/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

KH. Hamid Pasuruan

kh hamid pasuruan

kh hamid pasuruan.  Nama KH. Hamid Pasuruan atau Mbah Hamid Pasuruan begitu melegenda dalam bab kewalian. Ia dikenal dengan sosok waliyullah yang mempunyai banyak karomah. Kediamannya menjadi tempat berlabuh untuk mencari  berkah, baik berkah keilmuan atau doa, serta petuah keagamaan yang diharapkan menjadi obat/ pelipur hati dari gundah gulana. Sosok tersebut dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan.

Pendahuluan

Gus Mus berkata, “Kiai Hamid bukanlah Wali Tiban. Wali Tiban, kalau memang ada, tentulah kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidaklah demikian. Beliau dianggap wali secara Muttafaq ‘alaihi.”

Tentang kedalaman agamanya Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Mukti Ali mengatakan, “Yang paling terkesan dalam diri Kiai Hamid adalah akhlaknya; penghargaannya kepada orang, kepada ilmu, kepada orang alim, ulama, dan juga tindak tanduknya.”

Garis Keturunan

Kiai Hamid Pasuruan dahulunya bernama Abdul Mu’thi. Ia dilahirkan pada 1914 M/1333 H di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah  Ia merupakan putra dari pasangan Kiai Abdullah dan Nyai Roihanah. Kedua orang tuanya ini, nasabnya bersambung dengan Sayyid Syambu Lasem. Untuk nasab jalur ayahnya yaitu, Abdul Mu’thi ibn Abdullah ibn Umar ibn ‘Arabi ibn Muhammad ibn Ahmad Jamal ibn Abdul Adzim ibn Sayyid Abdurrahman (Eyang Syambu Lasem). Sedangkan untuk jalur ibunya, Nyai Roihanah binti Muhammad Shiddiq ibn Abdullah ibn Shalih ibn Asra ibn Barda’i ibn Syaikh Yusuf ibn Eyang Syambu Lasem.

Baca juga… Mbah Syambu Lasem (Cucu Joko Tingkir)

Ketika usai menunaikan ibadah haji bersama sang kakek (Kiai Shiddiq), nama Abdul Mu’thi diganti menjadi Abdul Hamid, yang kemudian hari dikenal dengan Haji Abdul Hamid, lalu dikenal dengan nama Kiai Hamid Pasuruan, sebab ia hijrah ke Pasuruan Jawa Timur. Nama Mu’thi di kemudian hari diberikan kepada salah satu muridnya, ketika ia nyantri dan ikut berpartisipasi dalam mengajar di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi, yaitu Mukti Ali yang aslinya bernama Bujono. Oleh Kiai Hamid, nama Bujono diganti menjadi Mukti, sedangkan nama Ali yang ada di belakangnya adalah nama ayahnya. Ia termasuk tokoh berpengaruh di Indonesia, yaitu pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.

Rihlah Ilmiah

Semasa kecilnya Abdul Mu’thi dikenal sebagai anak yang nakal. Ia menjadi musuh bebuyutan China Lasem. Ia sangat tidak senang dengan orang China, sebab orang tuanya, Kiai Abdullah, suatu ketika kediamannya pernah diserang oleh orang China yang tidak suka dengannya. Namun, Allah melindungi hamba-Nya, sehingga serangan tersebut tidak membuahkan hasil kecuali beban malu yang ditanggung oleh orang China. Mereka menjadi takut dan mundur. Mereka berbeda dengan sebelumnya, ketika zaman Tumenggung Widyaningrat dan Ki Jayatirta.

Beli Buku

Mu’thi sangat tidak suka dengan orang China. Masa kecilnya memang dikenal nakal jika dihadapkan dengan orang China. Ia pernah ngumpet di Kelenteng, tempat peribadatan orang China. Ketika orang China merayakan Cap Go Meh yang melintasi kediaman abahnya. Tindakan ini dinilai tidak sopan, sehingga ia meminta teman-temannya untuk melempari orang China tersebut dengan comberan air. Hal ini membuat orang China Lasem marah besar.  Ia juga pernah memukul orang China, dan lain-lain. Karena dianggap nakal dan selalu membikin onar bagi orang China, maka ia diburu China Lasem untuk dikasih ganjaran. Ia merasa takut, sehingga akhirnya ia pergi ke tempat yang jauh, di kediaman kakeknya, Kiai Shiddiq yang ada di Jember. Ketika datang, ia langsung diajak oleh sang kakek menunaikan ibadah haji.

Baca juga..Mbah Ma’shum Lasem, Ulama Kharismatik Yang Terlupakan

Berganti Nama

Usai Menunaikan ibadah haji bersama kakeknya (Kiai Shiddiq), Mu’thi namanya diganti menjadi Abdul Hamid (Haji Abdul Hamid). Diharapkan dengan ibadah haji dan mengganti nama ini, kenakalan Mu’thi akan semakin berkurang, namun kenyataannya belum. Ketika ia melihat orang China yang merokok dengan congkak, maka ia tidak mau berfikir panjang, ia langsung menempeleng orang tersebut. Kasus ini membuat geger  orang China, sehingga harus melibatkan pihak Hindia Belanda. Dari peristiwa ini, akhirnya Kiai Abdullah memerintahkan Abdul Hamid untuk mondok di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi. Sebelum nyantri di Pesantren Termas, ia sempat dipondokkan abahnya di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh Kiai Khalil ibn Harun, adik sekaligus murid dari Kiai Umar ibn Harun al-Sarani.

Ketika mondok di Pesantren Termas, Abdul Hamid terbilang santri yang menonjol, sehingga ia dekat dengan pengasuhnya.  Selama nyantri di pesantren ini, ia pernah dipercaya sebagai lurah pesantren. Di antara sahabat seperguruannya di Pesantren Termas adalah Kiai Ali Maksum dan Gus Hamid (putra Kiai Dimyathi). Selama kurang lebih 12 tahun, ia mengeyam pendidikan di pesantren ini, sehingga keilmuannnya menjadi ta’ammuq (mendalam).

Selain belajar kepada Kiai Abdullah, Kiai Khalil Kasingan, dan Kiai Dimyathi, Abdul Hamid juga pernah belajar kepada Kiai Baidlowi al-Lasemi, Kiai Ma’shum Ahmad, dan lain-lain. Ia sering tirakatan seperti menjalani puasa sunnah dan membaca amalan wirid tertentu sehingga membuatnya semakin dekat dengan Rab-nya. Ia menjadi hamba pilihan-Nya. Ia dikenal sebagai waliyullah yang kesuwur (masyhur/ terkenal), bukan hanya di tanah Jawa, namun sampai ke luar Jawa. Salah satu waliyullah luar Jawa yang beristifadah dengannya adalah Abah Guru Sekumpul yang berasal dari Martapura.

Membina Rumah Tangga

Ketika Kiai Hamid masih nyantri di Pesantren Termas, ia sudah diincar oleh Kiai Ahmad Qusyairi untuk diambil menjadi menantunya. Mulanya, ia hendak dijodohkan dengan  putrinya yang ketiga, Nyai Maryam, namun karena ia merasa belum siap untuk menikah dan masih ingin melanjutkan belajarnya, maka pernikahan itupun akhirnya tidak jadi.

Baca juga... Menapak Jejak Kiai Hamid Baidhowi Lasem

Kiai Ahmad Qusyairi sangat mengharapkan Kiai Hamid menjadi bagian keluarganya. Ia menemukan aura kelak Kiai Hamid akan menjadi seorang ulama yang berpengaruh. Karena sang putri yang ketiga sudah dinikahkan dengan Kiai Ahmad ibn Sahal, maka iapun dinikahkan dengan adiknya Nyai Maryam, yaitu Nyai Nafisah. Pernikahan tersebut berlangsung pada 12 September 1940 yang dihadiri oleh beberapa ulama Lasem, salah satunya adalah Kiai Ma’shum Ahmad.

Beli Buku

Dari pernikahan  tersebut, Kiai Hamid dikaruniai enam anak, yaitu Muhammad Anas, Zainab, Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad, dan Muhammad Idris.

Semenjak Kiai Hamid menjadi menantu Kiai Ahmad Qusyairi, maka ia diminta sang mertua untuk bertempat tinggal di Pasuruan. Sang mertua ini juga asalnya orang Lasem, namun karena diambil menantu oleh ulama Pasuruan, yaitu Kiai Yasin, yang merupakan salah seorang ulama terpandang di Pasuruan, maka iapun hijrah ke tempat yang diminta oleh mertuanya.

Saat awal-awal berumah tangga, Kiai Hamid sebagaimana kebanyakan orang, yang dirundung masalah ekonomi. Namun, dalam menyikapi masalah ini, ia begitu santai. Yang penting bagi manusia adalah berusaha, jangan sampai berpangku tangan, mengharapkan pemberian orang lain. Ia mulanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti berjualan sarung, kelapa, kedelai, dan bahkan pernah menjadi seorang broker sepeda.

Sang Waliyullah

Ketika pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Kiai Abdullah ibn Yasin wafat (1951 M), telah terjadi sebuah kesepakatan keluarga besar Pesantren Salafiyah untuk mengangkat Kiai Hamid sebagai guru besar pesantren dengan wadifahnya sebagai pengajar, sedangkan yang menjadi nadzir adalah Kiai Aqib. Namun, karena Kiai Aqib merasa masih muda bila dibandingkan dengan Kiai Hamid, maka akhirnya ia menyerahkan urusan pondok kepada Kiai Hamid, termasuk menjadi imam di Masjid Jami’. Dengan demikian, maka boleh dikata bahwa Kiai Hamid adalah pengasuh pesantren secara de facto.

Baca juga… Al-Ghazali Al-Shaghir Dari Semarang

Ketika Pesantren Salafiyah diasuh oleh Kiai Abdullah ibn Yasin, santri yang belajar dengannya hanya sedikit. Banyak yang tidak krasan mondok di sana, sebab Kiai Abdullah ini dikenal galak dan terlalu ketat. Ia mengharamkan memelihara rambut dan wiridannya panjang-panjang. Hal ini berbeda dengan Kiai Hamid yang dikenal halus dan lentur dalam menghadapi santri. Ia sangat bersabar dalam menghadapi sebuah masalah, termasuk jika ada santrinya yang nakal. Dengan sikapnya yang seperti ini, lama-kelamaan, banyak santri yang ingin beristifadah untuk mengaji kepadanya. Jumlahnya semakin membludak.

Mulanya ketika masih awal-awal bertempat tinggal di Pasuruan, Kiai Hamid dikenal biasa-biasa saja. Mereka sering menyebutnya Haji Hamid. Namun, setelah berkiprah penuh di pesantren, dirinya semakin istiqamah dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah menunjukkan tanda-tanda kewaliannya meskipun ia sendiri dengan semaksimal mungkin berusaha untuk menutupinya. Sinarnya semakin terang dan memancar.

Tanda Kewalian

Tanda-tanda kewalian yang terpancar dalam diri Kiai Hamid dirasakan oleh Habib Ja’far. Menjelang wafatnya Habib Ja’far (1945 M), cahaya kewalian Kiai Hamid semakin memancar.  Saat ia hendak bertamu di kediaman Habib Ja’far, maka sang tuan rumah kelihatan sangat sibuk sekali, sehingga sang istri merasa keheranan karena biasanya Habib Ja’far tidak sesibuk ini.  Saat sudah sampai di kediamannya, Habib Ja’far memberikan Kitab Ihyâ Ulûmidin karya al-Ghazali disuruh untuk membacanya. Bukan itu saja, Habib Ja’far juga menyuruhnya untuk  menjadi imam Salat Maghrib dan Isya.

Beli Buku

Semakin hari, pancaran kewalian Kiai Hamid semakin ketara, sehingga terjadilah dalam dirinya sebuah karomah yang disaksikan oleh banyak orang. Ia mengetahui kejadian sebelum diketahui oleh kebanyakan orang. Dengan maziyah atau linuweh yang dimiliknya ini, maka tidak mengherankan jika kediamannya menjadi  tempat berlabuh dari berbagai kalangan untuk mencari keberkahan.

Menurut Kiai Maimoen Zubair bahwa  Kiai Hamid bisa mencapai derajat tinggi, salah satu sebabnya adalah birrul walidainnya kepada kedua orang tuanya. Semua anggota keluarganya ia tata dengan begitu indahnya.

Kembali ke Rahmatullah

Kiai Hamid dikenal sebagai sosok yang sabar. Ketika ia terkena sebuah penyakit yang menimpa dirinya, ia berusaha untuk menyimpannya sendiri supaya tidak diketahui oleh orang lain, termasuk keluarganya sendiri.

Baca juga… Kyai Munawir Krapyak

Ketika penyakit Kiai Hamid sudah semakin parah, akhirnya ia dibawa ke rumah sakit untuk dirawat secara intens. Ketika dokter yang menanganinya melihat tidak ada harapan bagi kesembuhan Kiai Hamid, akhirnya ia menyarankan agar Kiai Hamid dibawa pulang ke Pasuruan.

Sampai di rumah, kondisi kesehatan Kiai Hamid semakin mempritahatinkan. Waktu itu, Kiai Ahmad Shiddiq, sang paman ikut serta dalam menungguinya meminta kepada Nyai Nafisah agar mandi dan mengambil air wudu, kemudian memakai pakaian yang bagus sebagai isyarat bahwa ia sudah rela jika Kiai Hamid akan meninggalkannya. Usulan tersebut dilaksanakan Nyai Nafisah. Tidak lama kemudian, Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah dengan menyebut asma-Nya, Allah, Allah, Allah.

Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah pada Sabtu dini hari tanggal 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M. Jasadnya dimakamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan. Pesarean ini diperuntukkan bagi kalangan kiai dan habaib, seperti makam guru beliau, Habib Ja’far ibn Syaikhan Assegaf, Kiai Achmad Qusyairi, dan Kiai Achmad Ibn Sahal.

Makam Kiai Hamid sampai sekarang ramai diziarahi orang yang berasal dari berbagai daerah. Semoga kita mendapatkan keluberan berkahnya. Amîn yâ Rabbal Alamîn. []

Oleh : Amirul Ulum

Beli Buku

Referensi :

Kebangkitan Ulama Rembang : Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum

 

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *