Oleh : Amirul Ulum
“Bersama beberapa pengikutnya Kiai Abdussalam membangun sebuah perkampungan terdiri dari langgar (mushalla) dan tempat pemondokan untuk 25 orang pengikutnya. Karena pesantren saat itu mulanya dihuni 25 orang, maka ia dikenal dengan Pondok Selawe (dua puluh lima).”
Ketika Pangeran Dipanegara mengumandangkan Perang Sabil (1825 -1830 M) untuk melawan kompeni, maka seruannya tersebut disambut gembira ria oleh kiai-santri dan pamongpraja yang tidak sependapat dengan kompeni, termasuk di dalamnya ada yang berasal dari Lasem/Rembang yang dikenal getol dalam melakukan perlawanan kepada kaum kafir penjajah, seperti halnya Kiai Abdussalam (Lasem), Kiai Saman ibn Yaman (Sarang), dan Tumenggung Sosrodilogo.
Kiai Abdussalam dikenal dengan nama Mbah Shihhah. Nama tersebut bermula dari sebuah peristiwa ketika ia menaiki sebuah kendaraan, yang manyalib milik orang Belanda, sehingga hal tersebut membuat orang Belanda merasa tersinggung. Karena merasa tersinggung, maka opsir Belanda mencorongkan senjata ke arah Kiai Abdussalam. Dalam seketika, sang kiai langsung menjerit dengan sekeras-kerasnya, yang membuat kompeni kebisingan, sehingga mereka pingsan. Dari peristiwa ini, Kiai Abdussalam dikenal dengan nama Shihhah yang berasal dari Bahasa Arab Shaihah (jeritan/ teriakan).
Kiai Shihhah berasal dari Lasem, ketika Pangeran Dipanegara kalah dalam Perang Jawa sebab kompeni berkhianat dalam kesepakatan perjanjian (1830 M), maka banyak pasukannya yang melarikan diri dan mengalihkan perjuangannya dari yang asalnya melalui kontak senjata (fisik) diganti menjadi jalur pendidikan, tarbiyah al-Islamiyah, seperti halnya dengan mendirikan pesantren semisal yang dilakukan oleh Kiai Umar al-Samarani (ayah Kiai Sholeh Darat al-Samarani).
Karena Kiai Shihhah termasuk salah seorang pasukan Pangeran Dipanegara yang diburu oleh kompeni, maka ia bersama dengan sisa pasukannya yang berjumlah dua puluh lima diajak hijrah ke tempat yang lebih aman. Tempat yang ditujunya adalah Tambak Beras, Jombang. Di tempat ini, ia mendirikan sebuah pesantren. Pesantren yang dibangunnya mulanya dikenal dengan nama Pesantren Selawe, sebab santrinya di awal dekade berjumlah dua puluh lima.
Dengan penuh kegigihan Kiai Shihhah menyebarkan agama Islam di wilayah Jombang, khususnya Tambak Beras. Pesantren yang dibangunnya kian hari, semakin bertambah orang yang berminat untuk mengaji kepadanya. Ia mempunyai dua murid andalan, yaitu Ustman dan Said. Ustman lebih menonjol dalam kajian ilmu tasawufnya, sedangkan Said lebih menonjol dalam kajian ilmu fiqihnya. Karena merasa tertarik dengan keduanya, akhirnya ia menikahkan keduanya dengan kedua putrinya. Ustman dikawinkan dengan Layyinah, sedangkan Said dinikahkan dengan Fathimah.

Kiai Ustman ini nantinya yang menurunkan Nyai Halimah yang dipersunting oleh Kiai Asy’ari. Pernikahan keduanya ini menurunkan Kiai Hasyim Asy’ari, yang menjadi Rais Akbar Nahdlatul Ulama 1926 M sekaligus pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng, yang telah melahirkan ribuan ulama yang bertebaran di Nusantara, khususnya Pulau Jawa.
Untuk Kiai Said, nantinya yang menjadi khalifah Kiai Shihhah untuk meneruskan kepengasuhan pesantren yang ada di Tambak Beras. Kiai Said ini yang menurunkan Kiai Hasbullah, ayahanda dari Kiai Wahab Hasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama). Selain Kiai Wahab, keluarga Kiai Hasbullah yang menjadi ulama berpengaruh adalah kedua menantunya, yaitu Kiai Muhaimin al-Lasemi (pengajar di Masjidil Haram dan pendiri Dar al-Ulum di Haramain) dan Kiai Bisri Syansuri (pendiri Nahdlatul Ulama).
Begitulah perjalan Kiai Shihhah yang telah menurunkan alim ulama yang bertebaran di Nusantara, baik melalui nasabnya atau jaringan keilmuan yang dibangun oleh keturunannya seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Nyai Khairiyah Hasyim, dan Kiai Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur. []
NB : Tulisan ini dikutip dari buku Kebangkitan Ulama Rembang : Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum