Oleh: Ni’amul Qohar
Suatu perbedaan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari sungguh tidak dapat dihindarkan. Juga sudah menjadi sunatullah atas kehendakNya menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan yang dimilikinya. Melalui perbedaan ini kita juga bisa mengetahui betapa kuasaNya Allah SWT yang menciptakan makhluknya dengan porsi kelebihan maupun kekurangan secara adil.
Islam sebagai agama yang diridhoi Allah SWT telah memberikan pelajaran maupun teladan yang sangat berharga dalam merawat perbedaan. Umat muslim telah dididik agar lebih mampu bersikap sabar dan tawadlu ketika menemui beberapa perbedaan di sekitarnya, supaya terbangun sikap Ukhuwah Islamiyah. Perbedaan itu jangan sampai menjadi sumbunya api kebencian untuk saling menghina, meremehkan, menyalahkan dan lain sebagainya.
Orang Melayu pernah memberikan pepatah yang berbunyi “Menepuk air di dulang terpecik ke muka sendiri”, artinya “Jika kita saling menghina kepada sesama umat Islam, maka sebetulnya kita menghina diri kita sendiri”. Di zaman yang serba digital ini banyak kita temui ujaran-ujaran kebencian yang saling menyalahkan, menghina dan lain sebagainya di media sosial. Mirisnya kejadian itu dilakukan oleh umat muslim terhadap sesama (saudaranya) muslim sendiri. Alih-alih mengkritik yang harapannya dapat membangun, tetapi justru menimbulkan sikap saling menghina yang dipenuhi emosi, ego kepentingan pribadi maupun kelompok, ingin menang sendiri sampai melontorkan kata-kata kotor yang tidak patut dilakukan oleh umat muslim.
Sangat ironis jika umat muslim tidak mampu merawat perbedaan di dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Ada pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kisah para imam mazhab yang saling memiliki pendapat berbeda-beda. Umat muslim harus mampu membaca lagi sejarah di zaman dahulu, ketika para imam mazhab menyikapi perbedaan dengan lapang dada dan penuh keilmuan.
Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik, akan tetapi seiring berjalannya waktu sang murid menjelajah jauh lebih luas daripada gurunya, beliau berkembang menjadi tokoh independen yang menjadikannya mendirikan mazhab sendiri. Hal ini tidak lain di latar belakangi oleh perbedaan pendapat Imam Syafi’i kepada Imam Malik sekitar 14.000 permasalahan. Sedangkan dengan Imam Hanafi tercatat sekitar 6.000 perbedaan permasalahan dalam menentukan hukum Islam.
Mereka tidak saling menghina, menyalahkan bahkan saling memusuhi. Ibnu Hanifah juga pernah memberikan dawuh “Pendapat kita ini benar, akan tetapi ada kemungkinan salah, pendapat orang lain itu salah, tetapi ada kemungkinan benar.” Umat muslim telah dididik dan diberi teladan akhlak yang baik seperti uraian di atas. Hal ini seharusnya, sudah tidak ada lagi permasalahan bagi umat muslim dalam menyikapi perbedaan.
Sumber rujuan
Nurcholish Madjid “Enciklopedi Nurcholish Madjid”, Cetakan 1- Jakarta, Mizan, 2006.