/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Jaka Tingkir : Tokoh Legendaris Tanah Jawa

Oleh: Ni’amul Qohar

Banyak kita jumpai ada sorang santri yang ikut kiainya cukup lama, mengbadi di pondok pesantren lalu diambil menantu. Meneruskan estafet perjuangan sang kiai dalam berdakwah mengembangkan pendidikan agama Islam. Peristiwa tersebut juga pernah terjadi di zaman dahulu, pada waktu Jaka Tingkir mengabdi di Kesultanan Demak. Atas kesaktian, kebersihan hati dan ketulusan jiwanya ia diambil menantu oleh Sultan Trenggono, diberikan kekuasaan di Pajang, lalu menjadi sultan di sana dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Dalam buku Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Karebet. Ia merupakan keturunan Ki Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) dari Kerajaan Majapahit. Ketika usianya masih 10 tahun, ia ditinggal mangkat oleh ayahnya. Sang ayah terdakwa telah melakukan pemberontakan kepada Kesultanan Demak, sehingga ia mendapatkan hukuman mati. Setelah ayahnya meninggal, tak lama kemudian disusul oleh ibunya. Mas Karebet menjadi yatim piatu lalu diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir.

Perubahan nama Mas Karebet menjadi Jaka Tingkir bermula dari sini. Sebuah nama yang dinisbatkan kepada daearahnya, tempat ia dibesarkan yaitu Desa Tingkir. Sampai saat ini namanya sangat mashur dikenal Jaka Tingkir (Pemuda dari Desa Tingkir). Mas Karebet kecil telah diramalkan akan menjadi penguasa di tanah Jawa. Ketika usianya menginjak 11 tahun, ia dibawa oleh ibunya menuju Demak dalam rangka mengabdi kepada Sultan Trenggono.

Mengabdi di Kesultanan Demak

Mas Karebet menjadi pemuda yang sangat taat terhadap perintah ajaran agama Islam, memiliki budi pakerti yang luhur serta pemberani. Selain itu, ia juga patuh pada setiap aturan-aturan di dalam kitab Jaya Langkara, sebuah kitab yang disusun oleh Sultan Trenggono, berisi prinsip-prinsip hukum dan aturan-aturan agama Islam, yang digabungkan dengan perintah-perintah kuno di negeri ini. Atas kepatuhannya itu membuat Sultan Trenggono tertarik dengan Mas Karebet. Kemudian sang sultan mengangkatnya menjadi komandan pengawal peribadi sultan yang berjumlah 800 orang laki-laki.

Perjalannya mengabdi kepada Sultan Trenggono menemukan cobaan ketika ia bertemu dengan Dhadhungawuk. Diceritakan pada waktu itu ada seorang lelaki yang datang di Kesultanan Demak, ia berasal dari Kediri, keperluannya untuk melamar sebuah perkerjaan. Namun lelaki ini memiliki sifat sombong yang katanya tidak mempan dari berbagai jenis senjata. Hal ini membuat Jaka Tingkir geram yang ingin menjajal kesaktian Dhadhungawuk. Jaka Tingkir menusuk Dhadhungawuk dengan kerisnya, lalu keluarlah banyak darah sehingga membuat Dhadhungawuk meninggal dunia.

Beli Buku

Peristiwa ini telah membuat sang sultan murka, lantas mengusir Jaka Tingkir untuk pergi dari Kesultanan Demak. Jaka Tingkir meninggalkan Kesultanan Demak dengan langkah gontai dan wajah muram atas perasaan bersalahnya. Ia terus berjalan melewati Gunung Kendeng, pergi ke arah selatan sampai Jatitengah. Kemudian di sana ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh untuk diajak ke Gunung Beluk.

Jaka Tingkir tinggal di rumah Ki Ageng Butuh untuk sementara waktu. Ia disarankan untuk segera berziarah ke makam ayahnya oleh Ki Ageng Butuh. Setelah selesai melakukan ziarah di makam ayahnya, ia mendapatkan petunjuk agar berjalan ke arah Getasaji untuk bertemu dengan Ki Buyut Banyubiru. Sesampainya di sana dan bertemu dengan Ki Buyut Banyubiru, ia mendapat perintah untuk kembali mengabdi di Kesultanan Demak. Menurut ramalan Ki Buyut Banyubiru, kelak Jaka Tingkir akan menjadi Raja Pajang.

Setelah mendapatkan restu dari Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir dengan ditemani putra dan keponakan Ki Butut Banyubiru menuju Demak. Mereka menyusuri Sungai Dengkeng dengan gethek. Di tengah perjalannnya mereka dihadang oleh pasukan buaya sebanyak 200 ekor. Pasukan buaya tersebut dipimpin oleh raja buaya putih bernama Baureksa, dan patihnya bernama Julumampang. Pertarungan tidak dapat dihindari, berkat kesaktian Jaka Tingkir beserta tiga kawannya ini, mereka mampu mengalahkan pasukan buaya. Peristiwa ini menjadi suatu rintangan yang harus dilewati oleh Jaka Tingkir agar bisa menjadi Raja Pajang.

Sampailah rombongan Jaka Tingkir di tepian sungai, mereka langsung bergegas menuju ke Grobogan (tempat yang bedekatan dengan pesanggarahan Sultan Trenggono di Gunung Prawata). Kemudian Jaka Tingkir mencari Kerbau Ndanu di dalam sebuah hutan. Setelah menemukan si kerbau, Jaka Tingkir memasukan tanah berisi jampi-jampi yang diberikan oleh ki Buyut Banyubiru ke dalam mulut kerbau. Seketika itu kerbau menjadi ngamuk seperti benteng keraton yang bergerak ke Pesanggrahan Prawata. Kerbau Ndanu telah mengacaukan seluruh fasilitas serta membuat masyarakat menjadi resah. Para Prajurit sangat kuwalahan menghadapi amukan kerbau. Sudah banyak orang yang terluka dan menjadi korban atas kebringasan kerbau.

Menjadi Adipati Pajang

Menyaksikan kelebat Jaka Tingkir, Sultan Trenggono segera meminta bantuan kepadanya untuk meredam amukan Kerbau Ndanu. Apabila Jaka Tingkir bisa menaklukkan Kerbau Ndanu, Sultan Trenggono akan mengampuni kesalahannya. Tanpa pikir panjang, Jaka Tingkir mengambil tindakan seketika untuk membunuh Kerbau Ndalu, dengan hanya satu kali pukulan si kerbau jatuh dan mati. Berkat jasanya ini, Jaka Tingkir kembali di terima di Kesultanan Demak.

Sultan Trenggono memberikan putrinya yang bernama Ratu Mas Campaka kepada Jaka Tingkir untuk dijadikan istri. Dari pernikahan ini Jaka Tingkir mendapatkan kursi pemerintahan di Pajang, ia menjabat sebagai Adipati Pajang. Selama menjadi Adipati Pajang, nyawanya pernah diancam oleh Arya Penangsang. Namun semuanya dapat diatasi dengan kepala dingin oleh Jaka Tingkir.

Menjadi Sultan Pajang 

Beli Buku

Sepeninggalannya Sunan Prawata, Adipati Pajang menadapatkan restu dari Sunan Giri maupun Sultan Trenggono untuk mendirikan kerjaan di Pajang. Ia menjadi Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dalam memerintahkan Kesultanan Pajang, ia didampingi oleh permaisuri Ratu Mas Campaka (putri Sultan Trenggono), dari hasil perkawaninan Sultan Hadiwijaya dengan Ratu Mas Campaka ini lahirlah Pangeran Benawa (raja terakhir di Kesultanan Pajang).

Sang Sultan Meninggal Dunia

Setelah peristiwa pertempuran antara Mataram dengan Pajang. Sultan Hadiwijaya dalam perjalan pulangnya jatuh sakit. Selang beberapa hari kemudian Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Sepeninggalannya Sultan Hadiwijaya, Panembahan Kudus atau Pangeran Kudus membuat kebijakan, bahwa tahta kekuaasaan Pajang diserahkan kepada Adipati Demak (Arya Pangiri: Purta Sunan Prawooto) yang merupakan menantu Sultan Hadiwijaya, sementara Pengeran Benawa dinobatkan sebagai adipati di Kadipaten Jipang.

 

Sumber Rujukan

Krisna Bayu Adi, Sejarah Para Raja dan Istri-Istri Raja Jawa, Araska, 2016 Yogyakarta

Thomas Stamford Raffles, The Histori of Java, Narasi, 2014 Jakarta

 

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *