Oleh: Amirul Ulum
Dalam menggali ilmu sejarah, kita sebagai putra bangsa seharusnya merujuk kepada data lokal terlebih dahulu, kemudian meranjak ke yang lain, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang ulama.
اهل الدار أدرى بما فيها
Hal ini disebabkan jika Indonesia atau yang berkaitan dengan Islam di Nusantara ditulis oleh orang lain, terlebih barat, tentu saja sangat mengkhawatirkan, lebih-lebih yang menulis dikarenakan adanya proyek, yang hanya bisa berjalan sesuai dengan pemberi dana.
Sejarah telah mencatat, bagaimana barat telah mengirim seorang peneliti, Snouck Hurgronje, yang menulis tentang Islam padahal dia masuk Islam hanya pura-pura, untuk kepentingan proyeknya. Tulisannya banyak mengandung politik yang berpihak kepada Hindia Belanda. Meskipun demikian, kita harus berterima kasih kepadanya sebab dia telah mengabadikan banyak sejarah yang berkaitan dengan Islam di Nusantara. Namun, harus menjadi catatan, cukup “Snouck Hurgronje” menjadi pelajaran. Kita sudah merdeka, jangan sampai kajian penting tentang Islam Nusantara ditulis bangsa asing, kita harus terdepan dalam mengembangkan ilmu sejarah yang berkaitan dengan Indonesia.
Islam tersebar di Nusantara sebagaimana seminar di Medan pada 17-20 Maret 1963 adalah langsung dari Arab. Menurut Syaikh Abdullah bin Nuh sejak zaman Khalifah Ustman bin Affan. Kalau menurut cerita guru kami, Kiai Maimoen Zubair, Islam masuk di Nusantara pada zaman sahabat Ali dan Muawiyah yang kemudian secara besar-besaran pada zaman Walisanga.
Dalam buku Histori of Java disebutkan bahwa salah satu anggota Walisanga generasi awal, yaitu Maulana Ishaq itu menganut Mazhab Hanafi. Kita mengetahui bahwa Mazhab tersebut adalah Mazhab resmi yang dianut oleh Kesultanan Turki Ottoman. Tidak semua Walisanga itu bermazhab Hanafi, data yang kami temui hanya Maulana Ishaq. Kebanyakan Walisanga adalah penganut madzhab Syafi’i.

Oleh sebab itu, maka dalam catatan Ibnu Battutah sebagaimana yang dikutip Hamka bahwa Kesultanan Samudra Pasai itu menganut Madzhab Syafi’i. Kesultan ini menurut catatan sejarah merupakan kesultanan tertua di Nusantara, yang tenggelam sebab diserang oleh kerajaan Majapahit. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam Hikayat Raja Pasai.
Antara kesultanan Islam di Nusantara dan Kesultanan Turki Ottoman mempunyai hubungan, meskipun kesultanan Nusantara berada di titik nun jauh dari Haramain tempat berkumpulnya umat manusia untuk menunaikan ibadah haji setahun sekali. Meskipun jauh tempatnya bukan berarti ia tidak mempunyai hubungan. Terlebih kepada empunya Haramain, Hijaz, yang di waktu itu masih berada di bawah Kesultanan Turki Ottoman.
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa antara Kesultanan Turki Ottoman dan Kesultanan Islam di Nusantara tidak ada hubungan, karena ingin menampik isu khilafah. Tentunya ini tidak benar. Namun, kami juga tidak setuju, adanya jaringan Turki Ottoman dengan Nusantara dibuat alasan ingin mendirikan khilafah, hal ini juga tidak benar. Karena Indonesia sudah merdeka. NKRI harga mati. Siapa saja yang ingin merongrong kedaulatan NKRI itu musuh bangsa Indonesia.
Jika kita mau menilik Serat Seh Jangkung atau Babad Nitik Sarta Cabolek, maka kita akan mengetahui bagaimana hubungan Sultan Agung yang merupakan raja di Kesultanan Mataram Islam pernah mengunjungi kesultanan Turki Ottoman. Memang mulanya dari isu negatif namun berubah menjadi keakraban. Selain itu, gelar Aceh sebagai “Serambi Makkah” juga dari Turki Ottoman. Hal ini bisa dibaca di buku-buku karya Buya Hamka.
Muara Tebo, 30 Agustus 2020