/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Ki Jayatirta (Panglima Perang Kuning dari Lasem)

Oleh : Amirul Ulum

“Ing wektu kuwi kebeneran tiba dina Jumwah wayahe santri-santri sembayang Jumuwahan, kang diimami dening Kiai Ali Badawi ing Purikawak.”

(Mpu Santibadra)

Perang Sepanjang atau Perang Kuning yang terjadi tahun 1740-1743 M, telah memakan banyak korban, khususnya warga Tionghoa yang menjadi saingan ketat Belanda dalam hal perdagangan, menguasai perekonomian di Nusantara, khususnya Batavia (Jakarta). Perang ini terbilang perang terbesar di Pulau Jawa yang melibatkan wilayah sepajang Pantura mulai dari pinggiran Batavia hingga ke Pasuruan, Jawa Timur. Perang ini menelan korban sebanyak 10.000 di Batavia dari suku Tionghoa, belum termasuk kawasan yang lain, seperti sepanjang Pantura wilayah Lasem, yang juga menelan korban dengan jumlah yang banyak, tak terhitung, baik ketika perlawanan rakyat Lasem di Juwono yang menjadi markas kompeni maupun ketika terjadi kontak senjata di Jepara.

Mulanya Perang Kuning disebabkan karena persetruan Suku Tionghoa dengan kompeni (VOC). Karena adanya kesamaan nasib, sama-sama ditindas oleh kompeni, akhirnya mereka ikut bergabung ke dalam barisan perang yang digencarkan oleh orang Jawa. Banyak orang Jawa yang mengenakan pakaian Tionghoa, sebagai salah satu strategi perang.

Ketika Suku Tionghoa menjadi musuh bebuyutan VOC yang ada di Batavia, maka mereka banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah, khususnya Lasem. Mereka memilih Lasem disebabkan adipati yang berkuasa masih keturunan Tionghoa, yaitu Oei Ing Kiat/ Babah Ui Ing Kiat yang bergelar Tumenggung Widyaningrat. Ia beragama Islam, dekat dengan ulama dan disenangi rakyat, baik pribumi maupun Tionghoa.

Baca juga… Mbah Syambu Lasem (Cucu Joko Tingkir)

Beli Buku

Banyak orang Tionghoa dari Batavia yang mengungsi di Lasem. Mereka diterima dengan baik oleh Tumenggung Widyaningrat. Mereka dapat membaur dengan masyarakat Lasem dan ikut berkecimpung di tengah masyarakat.

Orang Tionghoa mempunyai dendam kesumat dengan kompeni, yang membunuh ribuan kelompoknya. Mereka selalu mencari kesempatan yang tepat untuk membalas dendam kepada kompeni.  Misi untuk melawan Belanda ini mendapat sambutan oleh Tumenggung Widyaningrat dan ulama Lasem serta para pejuang yang memiliki kesamaan tidak suka dengan keberadaan kompeni, yang selain menjajah harta benda, mereka juga memaksakan akidahnya, ingin memurtadkan orang yang sudah beragama. Salah satu ulama yang ikut berjuang dalam melawan kompeni yang berpusat di Juwono, Pati adalah Ki Jayatirta atau Kiai Ali Baidlowi.

Persekutuan Tionghoa-Jawa di Lasem melawan VOC mulanya dipimpin oleh Tumenggung Widyaningrat bersama dengan Raden Margana dan Babah  Tan Ke Wi. Mereka bertiga memimpin pasukan Tionghoa-Jawa untuk melawan kompeni yang ada di Juwono. Mereka mendapatkan bantuan dari suku Tionghoa yang ada di sekitar Juwono Pati, seperti Purwodadi, Tayu, Jepara, Demak, dan Semarang.

Serangan pejuang Lasem ini mampu menyibukkan tentara kompeni, sehingga mereka harus mendatangkan bantuan bala tentara dari Semarang yang dilengkapi dengan senjata modern seperti meriam dan bedhil.

Baca juga… Sultan Mahmud al-Minangkabawi (Mbah Jejeruk)

Meskipun persenjataan pasukan Tionghoa-Jawa versus kompeni tidak seimbang, namun dengan penuh kegigihan dan keberanian, mereka dapat membuat tentara kompeni kuwalahan. Pasukan kompeni tidak mulus berasal dari Eropa, namun mereka juga membayar pribumi untuk ikut bergabung dengannya, termasuk kalangan elit agama seperti Sayyid Haidar yang dikenal sakti mandraguna. Sayyid Haidar ini dapat dikalahkan oleh Tumenggung Widyaningrat yang saat perang menyamar sebagai orang China dengan memakai pakaian China dan namanya juga diganti dengan nama China, Babah Ui Ing Kiat.

Matinya Sayyid Chaidar dalam Perang Kuning ini membuat kompeni semakin menjadi-jadi. Mereka mengerahkan lebih banyak pasukannya yang dilengkapi dengan senjata modern, sehingga korban dari pasukan Tionghoa-Jawa banyak yang berjatuhan, termasuk salah satunya adalah Babah Tan Ke Wi (1742 M). Hal ini menjadi pukulan berat bagi Tumenggung Widyaningrat dan Pangeran Margana. Keduanya ini berhasil selamat dan dapat kembali ke Lasem disebabkan ketika mereka ikut dalam penyerangan di Juwono/Rembang, mereka memakai pakaian China, sehingga dikira kompeni sebagai orang China. Ketika kembali ke Lasem, mereka mengenakan pakaian Jawa-nya lagi untuk mengelabuhi kompeni.

Semenjak terjadinya peristiwa di atas, Pemerintah Hindia Belanda mengetatkan kebijakan bagi Suku Jawa-Tionghoa di Lasem. Interaksi sosial antara keduanya dibatasi dan dimata-matai. Kompeni sudah trauma dengan peristiwa yang memakan banyak korban. Keduanya dilarang berkumpul. Untuk Tumenggung Widyaningrat, kompeni telah mencurigainya sebagai dalang dalam pemberontakan melawan kompeni. Posisinya sebagai Adipati Lasem digantikan oleh orang pilihan kompeni yang dianggap loyalitas dalam menjalankan misi yang diemban dari Eropa. Mereka mengangkat Sosroadimenggolo III sebagai Adipati Lasem.

Beli Buku

Baca juga… Pangeran Sedo ing Laut Rembang

Kompeni sangat licik sekali. Mereka mengadu kiai dengan kiai. Sosroadimenggolo ini termasuk seorang sayyid sebagaimana Sayyid Haidar. Dengan cara seperti ini, kompeni berharap dapat menundukkan pribumi yang meyoritas beragama Islam supaya menghormati keturunan baginda Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sosroadimenggolo III tidak disenangi rakyat Lasem, karena kebijakannya yang dinilai lebih menguntungkan kompeni. Kondisi pemerintahan semakin memanas karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Karena posisi Sosroadimenggolo Iii dirasa kurang aman, kediamannya sering dijaga kompeni, demi keselamatannya.

Pejuang Lasem dari persekutuan Jawa-Tionghoa tidak pernah takut mengangkat senjata. Mereka bersembunyi di Gunung Argosoka yang sulit dijamah oleh kompeni. Rakyat Lasem yang tidak ikut berjuang melawan kompeni ikut serta dalam membantu saudaranya yang berjuang dengan mengirim senjata dan perbekalan yang dibutuhkan.

Ketika persiapan untuk melawan kompeni sudah matang, maka berkumpulah ulama dan pembesar Lasem, baik dari kalangan China maupun Jawa untuk menyusun kekuatan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1750 M. Pada waktu itu, telah ikut berjuangan seorang keturunan Tejakusuma V (melalui menantunya, Pangeran Sambu), yaitu Ki Jayatirta atau yang lebih dikenal dengan Kiai Ali Baidlowi. Ia masih terbilang sayyid yang sakti mandraguna. Ia masih kerabat dari Pangeran Margana. Ia mendapatkan didikan dari Pangeran Margana untuk melanjutkan perjuangan dalam melawan kompeni.

Baca juga… Mbah Moen Berjuang Melawan Penjajah

Usia Kiai Ali Baidlowi di waktu itu masih terbilang muda. Ia sosok pemuda tampan dan gagah perkasa. Ia alim dan sakti. Dengan tegas, ia berani mengumandangkan Perang Sabil usai menjalankan Salat Jum’at di Masjid Jami’ Lasem. Usai Salat Jumatan, Pangeran Margana memberikan spirit, sebuah pidato untuk mengobarkan semangat. Ia mengatakan, “Saya rela jika nyawa ini melayang untuk mengusir kompeni dari tanah Jawa.”

Bagi seorang Muslim, khususnya kiai santri seperti Kiai Ali Baidlowi dan santri-santrinya, perang ini terbilang Perang Sabil yang apabila gugur di dalamnya, maka akan mendapatkan jaminan surga sebagaimana yang sudah dijanjikan Allah dalam kitab suci-Nya. Untuk selain umat Islam, semisal orang Tionghoa atau orang yang mempunyai dendam kesumat dengan kompeni, maka perang ini sangat dinantikan untuk membalas dendam atas apa yang sudah dilakukan oleh kompeni.

Pembesar Lasem yang ikut dalam peperangan ini, selain Raden Panji Margana, ada juga Babah Ui Ing Kiat (Tumenggung Widyaningrat) dan Ki Mursada. Perang Sabil yang dipimpin oleh Kiai Ali Baidlawi ini menelan banyak korban dari kedua belah pihak.

Beli Buku

Baca juga… Kiai Shihhah al-Jombangi (Leluhur Kiai-Kiai Jombang/ Cicit Joko Tingkir)

Sebenarnya, strategi yang digunakan oleh Kiai Ali Baidlowi sudah sangat jitu. Ia memilih waktu yang mustajab, yaitu usai Salat Jumatan, yang mana diharapkan di hari yang mustajab doanya tersebut mereka berdoa semoga kemenangan akan  berpihak kepadanya. Kiai Ali Baidlowi mempunyai  azimat Pengabaran Petak Senggara Macan, yang mempunyai khasiat tidak mempan senjata. Ia bersama dengan pasukannya yang  sakti menempati barisan terdepan. Untuk barisan belakang ditempati oleh pasukan biasa.

Meskipun sudah disusun dengan rapi penyerangan ini, namun karena telik sandinya kompeni sudah mencium gerakan ini, maka strategi kompenipun diatur dengan sedemikan rapinya. Ia meminta bala bantuan Kesultanan Mataram yang sudah ditundukkan oleh kompeni semenjak Amangkurat II melalui adipati yang setia kepadanya seperti Adipati Tuban dan Semarang.

Ketika pejuang Lasem menyerang Rembang, sebagai pusat Kadipaten Lasem pada zaman Sosroadimenggolo III, pasukan Perang Sabil yang dipimpin oleh Kiai Ali Baidlowi telah berhasil dipora-porandakan oleh kompeni dan gedibalnya.  Banyak anggota Perang Sabil yang gugur di medan peperang.

Baca juga… Menapak Jejak Kiai Hamid Baidhowi Lasem

Saat adu senjata dengan kompeni, perang berkecamuk, Raden Panji Margana terluka. Kejadian tersebut diketahui oleh Ki Mursada. Ia langsung membawanya ke tempat yang aman. Ia banyak mengeluarkan darah, sehingga hal ini menjadi lantaran nyawanya tidak tertolong.

Atas jasa Kiai Ali Baidlowi atau Ki Jayatirta sebagai salah satu pimpinan pejuang yang gigih dalam mengusir penjajah, maka namanya diabadikan sebagai nama jalan di Kabupaten Rembang. Ia dimakamkan di sebelah utara Masjid Jami’ Lasem (sekarang).  []

 

NB : Tulisan ini dikutip dari buku Kebangkitan Ulama Rembang : Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *