/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Perjuangan Dakwah Kiai Wasnadi

Oleh: Naila Sa’datul Amdah

Banyak kiai yang terlahir di tanah Pekalongan, termasuk Kiai Wasnadi. Sayangnya, tidak banyak, bahkan tidak ada yang mengabadikan jejak langkah kehidupan beliau. Sebagai seorang kiai yang sederhana, perannya dalam mengislamkan masyarakat di desanya tidak bisa dianggap remeh. Dengan latar belakang keluarga yang sederhana pula, kegigihannya untuk menimba ilmu di beberapa daerah pun cukup kuat pada masa itu. Selain itu, beliau juga memiliki beberapa karamah yang tidak banyak orang mengetahuinya.

Kiai Wasnadi dilahirkan pada tahun 1934 di Gembong, Kedungwuni, Pekalongan. Beliau adalah putra kedua dari pasangan Bapak Tasmidi dan Ibu Kundari. Ketiga saudaranya, yaitu Sadzali, Ahmad Zainuri, dan Rohmat Tauhid. Masa kecilnya dilalui dengan begitu sederhana, tidak mewah dan tidak megah. Ayahnya bekerja sebagai sopir truk dan ibunya penjual nasi di warung. Sang ibu juga bekerja sampingan sebagai pembatik untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Beliau sendiri malah sempat berjualan buah nangka sewaktu kecil.

Menginjak usia dewasa, beliau menikah dengan seorang putri kiai Proto (salah satu desa di Pekalongan), Kiai Muhyiddin, yaitu Nyai Chumaroh. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai sembilan anak, yaitu Nur Khamdan, Nur Khamdi, Nur Khamid, Nur Khamidah, Nur Ahmadi, Nur Alif, Nur Kholid, Nur Latif, dan Nur Laila. Beliau memondokkan semua anaknya, (kecuali putri keempatnya) di pondok yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan agar nantinya mereka dapat bertukar pikiran dan argumen sepulang dari menimba ilmu.

Dengan kondisi perekonomian yang apa adanya, tidak menyurutkan semangat Kiai Wasnadi untuk belajar. Dalam perjalanan pendidikannya, beliau sempat menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Nahdatul Ulama (SRNU) pada masa itu. Selanjutnya, beliau berkelana untuk menimba ilmu di berbagai daerah, seperti di Landungsari (salah satu desa di Pekalonagan), Kaliwungu, dan Cirebon. Beliau menimba ilmu kepada Kiai Nahrawi Landungsari. Di sana, beliau sering diajak untuk mengikuti kegiatan manaqiban bersama Kiai Nahrawi. Semasa mondok, beliau tidak pernah dikirimi uang saku dari rumah. Beliau menjadi juru masak bagi teman-temannya untuk bisa mendapat makanan. Di Kaliwungu, beliau mendalami ilmu faraid dengan Kiai Syamsuddin. Kemahirannya dalam bidang ini membuat beliau sering diminta oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah pembagian harta waris di kampungnya. Selain belajar ilmu faraid, beliau juga menekuni ilmu gaib (baca:jaduk) di daerah barat, seperti Kempek dan Buntet (Cirebon). Tidak hanya itu, beliau juga sering menziarahi makam para ulama untuk melakukan amalan-amalan tertentu, seperti di makam ndowo (Syekh Mangku Aji) yang tidak jauh dari rumahnya dan makam Geritan.

Beberapa ilmu kejadukan yang dimiliki beliau tidak serta-merta dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri, tetapi digunakan untuk kepentingan orang banyak. Pernah suatu ketika, beliau didatangi pemilik toko elektronik di daerah Pecinan dekat rumahnya. Toko ini sering sekali kemalingan. Pemilik toko akhirnya meminta beliau untuk memperlihatkan maling yang sering mengambil barang di tokonya. Beliau pun memutuskan untuk meletakkan jim di toko tersebut. Esok harinya, si maling ditemukan di dalam toko. Si maling dibuat keder sehingga tidak bisa keluar dari toko tersebut. Selain itu, beliau juga pernah meletakkan jim di beberapa sudut jalan agar tidak terjadi kerusuhan. Kala itu adalah masa-masa pemilu yang sering terjadi kerusuhan di mana-mana.

Beliau juga sering diminta untuk membaca khasiat-khasiat yang ada pada keris. Salah satu kebiasaannya adalah marangi keris tiap malam Jumat. Tidak hanya keris milik beliau sendiri, terkadang ada orang yang sengaja menitipkan pada beliau untuk diwarangi dan dibaca kegunaannya. Selain menjadi tukang marangi keris, beliau juga ahli dalam hal batu akik. Beliau bisa mengetahui nama, manfaat, dan larangan sebuah batu akik. Ketika sebuah akik ada “isi”nya, batu tersebut bisa terbang dengan sendirinya. Beliau bisa mengetahui posisi jatuhnya batu akik tersebut. Terkadang, beliau meminta santrinya untuk mengambil batu tersebut. Sayangnya, ilmu-ilmu jaduk yang beliau miliki tidak diturunkan kepada anak cucunya.

Beli Buku

Selain itu, beliau juga bisa menjalankan tengkorak orang yang sudah meninggal. Terkadang beliau memesan tulang (jari atau lainnya) kepada tukang kuburan. Tulang itu beliau gunakan untuk menjalankan tengkorak tersebut dari rumah. Tengkorak itu dijalankan untuk menakut-nakuti orang yang berbuat jahat agar bertobat.

Daerah Gembong sendiri dulunya merupakan daerah yang masyarakatnya masih semrawut. Mereka masih banyak yang tidak melaksanakan sholat, juga sering bermain judi dan gaple. Prihatin dengan kondisi ini, Kiai Wasnadi memikirkan cara untuk bisa menghentikannya. Akhirnya, beliau memutuskan untuk terjun langsung dengan ikut bermain judi. Beliau begitu mahir, sampai-sampai orang Cina di daerah Pecinan tersebut tahu keahlian beliau. Dengan begitu, beliau bisa dengan mudah membubarkan kumpulan orang-orang yang bermain judi. Beliau juga sempat menjadi makelar sepeda pada waktu itu.

Dengan banyaknya kehebatan beliau, banyak orang yang berdatangan untuk meminta berkah. Tidak hanya yang muslim saja, orang Cina pun terkadang datang untuk meminta bantuan pada beliau. Bahkan, orang-orang dari luar Jawa Tengah juga banyak yang mendatanginya, terutama daerah Kuningan. Beliau pun sering diundang untuk mengisi acara-acara di sana.

Pada hari-hari tertentu, beliau biasanya mengisi pengajian di desa-desa sekitar. Beliau juga menerima orang-orang yang datang untuk mengaji. Awalnya, pengajian hanya dilaksanakan di rumah atau di musala. Kemudian, beliau memutuskan untuk membangun Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah tersebut diberi nama “Miftahul Huda”. Seiring berjalannya waktu, ada beberapa santri yang meminta untuk mukim, seperti santri dari Tegal, Brebes, Pemalang, Bandar, dan Weleri. Maka, dibangunlah pondok pesantren sebagai tempat para santri yang ingin menetap di situ. Beliau menamai pondok tersebut dengan nama “Nurul Huda”. Sepeninggal beliau, Pondok Pesantren Nurul Huda diteruskan oleh putranya, K.H. Nur Alif. Semasa hidupnya, beliau pernah menjadi ketua tanfidziyah daerah Kedungwuni. Beliau bahkan sempat beberapa periode menjadi ketua syuriah NU daerah Kedungwuni.

Kepada santrinya, Kiai Wasnadi sering mengijazahkan doa-doa dan hizib-hizib, seperti hizib nashar. Selang tiga bulan atau setengah tahun, beliau akan menanyakan lagi apa yang telah beliau ijazahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetes santrinya, apakah masih melanggengkan ijazah tersebut atau tidak. Jika masih hafal, beliau akan memberikan kunci dari ijazah tersebut. Misalnya, ayat kursi yang bisa digunakan untuk menyembuhkan orang.

Dulu, ketika beliau masih menjalankan amalan-amalan dari Mbah Condro Wonopringgo, sempat muncul keanehan dari diri beliau. Waktu itu, hujan deras mengguyur daerah Wonopringgo. Beliau diminta Mbah Condro untuk datang ke rumahnya. Anehnya, saat melewati Sungai Ngletak Wonopringgo, beliau dapat berjalan di atas sungai tersebut dan tidak tenggelam. Padahal, banjir besar menggenangi sungai tersebut sebab hujan deras.

Cerita unik juga terjadi pada beliau dan Kiai Akrom Sofwan. Beliau pernah didatangi Kiai Akrom (sebelum menjadi kiai) untuk meminta saran tentang bisnisnya yang selalu gagal. Akhirnya, beliau menuliskan wirid pada lembaran kertas untuk diamalkan Kiai Akrom. Walaupun sudah sangat hafal wirid tersebut, lembaran yang berisi wirid itu sempat diperbanyak oleh Kiai Akrom untuk diselipkan di beberapa tempat, seperti di dalam Al-quran dan sertifikat tanah. Selang 41 hari, Kiai Akrom datang lagi. Beliau hanya berpesan untuk menerima anak yang ingin mengaji kepada Kiai Akrom, walaupun hanya satu anak. Seiring berjalannya waktu, Kiai Akrom akhirnya menjadi seorang kiai. Uniknya, sepeninggal Kiai Wasnadi, semua lembaran yang berisi wirid tadi ikut menghilang tanpa berbekas. Begitu juga dengan Kiai Akrom, beliau tidak hafal lagi apa yang telah diijazahkan. Kiai Wasnadi pergi beserta tulisan-tulisannya.

Kiai Wasnadi meninggal pada hari Kamis Wage, 29 Mei 1997 di umurnya yang ke-63. Beliau dimakamkan di samping makam Syekh Mangku Aji (makam ndowo). Beliau belum sempat menunaikan ibadah haji semasa hidupnya. Oleh karena itu, beliau dibadalkan oleh sang istri, Nyai Chumaroh. Setelah beliau wafat, ternyata masih ada beberapa orang yang sempat melihat beliau. Santri beliau yang kini menjadi kiai di Watukumpul, Pemalang pernah melihat beliau di Masjid Merah Panjunan, Cirebon. Beliau juga masih beberapa kali terlihat menghadiri acara wisuda khotmil quran di kediaman putri keempatnya. Beliau masih tetap hidup di hati orang-orang yang mencintainya.

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Nama saya Wasnadi, saya gak tau kenapa orang tua saya memberi nama saya Wasnadi, dan saya pun gak tau apa artinya Wasnadi, dan dari bahasa apa. Tapi ternyata ada juga kiai yg namanya kiai Wasnadi, semoga saya bisa jadi kiai seperti kiai Wasnadi