanya diperjuangkan oleh santri saja, akan tetapi melibatkan semua rakyat Indonesia baik itu muslim dann non-muslim. Selain itu apabila Piagam Jakarta diterapkan akan dikhawatirkan adanya ketakutan dari umat Islam, seorang yang imannya lemah justru akan bisa lari, dalam artian murtad jika aturan agama Islam diterapkan secara keseluruhan. Seperti ketentuan tentang had dalam fikih. Jika ketentuan tersebut diterapkan justru akan menjadi momok bagi umat Islam yang lemah.[12]

 

Sumber Rujukan

[1] Wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Salamah, istri Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

Beli Buku

[2] Wawancara dengan bapak Shofwan Muhammad, Pengajar Pesantren Manbaul Ulum, pada 22 Februari 2020.

[3] Wawancara dengan bapak Shofwan Muhammad, Pengajar Pesantren Manbaul Ulum, pada 22 Februari 2020.

[4] Wawancara dengan Arsala, santri ndalem Pesantren Manbaul Ulum, pada 22 Februari 2020.

[5] Wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Salamah, istri Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

[6] Wawancara dengan Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

[7] Wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Salamah, istri Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

[8] Wawancara dengan Bapak Umar Faruq, Pengurus Nahdatu Ulama’, pada 19 fbruari 2020.

[9] Wawancara dengan Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

Beli Buku

[10] Wawancara dengan Bapak Faishal Muzammil, Pengurus Nahdatu Ulama’, pada 22 februari 2020.

[11] Wawancara dengan Bapak Umar Faruq, Pengurus Nahdatu Ulama’, pada 19 fbruari 2020.

[12] Wawancara dengan Kiai Aniq Muhammadun, pada 15 februari 2020.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *