Oleh: Ni’amul Qohar
Kontribusi Kiai Bisri Mustofa dalam dunia literasi tidak perlu diragukan lagi. Seorang ulama kelahiran Rembang ini telah banyak melahirkan karya tulis. Ia mulai menulis sejak menjalani masa tahanan rumah selama kurang lebih satu tahun (1949-1950). Waktu itu ia menjalani aktivitas seharinya hanya dengan berdiam diri di dalam rumah. Ia tidak boleh keluar rumah dan juga tidak diberkenankan menerima tamu. Sejak saat itulah ia menulis kitab, menerjemah, membuat tulisan untuk khutbah jum’at sampai khutbah tentang peringatan hari 17 Agustus.
Hasil karya Kiai Bisri Mustofa meliputi berbagai disiplin keilmuan agama Islam. Ia menulis tentang ilmu tafsir Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an, ilmu hadist dan hadits, ilmu nahwu, shorof, syari’ah (fiqih), akhlak dan lain sebagainya. Jumlah karyanya ada kurang lebih sebanyak 176 judul. Bahasa yang digunakannya bervariasi, ada bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan gaya tulisan huruf Arab Pegon, ada yang berbahasa Indonesia dengan gaya tulisan huruf latin, dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab.
Ketika Kiai Bisri Mustofa berada di rumah, hampir setiap malam waktunya dihabiskan untuk muthala’ah kitab dan menulis sampai larut malam. Kemudian dilanjutkan untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah SWT. Selain di rumah, ia juga sering kali menulis ketika dalam perjalanan, di hotel, bahkan di atas mobil pun ia bisa menulis. Sebagai pendidik sejati, ia menulis sebuah karya buku yang nanti bisa dijadikan pegangan oleh para santri. Kiai Bisri Mustofa tidak hanya menyampaikan ilmu dalam bentuk ucapan (lisan), melainkan menulis karya buku yang akan abadi sepanjang masa.
Menurut cerita salah satu putranya yang bernama Kiai Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Mus. Bahwa ayahnya ini memiliki falsafah yang sangat menarik dalam ghirohnya menulis. Falsafah ini didapatkan oleh Gus Mus ketika mendengar percakapan antara ayahnya, Kiai Bisri Mustofa dengan sahabatnya, Kiai Ali Maksum (gurunya Gus Mus).
“Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari Sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim.” Ucap Kiai Ali Maksum mengawali percakapannya.
“Tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.” Imbuh Kiai Ali Maksum.

Kiai Ali Maksum sendiri telah meninggalkan karya tulis ilmiah keagamaan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Jawa. Beberapa karya Kiai Ali Maksum yaitu, Hujjah Ahlisunnah wal Jama’ah, Jawami’ul Kalim: Manqulah min Ahadits al-Jami’ ash-Shagir Murattabah ‘ala Huruf Hijaiyyah ka Asliha, Tasrif ul-Kalimah, As-Sharaf al Wadlih, Risaltus Shiyam, Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, Ajakan Suci: Pokok-Pokok Pikiran tentang NU, Eling-Eling Siro Manungso, Risalah Ramadhan (Risatussiyam). Karya tulis Kiai Ali Maksum lebih sedikit dibandingkan dengan karya tulis Kiai Bisri Mustofa, hal inilah yang membuatnya penasaran dengan Kiai Bisri Mustofa, mengapa lebih produktif dibandingkan dirinya.
Mendengar ucapan Kiai Ali Maksum, dengan gaya khasnya Kiai Bisri Mustofa menjawab, “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!” mendengar jawaban Kiai Bisri Mustofa seperti itu tentu membuat Kiai Ali Maksum terkejut.
“Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala, lalu dengan niat apa?
Kemudian Kiai Bisri Mustofa menjelaskan bahwa ia menulis selama ini dengan niat nyambut gawe (bekerja).
“Etos saya dalam menulis sama dengan seorang penjahit. Lihatlah penjahit itu. Ketika ada tamu pun, si penjahit tidak akan berhenti dari menjahit. Ia menemui tamunya sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling. Saya juga begitu.
Kalau belum-belum Sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu Sampeyan dan pekerjaan Sampeyan tidak akan selesai. Lha nanti kalau tulisan sudah jadi dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmu atau apa. Setan perlu kita tipu.”
Gus Mus sendiri telah menyampaikan perihal yang serupa kepada Pak Joni Ariadinata mengenai kasus seperti yang terjadi di atas. Waktu itu Pak Joni Ariadinata seorang cerpenis Indonesia mengisi sebuah acara kepenulisan di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah. Ia bercerita kepada kami yaitu para santri yang turut hadir dalam acara tersebut. Ceritanya pada suatu kesempatan Pak Joni Ariadinata sowan kepada Gus Mus. Ia mengutarakan unek-uneknya bahwa selama ini ketika menulis hanya untuk mencari honor atau uang. Tidak niat yang mulia-mulia. Lalu Gus Mus menjawab kegelisahan Pak Joni Ariadinata dengan mengatakan menulis untuk mencari honor atau uang itu mulia. Sebab dari uang atau honor itu kan nantinya juga buat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Ketika dapat uang bisa digunakan untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika itu dilakukan akan memiliki nilai yang mulia, tidak pula mengganggu ibadah atau melanggar syariat agama.

Sumber Referensi
Achmad Zainal Huda, “Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, Pusatak Pesantren, 2005 Yogyakarta
Ahmad Athoillah, “KH. Ali Maksum Ulama Pesantren, dan NU, LKiS, 2019 Yogyakarta