Oleh: Ayu Diah Kurnia
Syeikh Hamzah al-Fansuri merupakan ulama cendekiawan, sufi, dan budayawan yang berada di daerah Aceh. Beliau hidup pada pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah (pertengahan abad ke-16 M) hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam (awal abad ke-17 M). Bargansky menginformasikan bahwa al-Fansusri hidup hingga akhir masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda (1607-1636) dan wafatnya beberapa tahun setelah datangnya Nurruddin Ar-Raniy yang kedua kalinya di Aceh pada tahun 1637.[1]
Beliau berasal dari Pancur sebuah tempat yang berada di Pesisir Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pacur dalam sebutan Arabisasi Fansur, sebagaimana yang menempel di ujung nama Hamzah Fansuri. Akan tetapi dalam sajak-sajaknya telah disebutkan bahwa dirinya berasal dari Shahr Nawi, sebuah kota di Syam tempat bermukimnya pedagang dan ulama’ Islam dari Persia dan Arab, meskipun belum bisa dipastikan mengenai dimana beliau dilahirkan, akan tetapi kedua tempat tersebut penting bagi kehidupan beliau.[2]
Ulama Indonesia banyak yang terkenal lantaran karya-karyanya yang telah tersebar luas di penjuru dunia Islam, di antaranya; Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Hamzah al-Fansuri dalam bidang keilmuan telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang begitu sistematis serta sifatnya ilmiah. Masyarakat muslim Melayu memperlajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang telah ditulis oleh beliau dalam bahasa Arab atau Persia. Selain mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan dalam bidang keilmuan, Di dalam bidang sastra beliau juga yang mempelopori penulisan syair-syair filosofis dan mistis yang bercorak Islam, di dalamnya terkandung syair-syair beliau yang sukar ditandingi oleh para penyair semasanya atau sesudahnya.[3]
Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain. Dalam bidang bahasa, beliau juga sangat menguasai beberapa bahasa, seperti halnya bahasa Arab, Urdi, Parsi, Melayu dan Jawa. Metode yang digunakan beliau untuk belajar bahasa yaitu dengan cara mengemas seluruh sektor ilmu bahasa untuk berbicara secara fasih. Riwayat hidupnya tidak banyak yang mengetahui, beliau diperkirakan menjadi penulis pada masa Kesultanan Alaiddin Riayatsyah yang merupakan Sulthan yang ke-4 dengan gelarnya Sayyid Mukammil.
Syekh al-Fansuri melakukan sebuah perjalanan dhohir-batin dengan tujuan untuk menggali ma’rifat Tuhan. Beliau juga telah melalang-buana dalam menempuh pendidikan sebagai bekal untuk memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel. Banyaknya tempat yang pernah beliau tinggali ketika melakukan perjalanan tersebut, antara lain; Kudus, Banten, Johor, Syam, India, Persia, Irak, Mekkah dan Madinah. Sedangkan tempat-tempat yang beliau pernah tinggali ketika menempuh pendidikan yakni di Singkel dan beberapa tempat yang ada di Aceh lalu di lanjutkan ke India, Persia dan Arab. Oleh karena itu beliau sangat fasih dalam berucap dengan berbagai bahasa, di antaranya; Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.
Selain sangat fasih dalam berucap, beliau juga menguasai berbagai ilmu yang telah dipelajari, sehingga dapat ditularkan kepada para muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus, dan Singkel. Ilmu-ilmu yang pernah beliau pelajari di antaranya; Ilmu Fiqh, Tasawwuf, Tauhid, Ahlaq, Mantiq, Sejarah, Bahasa Arab dan Sastra. Setelah ditempuhnya pendidikan di Kudus, beliau tinggal di kampung kecil yang teletak di tengah hutan. Disitulah beliau mengalami keadaan yang fana hingga dapat mencapai penyatuannya dengan sang khaliq yang merupakan cita-cita beliau, menemui wujud dirinya yang sejati yang seakan-akan dilahirkan kembali.
Syekh Hamzah al-Fanani telah terpengaruh oleh pemikiran mistiko falsafi yang begitu tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqom ma’rifah saja, sebagaimana kaum mistiko-sunni. Akan tetapi melampauinya kepada tingkat yang paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan sang Tuhan yang disebut dengan Ittihad. Dari segi lain yang dimiliki oleh Hamzah Fansuri ialah adanya kepedulian sosial, yaitu yang lebih dikhususkan kepada hal yang menyangkut perbedaan strata sosial antara para budak dan tuannya masing-masing.[4]
Karya-karya Syekh Hamzah al-Fansuri yang terkenal di dalam kesusastraan Melayu/ Indonesia, tercatat buku-buku syairnya, antara lain:
- Syair burung pingai
- Syair dagang
- Syair pungguk
- Syair sidang faqir
- Syair ikan tongkol
- Syair perahu
- Syair Thair al-‘Uryan.[5]
Ada beberapa karangan Syekh Hamzah al-Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain:
- Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
- Syarbul ‘asyiqiin
- Al-Muhtadi
- Ruba’i Hamzah al-Fansuri.[6]
Para penulis atau para penyair Melayu abad ke-17 dan 18 mayoritas berada di bawah bayang-bayang kejeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri. Di dalam bidang kesusastraan, Syekh Hamzah Fansuri adalah ulama pertama yang memperkenalkan syair, dengan kriteria puisi 4 baris, skema sajak akhirnya a-a-a-a-a, syair sebagai suatu ungkapan dengan bentuk pengucapan yang indah dan menarik, seperti halnya pantun yang sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di dalam bidang kebahasaan pun hasil Karya Syekh Hamzah Fansuri sulit untuk dapat diingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu Syekh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan bahasa-bahasa nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya jatuh dan setelah nya biasa menjadi lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syekh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syekh Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di dalam bidang ilmu filsafat, Tafsir dan kajian analisis sastranya, Syeikh Hamzah Fansuri sudah pernah mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kepiawaian keruhanian. Syekh Hamzah Fansuri di dalam bidang hermeneutika sangat terlihat. Asrar Al Arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dibuat oleh ahli tasawuf nusantara. Syekh Hamzah Fansuri telah memberi Tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang sangat luas mencakup metafisika logika-logika, epistemologi dan estetika.
Asrar bukan saja merupakan salah satu akhlak tasawuf paling original yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga pakan kitab keagamaan klasik yang paling original, jernih dan cemerlang bahasanya, dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syekh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang sangat dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.
Syekh Hamzah Fansuri pernah menerangkan bahwa untuk mengenal jati diri seseorang, seorang Sufi harus mengawalinya dengan suatu metode tafakur tertentu. Suatu metode dengan latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai jenis aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering di salah tafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berdzikir, atau merapal mantra.[7]
Syekh Hamzah al-Fansuri merupakan pelopor Wujudiyah di Nusantara. Pandangan tasawuf yang dimiliki oleh Beliau yang berbau Wujudiyah (panteisme). Tokoh yang dianggap amat berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yakni Ibnu ‘Arabi melalui karya-karyanya. Bahkan/sampai-sampai Hamzah Fansuri dianggap sosok pertama yang menjelaskan paham Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi bagi kawasan Asia Tenggara. Beliau banyak mengutip pendapat dari para sufi yang beraliran wujudiyah dan non-wujudiyah untuk menjelaskan dan memperkuat pendapat Ibnu ‘Arabi yang dinisbatkan kepadanya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas’udi, Farid al-Din al-Attar, Jalal al-Din al-Rumi, al-‘Iraqi, al-Maghribi Syah Ni’matullah, dan al-Jami.
Selain Syekh Hamzah al-Fansuri dengan keahliannya menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, beliau juga menyusun kata-kata dengan amat luar biasa, sehingga dapat sesuai dengan paham Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi. Dengan demikian Hamzah Fansuri masih disebut sebagai penganut tarekat Qadiriyah yang dituturkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan beraliran Sunni. Disebutkan juga di dalam bidang fiqih bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri bermazhab al-Syafi’i.
Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi dengan memiliki paham tasawuf wujudiyah yang telah dikembangkan oleh sufi panteisme atau falsafat monisme.[8] Penegasan tentang wujudiyah (wahdat al-wujud) yang menjelaskan tentang keberadaan wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lainnya.[9]
Sumber Rujukan
[1] “Sejarah Hidup Hamzah Fansuri”, https://m.facebook.com/permalink.php?story_fbid=517493604991096&id=509968922410231, Diakses pada 26 Juli, 2014)
[2] Bobbi Aidi Rahman, “Sastra Arab dan Pengaruh-pengaruhnya Terhadap Syair-syair Hamzah al-Fansuri“. Tsaqofah & Tarikh Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016)
[3] “Biografi Syeikh Hamzah Fansuri” https://www.slideshare.net/mobile/rinanurjanah1/biografi-syeikh-hamzah-fansuri Diakses pada 17 Januari 2018
[4] “Sejarah Syekh Hamzah al-Fansuri“, http://wiyonggoputih.blogspot.com/2015/07/sejarah-syaikh-hamzah-al-fansuri.html?m=1 Diakses pada 20 Juli 2015)
[5] Mira Fauziah, “Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri“. Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013) 299.
[6]Ibid,. Hal. 301.
[7] “Biografi Syeikh Hamzah Fansuri” https://www.slideshare.net/mobile/rinanurjanah1/biografi-syeikh-hamzah-fansuri Diakses pada 17 Januari 2018
[8] Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri“. Episteme, Vol. 12, No. 1, Juni 2017, 273-274.
[9] Yulya Sari, Skripsi: “Konsep Wahdatul Wujud dalam Pemikiran Hamzah Fansuri“. (Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017),129.)