Oleh: Gus Rif’an Haqiqi
Saya lumayan mengikuti polemik Dr. Arrazy Hasyim sejak beberapa bulan lalu, secara pribadi saya tidak setuju pada ceramah-ceramahnya yang kontroversial. Saya pun beberapa waktu lalu sempat membuat status wa yang isinya tidak merekomendasikan ceramah Dr. Arrazy untuk sementara waktu. Namun bukan polemik itu yang ingin saya bahas, saya ingin menyampaikan pandangan saya tentang ilmu hakikat secara umum.
1. Dalam pembacaan saya, mengenai ilmu hakikat dan ilmu sufi aneh-aneh itu lebih tergantung pada siapa sumbernya. Jika sumbernya sudah dikenal istiqamah menjalankan syari’at, memiliki penguasaan pada ilmu syari’at dan tasawuf, bagus akhlaknya baik lahir maupun batin, terlebih mendapatkan pengakuan dari banyak ulama lain tentang kealiman dan kesalehannya, maka orang akan banyak taslim (meng-iya-kan) padanya. Minimal, meski tidak setuju, tidak berani berkomentar macam-macam. Ini sikap kebanyakan orang ya, tidak menyeluruh. Sikap seperti ini bukan tanpa dasar, dasarnya ya karena sang sumber tadi adalah sosok yang mumpuni dan terpercaya, sehingga ketika menyampaikan ilmu yang jarang didengar, orang-orang akan banyak yang berpikir bahwa ilmu mereka kurang dalam sehingga tidak bisa memahami. Tau al-‘Arif Guru Sekumpul, kan?. Saya teringat dawuh Imam al-Haddad dalam Nafais ‘Ulwiyyah:
وصاحب الحال يسلم له حاله مهما كان صادقا فيه
2. Ilmu hakikat tidak akan bertentangan dengan syariat. Benar, tidak perlu ditanya dalilnya, banyak sekali. Tapi yang jarang dibahas, siapa yang dapat mengetahui kesesuaian hakikat dengan syariat? Tentu yang memiliki kedua ilmu tersebut. Karena sesuai di sini bukan berarti sama bentuknya, melainkan sama esensinya. Kisah dua nabi; Musa dan Khadhir as cukup kiranya menjadi contoh. Apa berani mengatakan tindakan nabi Khadhir tidak sesuai syariat? Jadi menguasai syariat saja tidak cukup.
3. Kaidah-kaidah tasawuf dan teori-teori yang dituliskan oleh para ahlinya, itu tentunya secara umum. Tidak mencakup semua al-ahwal al-waridah yang dirasakan setiap salik dan wali. Karena sangat banyak dan beragam, tidak mungkin dituliskan semuanya, maka diambil titik temu lalu dirumuskan menjadi sebuah kaidah. Jelas ada jarak antara keterangan yang bersifat global dan penjelasan secara rinci. Atau penulis menuliskan apa yang menjadi pengalaman spiritualnya, yang tentu berbeda dengan orang lain.
4. Namun bagaimanapun, kewajiban amar ma’ruf ketika melihat hal yang melanggar syari’at tetap berlaku. Bahkan andaikan yang diingkari adalah seorang wali, ketika ingkarnya ikhlas lillahi ta’ala, dia tidak salah, ma’dzur. Ya memang kewajibannya seperti itu.
