Oleh: Ni’amul Qohar
Menurut salah satu ulama, huruf ra’ pada kata Al-Faqir (orang yang miskin) bisa melengkung berubah menjadi huruf ha’, sehingga menjadi kata Al-Faqih (orang yang pandai ilmu agama). Pun ada salah satu syair dari seorang ulama, berbunyi “Aku berkata kepada kemiskinan, di mana kamu bertempat tinggal? Kemiskinan itu menjawab, “Tempat tinggalku adalah di sorban para fuqoha.”
Guru kami selalu berpesan, “Ketika masih menjadi santri (berproses menuntut ilmu), jangan kaya dulu, bisa berbahaya nanti.” Maksud dari pesan beliau adalah ilmu beserta kekayaan tidak bisa bersatu secara utuh. Diberikan kecukupan merupakan jalan yang tepat bagi santri. Kita bisa melihat kisah para ulama terdahulu ketika masih nyantri proses mencari ilmu. Mereka menghiasai kehidupannya dengan kecukupan. Sangat memprihatinkan, namun tetap sabar sehingga mencapai derajat tinggi di sisi Allah SWT maupun makhluknya. Karena ilmu yang didapatkannya bermanfaat dan berkah untuk kehidupannya sendiri maupun orang lain.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya Ibnu Hazm menceritakan kisah al-Baji dengan kondisi kermiskinannya, dan Ibnu Hazm dengan kondisi kekayaannya ketika mencari ilmu. Ibnu Hazm melihat bahwa melimpahnya harta kekayaan membuat buntunya jalur-jalur ilmu menuju ke-jiwa. Sehingga jiwa tidak lagi memiliki perhatian, kosentrasi kepada keilmuan. Kekayaan dan kemewahan berpotensi menarik kepada kondisi main-main atau bersenang-senang. Hal ini dapat membuat padamnya cahaya hati, membutakan kecerdasan, melenyapkan ketajaman pemahaman bahkan sampai tertutupnya pintu cahaya kemakrifatan.
Adapun orang miskin, meskipun dirinya juga disibukan dengan kegiatan mencari kehidupan, namun pintu sikap main-main, bersenang-senang yang tidak serius akan tertutup. Sehingga jiwanya pun menjadi bersinar cerah dan cahaya hidayah pun memancar terang.
Sedangkan menurut al-Baji, terpenuhinya material bisa memberikan kemudahan dalam mencari ilmu. Tanpa harus memandang bahwa faktor kemewahan dan kekayaan seringkali diikuti sikap main-main atau bersenang-senang, yang mengakibatkan dirinya berpaling dari ilmu. Artinya kondisi kaya jangan sampai membuat kita terlena. Tetap fokus dalam hal keilmuan, menjadikan kekayaan tersebut sebagai wasilah agar mudah dalam mencari ilmu. Begitupun dengan kondisi miskin, jangan sampai membuat kita patah semangat. Sebab banyak juga para ulama yang miskin lebih sukses dibandingkan yang berlimpah harta dalam prosesnya mencari ilmu.
Sebenarnya kemiskinan itu dapat dibagi menjadi dua yang dilihat dari segi dampaknya. Pertama yaitu kemiskinan yang mengakibatkan hati tidak tenang sebab terlalu banyak beban pikiran dan beratnya tanggungan kehidupannya. Dampak kemiskinan ini seperti halnya apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, “Jangan kamu meminta pandangan dan masukan kepada orang yang di rumahnya tidak ada gandum, karena dalam kondisi seperti itu, ia adalah orang yang kehilangan ketajaman dan kecerdasan akalnya.”

Artinya kemiskinan bisa membuat orang tersebut menjadi kacau pikiran dan hatinya, mematikan potensi, menghambat langkah untuk maju, kehilangan ketajaman serta kecerdasan akalnya dan menimbulkan dampak buruk lainnya. Ibaratnya seperti halnya pohon yang layu sebab kurangnya asupan air.
Kemiskinan berdasarkan dampaknya yang kedua yaitu meskipun ia fakir, namun beban kebutuhan yang dipikulnya dirasa ringan, dan berkecukupan. Di samping itu kondisi jiwanya tenang karena memiliki keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT. Dampak kemiskinan hanya ini mempengaruhi kondisi fisiknya saja. Adapun jiwa, hati dan pikirannya sangat tenang, stabil dan cemerlang. Kemiskinan seperti ini banyak dialami oleh para ahli ilmu yang keilmuannya bisa berkah dan bermanfaat sampai sekarang ini. Salah satu contohnya yaitu Abu Hurairah.
Sahabat Nabi Muhammad SAW yang bernama Abu Hurairah ini menjadi gambaran konkrit tentang kondisi kemiskinan dalam proses menuntut ilmu. Abu Hurairah mengalami kemiskinan yang membuatnya senantiasa tenang, karena ringannya beban tanggung jawab. Memiliki banyak waktu untuk menghadiri majelis Rasulullah SAW. Abu Hurairah menjadi salah satu Sahabat yang banyak meriwayatkan hadist, yang sangat bermanfaat bagi kaum muslim sebagai landasan hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Seandainya ia adalah seorang saudagar atau petani yang memiliki ladang luas, seperti halnya para kaum Muhajirin dan Anshar lainnya. Pastinya Abu Hurairah akan disibukkan oleh pekerjaannya tersebut. Tidak memiliki waktu untuk bersama Rasulullah SAW dalam rangka menghadiri majelis keilmuannya. Bahkan tidak ada waktu untuk menghafal setiap perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
Selama masih menjadi santri dalam proses menuntut ilmu. Hidup kecukupan menjadi jalan yang sangat tepat. Patut untuk selalu disyukuri. Tidak berperilaku mewah sehingga membuat santri terlena dan tidak juga terkendala dengan kemiskinan yang mematahkan semangatnya.
Ada sebuah kisah dari Al-Qodhi Abu Yusuf yang menjadi murid Imam Abu Hanifah. Waktu berproses belajar hadits dan fiqih, Abu Yusuf berada dalam kondisi miskin, sederhana dan sangat memprihatinkan. Pada suatu hari ketika Abu Yusuf bersama Imam Abu Hanifah, ayahnya datang seraya berkata, “Wahai anakku, janganlah kamu menjulurkan kakimu bersama Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rotinya dibakar (maksudnya adalah orang kaya), sementara kamu adalah orang yang masih butuh kepada penghidupan.”
Setelah terjadinya pertiwa tersebut Abu Yusuf sudah jarang sekali menghadiri majelis Imam Abu Hanifah. Dalam satu kesempatan sang guru mulia ini sering kali mencari Abu Yusuf dan menanyakan keberadaannya. Mendengar berikat bahwa sang guru mencarinya, maka Abu Yusuf kembali mengikuti majelis ilmu Imam Abu Hanifah. Pada hari pertama Abu Yusuf masuk setelah beberapa hari absen, beliau ditanya oleh Imam Abu Hanifah, “Apa yang membuatmu tidak lagi bersama kami?”, Abu Yusuf menjawab, “Sibuk bekerja mencari penghidupan dan mematuhi ayahku.”
Setalah majelis selesai, orang-orang pada membubarkan diri. Imam Abu Hanifah memberikan kantong dan berkata, “Pergunakan ini”. Ketika kantong tersebut dibuka oleh Abu Yusuf, ternyata di dalamnya terdapat uang sebanyak seratus dirham. Lalu Imam Abu Hanifah berkata, “Aktiflah kamu menghadiri majelis ta’limku . Jika uang itu habis beritahu aku.”

Sejak saat itu, Abu Yusuf aktif kembali dalam majelis Imam Abu Hanifah. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah memberikan uang lagi kepada Abu Yusuf seratus dirham. Bahkan Imam Abu Hanifah selalu memberikan uang kepada Abu Yusuf, meskipun dirinya tidak memberitahu kepada gurunya mengenai kondisi keuangannya.
Abu Yusuf semakin aktif dalam belajar dan menghadiri mejelis ilmu Imam Abu Hanifah. Sehingga Allah SWT membukakan hatinya, memberikan kemanfaatan kepadanya ilmu dan mengangkat derajatnya sebagai qadhi.
Wallahu’alam