/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Hukum Menambah Sayyidina Dalam Shalat

Oleh: Gus M Syihabuddin Dimyathi

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah Sayyidu waladi Adam, pemimpin anak cucu Nabi Adam, seperti salah satu hadits beliau:

أنا سيد ولد آدم

Akan tetapi lafadz “Sayyidina” di dalam tasyahud tidak ada satupun riwayat dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam yang menyebutkannya. Dan ulama’ terjadi perbedaan pendapat tentang menambahkan “Sayyidina” di dalam tasyahud, ada dua pendapat :

1. Ibnu Dzohiroh berpendapat sunah, dan pendapat ini juga menjadi pegangan Ibnu Hajar, Ar-Romli, Az-Ziyadi, dan Al-Halabi.

2. Pendapat yang di pegang Al-Khotib menyatakan tidak sunah, dan ia berkata: “Dzohir kalam ulama adalah berpegangan pada pendapat tidak disunahkannya hal itu.”

Ada satu pendapat lagi sebagaimana disampaikan Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj, yaitu pendapat Ath-Thusi yang menyatakan shalat menjadi batal jika menambahi lafadz “Sayyidina” saat tasyahud. Sedangkan Al-Isnawi ragu-ragu mana yang lebih utama antara dua hal itu.

Beli Buku

Sebab perbedaan pendapat ini berawal dari masalah “lebih utama mana antara mendahulukan adab ataukah mendahulukan perintah?” Jika mengatakan lebih utama mendahulukan adab maka menyebutkan “Sayyidina” saat tasyahud adalah sunah, dan jika mendahulukan perintah lebih utama maka hal itu tidak di nilai sunah, karena tidak ada dalil pasti tentang itu.

Dan memperkuat pendapat lebih utama mendahulukan adab adalah hadits Sayyidina Abu Bakar ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan beliau untuk tetap mengimami akan tetapi Abu Bakar menolak perintah tersebut dan berkata: “Anak Abu Quhafah (yakni Abu Bakar) tidaklah pantas berada di depan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.”

Begitu juga penolakan Sayyidina Ali untuk menghapus nama Nabi shalallahu alaihi wasallam dari kertas perjanjian Hudaibiyah setelah diperintahkan Rasulullah. Dan beliau berkata: Selamanya aku tidak akan menghapus namamu.”

Dua hadits ini berstatus sahih dan ada dalam Sahih Bukhari.  Dan ketetapan Nabi yang mana beliau tidak mempermasalahkan penolakan keduanya sebagai wujud adab, memberi isyarat lebih utama mendahulukan adab daripada mendahulukan perintah. Adapun hadits:

ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ

Maka hadits tersebut batil, tidak ada sumbernya, sebagaimana diutarakan sebagian muta’akhhiril huffadz, para ahli hadits Mutaakhirin.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *