Pesan Tauhid untuk Kartini
“Aduhai, kami tidak akan lupa, betapa dalam rasa haru kami, ketika tongkat itu sekoyong-konyong menulis hurup Arab di tembok putih itu. Itu merupakan tulisan kakek dari ibu. Sesaat kemudian tongkat itu menulis huruf Jawa, hanya satu garis seperti. Itu tulisan adalah dari kakek ayah. Pesan yang pertama menjelaskan bahwa kami harus percaya kepada Allah. Dan yang kedua menjelaskan agar kami tidak mudah terkejut jika terjadi sesuatu, “Percayalah kepada Allah,” penutupnya. (Kami berdua tidak dapat menulis hurup Arab)”
(Surat Kartini kepada Nyonya N. van Kol, 1902)
Yang Dicita-Citakan Kartini
“Kami sekali-kali tidak ingin menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan.AzzaZ Dengan pendidikan kami bertujuan menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk tanah air dan bangsanya. Dijiwai dengan mata dan hati terbuka untuk keindahannya dan kesukarannya! Kepadanya kami ingin memberikan sesuatu yang bagus dari peradaban Eropa. Bukan untuk mendesak atau mengganti sifat-sifat bangsa sendiri yang bagus, melainkan untuk memuliakannya.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri, 10 Juni 1902)
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kuwajibannya, kuwajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
Kartini Mengaji Al-Qur’an
“Lalu tibalah waktunya pikiran saya terbuka dan bertanya: “Mengapa saya berbuat ini, mengapa ini begini dan begitu?” Mengapa, mengapa tak henti-hentinya!
Setelah itu saya tidak lagi melakukan hal-hal yang saya sendiri tidak memahaminya. Segala sesuatu perbuatan harus dipikirkan, apa sebabnya, apa perlunya, dan pula apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca al-Qur’an, belajar menghafal amsal dalam bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti.
“Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semuanya.” Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami.
Kami tidak mau berpuasa dan melakukan hal-hal yang lain lagi, yang pernah kami lakukan tanpa berpikir dan yang sekarang dengan berpikir tidak dapat kami lakukan lagi. Orang putus asa, kami putus asa. Tidak ada seseorang juga pun yang mau menerangkan kepada kami apa yang tidak kami pahami.” (Surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902)
KH. Sholeh Darat dalam Surat Kartini
“Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semuanya.” Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami.
Kami tidak mau berpuasa dan melakukan hal-hal yang lain lagi, yang pernah kami lakukan tanpa berpikir dan yang sekarang dengan berpikir tidak dapat kami lakukan lagi. Orang putus asa, kami putus asa. Tidak ada seseorang juga pun yang mau menerangkan kepada kami apa yang tidak kami pahami.
Tuhan kami adalah hati sanubari kami. Neraka dan surga kami adalah hati sanubari kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati sanubari kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkahi oleh hati sanubari kami.
Tahun berganti tahun. Kami namanya orang muslim, karena kami turunan orang muslim. Dan kami namanya saja muslim, lebih daripada itu tidak. Tuhan, Allah, bagi kami hanya semata-mata kata seruan. Sepatah kata, bunyi tanpa arti dan rasa….., demikian kami hidup terus, sampai tiba hari yang membawa perubahan dalam kehidupan kami. Kami telah menemukan Dia, yang telah disadari telah bertahun-tahun drindukan oleh jiwa kami.” (Surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon Mandri, 15 Agustus 1902)
“Karena merasa senangnya, seorang tua telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak. Kami sekarang sedang membaca puisi bagus, pelajaran yang arif dalam bahasa yang bagus. Saya ingin sekali kamu mengerti bahasa kami.
Aduhai, ingin benar saya membawa kamu untuk menikmati semua keindahan itu dalam bahasa aslinya. Maukah kamu belajar bahasa Jawa? Sulit, itu sudah tentu, tetapi bagusnya bukan main! Bahasa Jawa itu bahasa perasaan, penuh puisi dan kecerdikan. Kami sendiri sebagai anak negeri kerapkali tercengang tentang ketajaman bangsa kami. (Surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902)
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata Kartini usai mendapatkan kepuasan dalam mengetahui makna surat al-Fatihah yang disampaikan Kiai Shaleh Darat.
Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, Kartini meminta pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat agar berkenan mempertemukannya dengan Kiai Shaleh Darat. Permintaan Kartini terseut di-iya-kan oleh Pangeran Ario Hadiningrat. Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
“Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini memulai percakapan.
Kiai Shaleh Darat tertegun, lalu menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
“Kiai, selama hidup saya baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kiai Shaleh Darat tertegun mendengar jawaban dari Kartini. Ia seolah-olah tak punya kata untuk menyela. Lalu Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?
Kartini Ziarah Kubur & Puasa
Pada awal bulan Puasa, kalau orang tuanya (Kartini) pergi berziarah, dia dan saudara-saudaranya yang perempuan boleh ikut.” (Surat Kartini kepada R.M. Abendanon Mandri, Agustus 1900).
Sebenarnya saya ingin menulis surat yang panjang lebar, tetapi karena berbagai keadaan tidak mengizinkannya sehingga saya berbuat demikian. Bagi kami orang Islam, bulan Puasa adalah bulan yang penuh dengan kesibukan. Sekarang ini pertengahan bulan dan banyak hal lain yang tidak mungkin saya katakan. Sampai sesudah tahun baru, akan tiba surat yang panjang untuk menjawab suratmu, Berthie.” (Surat Kartini kepada Nyonya B. Niermeijer Sibmacher Wijnen, Amsterdam, 70 Weteringschans, Jepara, 20 Desember 1902)
Kartini Berwasilah
“Kemarin Annie (Anneke) beserta kami melakukan sesuatu khas Jawa. Dia ingin sekali pergi dari Jepara, lalu kami katakan kepadanya; “Mohonlah bantuan (perantara) dari Sultan Mantingan, janjikan sesaji bunga jika permohonanmu dikabulkan.”
Hal itu dia lakukan. Malam kemarin dulu dia ingat, dan pagi harinya ia mempersembahkan sesaji bersama kami. Dengan sekelompok kaum kemarin kami berziarah ke makam keramat itu. Kami membawa bunga dan dupa.
Annie ikut dengan kami masuk ke dalam gedung makam-makam keramat itu, dan duduk bersama-sama kami di lantai pada ujung kaki makam. Kemenyan dibakar, dan dengung mistik, mula-mula mengalun lemah lembut, tetapi makin lama makin keras, membumbung seperti kelompok paduan suara kaum rohaniawan (orang membaca tahlil atau doa bersama-sama). Khidmat dan terkesan. Kami semuanya duduk menundukkan kepala dan di atas kepala kami doa mistik seluruh kaum berdesau dan asap kemenyan mengepu biru. Salah seorang dari kaum beringsut maju menyajikan bunga Annie, dan meletakkannya dengan takzim di atas makam sunan dan kemudian di atas makam-makam yang lain. (Surat Kartini kepada R.M. Abendanon Mandri, 2 September 1902)
Kartini Shalat Istisqa
“Di depan sekali duduk para haji laki-laki dan santri. Di belakang duduk para haji perempuan dalam pakaian putih. Dan di kanan kiri duduk ratusan orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Domba, kambing, kuda, kerbau diikat pada tonggak-tonggak. Seorang haji (kiai atau imam) memimpin sembahyang (shalat). Berdiri di depan dan berdoa dengan suara keras. Orang banyak itu menyambut dengan “Amin.. amin.” Domba-domba itu ikut mengembik.
Sembahyang “Istisqa’” namanya. Kepercayaan naif dan tulus yang mengharukan pada bangsa kami yang sederhana. Sembahyang ini berlangsung tiga hari dan tiga malam. Tuan dapat mengerti, betapa gembira dan bersyukurnya rakyat ketika kemudian hujan turun dengan derasnya. Doanya itu terkabul! Dan, tahukah tuan apa yang dikatakan orang? Terkabulnya doa itu disebabkan karena kami hadir pada waktu sembahyang.
Meski telah kami jelaskan berkali-kali tapi kami tidak berhasil melenyapkan pikiran dari benak mereka, bahwa kami tidak memiliki jasa apapun atas terkabulnya doa itu.
Sebelumnya di tempat-tempat lain diadakan pula sembahyang Istisqa’, tetapi di manapun hujan tidak turun setetes pun. Kebetulan sekali tidak ada satu pun dari upacara-upacara itu yang kami hadiri. Itulah yang menyebabkan rakyat kami yang bersahaja menarik kesimpulan bahwa kamilah yang menambah kekuatan pada “sembahyang Istisqa’” yang terakhir, maka permohonan rakyat segera juga dikabulkan.“ (Surat Kartini kepada Tuan Mr. J.H. Abendanon Mandri, 1 Februari 1903)

Kartini Keturunan al-Habsy
“Seperti yang pernah saya katakan, kami ingin benar berhubungan dengan orang-orang dari berbagai bangsa, kepercayaan dan aliran. Baru-baru ini di Semarang kami berkenalan dengan beberapa keluarga Sayyid (keturunan Nabi Muhammad Saw). Kakak mempunyai kenalan banyak di antara mereka, yang umumnya orang-orang baik dan saleh. Ia mengantarkan kami antara lain ke rumah kapten golongan Arab. Dan di situlah kami tahu, antara kami ada hubungan keluarga. Dengan saling menanyakan berbagai hal lalu tahulah kami. Ayahnya dan pamannya adalah teman sepermainan ayah serta kakak-kakaknya dan anak-anak kakek. Karena keadaan, sahabat karib itu terpisah, hingga sekarang secara kebetulan cucu-cucu mereka bertemu kembali.
Menarik juga melihat-lihat keadaan rumah yang masih asing itu, dan kami disambut dengan ramah-tamah sekali. Hal itu tidak jarang kami alami dari orang-orang berbagai bangsa, yang belum kami kenal sama sekali, tetapi dia sendiri atau orang tuanya telah kenal dengan kakak dan nenek kami.
Demikianlah di kampung Habsyi kami juga mempunyai teman-teman, yang orang tuanya bersahabat karib dengan kakek dan nenek kami. Di situ kami selalu disambut dengan gembira sekali. Baru-baru ini anak laki-laki mereka kawin dengan gadis Habsyi di sini. Kami datang pada perkawinannya” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri, 12 Desember 1902)
Karomah/ Ma’unah Kartini
“Belum lama ini seolah-olah karena keajaiban, ia terhindar dari sebuah malapetaka. Ada sebelas rumah teman-temannya yang di sekeliling rumahnya terbakar habis. Meski pohon-pohon nyiur di halamannya sudah dilalap api, tetapi seolah-olah karena suatu keajaiban, rumahnya tetap utuh.
Atas keanehan itu, seluruh desa berdatangan untuk menyaksikannya. Mereka juga menanyakan kepada pemilik rumah, adakah ilmu (jimat), atau senjata sakti apa yang dimilikinya, sehingga rumahnya saja yang tetap tegak. “Tidak, ia tidak mempunyai ilmu, jimat ataupun senjata sakti. Ia hanya mempunyai gusti Allah saja dan Dia telah melindungi rumahnya untuknya dan keluarganya.” Jawaban baik, bukan? Tetapi dengarkanlah lagi, sehari sesudah kebakaran itu, orang itu datang ke rumah kami. Dia mengucapkan terima kasih kepada kami atas keselamatan rumahnya.
Tidak boleh tidak, berkah kamilah yang menjauhkan api dari rumahnya. Berkat doa kami yang meminta rahmat baginya, maka rumahnya terhindar dari mara bahaya! Apa kata nyonya tentang hal itu? Kesederhanaan dan kepercayaan sederhana yang demikian ini sungguh memilukan hati.
Saya bertanya kepada diri sendiri apakah baik atau tidak, jika saya menghapus kepercayaan yang sederhana pada orang-orang yang memiliki pikiran bersahaja ini. Sekarang ini kepercayaan kami belum dapat kami berikan kepada mereka. Dan mungkinkah orang memberikan kepercayaannya kepada orang lain? Kepercayaan, kepercayaan yang sejati, kepercayaan yang benar, bukan yang diterima atau disukai, terjadi karena proses kejiwaan. Hati kami tidak senang bahwa mereka yang sederhana pikirannya itu memandang kami berkekuatan ghaib, yang tidak ada pada kami atau orang lain.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri, 12 Desember 1902)
Gelar Tertinggi Kartini
“Allah atau Tuhan, bagi kami sekarang bukanlah ucapan hampa lagi. Kata itu, aduhai sangat banyak diucapkan orang tanpa dipikirkan.
Kini bagi kami bunyinya kudus, suci. Terima kasih, terima kasih sekali, bahwa nyonya telah menyingkapkan tirai yang ada di hadapan kami, sehingga dapat menemukan yang lama kita cari. (Surat Kartini kepada Nyonya N. van Kol, 21 Juli 1902)
“Saya sepertinya pernah mengatakannya kepada ibu jika saya telah lama mengesampingkan segala kepentingan pribadi? Ingin sekali saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah. Sekarang hidup menuntut janji itu. Tidak ada sesuatu yang terlalu pahit, terlalu berat, terlalu keras bagi kami, apabila kami dengan perbuatan itu dapat membantu sedikit pembangunan tugu peringatan yang indah yaitu: kebahagiaan bangsa.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandri, 1 Agustus 1903)
Oleh :
Amirul Ulum
(Penulis Buku Kartini Nyantri & Khadim Ulama Nusantara Center)