Oleh: Gus Zaki Abigeva
Tepat sehari sebelum peringatan 40 hari kewafatan Simbah Nyai Chudhori kami sowan sekaligus takziyah. Meski terhitung sangat telat, namun karena kedatangan kami bersamaan dengan tugas negara (mengawal ibu) maka semuanya seperti dapat dimaklumi mengingat kondisi ibu yang juga mulai udzur. Saat bertemu keluarga almarhumah ada beberapa cerita kecil yang patut dijadikan renungan meski belum semuanya dapat ditelisik dan terungkap. Berikut ringkasnya:
1. Khidmah Simbah Nyai kepada Mbah Chudhori dimulai ketika saat diminta dan diperintah oleh Mbah Dalhar Watucongol (sang kakek) untuk meneruskan mendampingi Mbah Chudhori yang baru ditinggal wafat istri pertamanya yang kebetulan masih bibi dari Simbah Nyai Nur Chalimah (kakak perempuan KH. Ahmad Abdul Haq bin Dalhar). Serta mengasuh tiga putra-putri Mbah Chudhori dari pernikahan yang pertama, di antaranya KH. Abdurrahman Chudhori (Mbah Dur) dan KH. Muhammad Chudhori (Gus Muh). Kebesaran Pondok Pesantren API Tegalrejo juga tidak bisa dilepaskan dari tirakat dan andil besar beliau.
2. Di usianya yang terbilang sepuh masih ajeg (terus-menerus) menghabiskan waktu di makam Mbah Chudhori mengkhatamkan al-Quran. Tradisi seperti ini seakan menjadi hiburan bagi beliau meskipun dilakukan hingga larut malam bahkan pernah di malam-malam tertentu sampai beliau tidak tidur. Tak heran jika khaliyah dan riyadhoh beliau ini acapkali dijadikan hujjah jika Mbah Nyai sejatinya adalah jimatnya Tegalrejo.
3. Kala disunting, usia Mbah Nyai belum genap 15 tahun. Bahkan Mbah Mad (KH. Ahmad Abdul Haq) kadang menggoda dan mencandai ponakannya tersebut yang saat itu menikah dengan duda paruh baya beranak tiga. Yang kira-kira jarak usia keduanya sangatlah jauh, sekira 26 tahun. Semuanya tetap beliau jalankan sebagai bentuk kepatuhan dan ngugemi (memegang erat) dawuh serta mencari ridho sesepuh. Dari nilai-nilai keikhlasan dan ngasto’aken dawuh poro piyantun sepuh (menuruti apa yang menjadi keinginan orang tua) inilah yang kemudian diyakini mendatangkan keberkahan demi keberkahan yang kerap melingkupi Tegalrejo hingga kini. Salah satu kuncinya adalah: birrul walidain.
4. Mbah Nyai ditinggal wafat Mbah Chudhori di tahun 1977 dalam usia 39 tahun sedangkan Mbah Chudhori sendiri wafat di usia 65 tahun. Beliau setia mendampingi Mbah Chudhori kurang lebih 25 tahun, yang dimulai sejak tahun 1952. Seperti yang dikisahkan keluarga ndalem, setelah memasang ring karena ada gangguan organ jantung, kondisi Simbah Nyai sebenarnya sangatlah stabil dan baik. Bahkan saat ditanya tentang kondisinya, beliau selalu dawuh jika tidak mengeluhkan apa-apa. Hingga ada yang menyebut jika Simbah Nyai tidak sakit dan tidak merasakan kesakitan apa-apa sebelum kewafatannya.
5. Masih menurut cerita keluarga, sebelum wafat kalimat yang sering diucapkan adalah istighfar berulang-ulang dengan menggunakan bahasa Jawa yang kurang-lebih seperti ini: “Ya Allah Gusti, nyuwun pangapunten.. Katah sanget keluputane kawulo”. Selain itu juga sering menyebut-nyebut dua nama agung yang selalu ada di hati beliau, Simbah Kiai Dalhar (sang kakek) dan Kiai Chudhori (sang suami) yang sudah lama mendahului.

6. Beliau yang saat masih sugeng (masa hidup) begitu tawadhu’, khusyu’, istiqomah, bersahaja dan terasah oleh zaman, bahkan saat kewafatannya diantar oleh ribuan pelayat saja masih begitu getol meminta ampunan kepada Allah hingga akhir hayatnya. Lalu bagaimana dengan kita??
Khusnul Khotimah kagem Simbah Nyai, lahal fatihah…