/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Para Perempuan Pejuang Islam di Nusantara dari Masa ke Masa Hingga Merebaknya Nilai Emansipasi Wanita

Oleh : Ahmad Ja’farul Musadad

Emansipasi wanita merupakan sebuah isu yang telah merebak sejak akhir abad 19 hingga kini. Persoalan yang paling santer diberitakan ialah pendidikan, hingga pada kekerasan seksual. Isu ini sampai hari ini, belum bisa terselesaikan, tidak jarang pada setiap tahunnya perempuan masih menjadi korban bagi budaya, pendidikan, politik hingga keagamaan.

Bahkan isu perempuan belakangan ini seolah masih membahas perihal yang sama, yakni peran perempuan dalam pendidikan, budaya, bahkan politik hingga agama. Mereka masih memiliki keterbatasan di dalam bersuara. Isu ini memang telah banyak terjadi, meskipun hari ini perempuan bisa menempuh pendidikan tinggi, namun tidak jarang di perguruan tinggi ia juga masih menjadi korban dan belum memiliki banyak peran di dalam organisasi.

Berita dalam dekade terakhir ini mengatakan bahwa pihak DPR telah mengesahkan RUU TPKS menjadi sebuah UU TPKS, hal ini memang baik, namun tidak akan menjadi solusi, jika orang menjalankan Undang-Undang tersebut masih mendapatkan perundungan di lingkungan tertentu. Maka perempuan harus juga berjibaku, agar dirinya tetap dihargai dan menjadi contoh, karena seorang yang baik, pasti terlahir dari rahim perempuan yang bermoral.

Berikut adalah kisah para perempuan hebat sepanjang perjalanan sejarah Islam. Mereka telah berkecimpung di dalam dunia pendidikan untuk memperjuangkan hak perempuan di dalam masyarakat.

Pertama, tentu ada sosok RA Kartini yang bisa dibilang sebagai perempuan yang paling vocal soal menyuarakan emansipasi. Ia merupakan murid dari ulama terkemuka di Nusantara yakni Syaikh Soleh Darat, yang mana gurunya ini juga merupakan guru dari pendiri organisasi besar Islam di Indonesia yakni KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, sedangkan Hasyim Asy’ari berjuang lewat Nahdlatul Ulama.

Selain RA Kartini ada juga perempuan hebat lainnya yang gigih memperjuangkan emanisipasi, seperti Rahmah el-Yunusiah, Nyai Khairiyah Hasyim, dan Nyai Walidah, peranan dari ketiganya juga tidak kalah mentereng daripada RA Kartini yang memang telah dijadikan sebagai figur pejuang hak perempuan.

Beli Buku

Kedua, ada Rahmah el-Yunusiah merupakan seorang yang berlatar belakang keluarga mumpuni, dan ia tergolong ke dalam seorang perempuan yang memiliki cita-cita agar gerak perempuan tidak dibatasi pada sektor tertentu, ia kemudian mengembangkan madrasah dan menjadi salah satu perempuan paling berpengaruh di tanah Sumatera. Dalam kajian sejarahnya ia merupakan sosok perempuan tangguh yang memperjuangkan hak perempuan. Sebagai seorang perempuan yang sadar akan petingnya pendidikan, ia sangat getol di dalam memperjuangkan pendidikan khususnya umat Islam perempuan.

Dilahirkan di Padang Panjang Sumatera Barat, Rahmah el-Yunusiah dikenal sebagai perempuan genius dan cerdas. Ia mendirikan Madrasah Diniyah Putri di Padang Panjang yang merupakan sebuah perguruan tinggi perempuan Islam pertama di Indonesia, dan dirinya juga menjadi pelopor berdirinya Tentara Keamanan Rakyat di Sumatera Barat. Rahma el-Yunisiah merupakan murid dari Haji Abdul Karim Amrullah, tokoh penting di sana.

Perjuangannya dalam mendirikan madrasah sempat mendapatkan bantuan dari Belanda, dengan timbal-balik harus patuh terhadap Belanda, akan tetapi ia menolak dengan keras dan tegas. Hal yang sama juga pernah terjadi namun kali ini lebih kepada tanggung jawab dirinya terhadap murid-muridnya. Ketika Jepang menjajah, ia memilih untuk mengungsikan muridnya dan menanggung semua kebutuhan selama bersembunyi dari Jepang.

Dalam perjuanganya mendirikan pendidikan khus perempuan sangatlah besar, karena selama mendirikan madrasah, ia mendapatkan banyak perhatian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 1957 ia berhasil mendapatkan gelar Syaikhah dari guru besar Universitas al-Azhar Mesir. Gelar tersebut hingga kini belum ada yang menyandangnya kembali.

Ketiga, Nyai Khairiyah Hasyim merupakan muslimah Indonesia yang pertama kali menggagas Madrasah Banat di Saudi Arabia, hal ini bertujuan agar pihak kaum hawa tidak selamanya dipandang sebelah. Perempuan kelahiran tahun 1906 Jombang Jawa Timur itu lahir dari seorang ayah yang bernama Kiai Hasyim dan Ibu Nyai Nafiqoh, ia anak ke 2 dari 10 bersaudara. Nyai Khairiyah dibesarkan dengan cara yang sama seperti para kaum adam umumnya, dimana ketika saudara laki-lakinya bisa belajar di luar pesantren, maka ia juga berhak mendapatkan hak yang sama.

Ketika ia sudah memiliki suami yakni Kiai Ma’sum Ali, Nyai Khairiyah kemudian diperintahkan oleh ayahnya untuk mendirikan pesantren. Pendidikan Islam yang didirikan ini kemudian dikhususkan untuk santri perempuan, yang kemudian diberi nama Pesantren Seblak. Ketika Kiai Ma’sum Ali meninggal dunia, melihat sosok Khairiyah yang masih muda yakni 27 tahun, ayahnya ingin menikahkan kembali putrinya tersebut dengan orang alim lainnya. Hal itu terlaksana ketika masa iddah Nyai Khairiyah selesai, ia kemudian dipersunting oleh Kiai Muhaimin, seorang ulama yang berkontribusi sebagai pengajar di Masjidil Haram.

Setelah menikah dengan Kiai Muhaimin keilmuannya semakin bisa digali untuk menambah wawasannya. Ketika Kiai Muhaimin wafat, ia kemudian diminta oleh Presiden Soekarno untuk kembali ke Indonesia, karena dianggap bahwa sosok Nyai Khairiyah merupakan figur yang pas untuk dijadikan teladan bagi pergerakan perempuan lainnya.

Berbagai pertimbangan kemudian dilakukan, hingga akhirnya pada tahun 1957 ia memutuskan kembali ke Indonesia. Sejak saat itu ia kemudian terus berkecimpung di dalam lingkup Pesantren Seblak sampai akhir hayatnya. Perjuangan yang dilakukan tidak hanya di pesantren, ia juga turut aktif di dalam organisasi lain seperti Fatayat NU dari tahun 1958 -1962. Ia juga menjadi salah satu Anggota PBNU tahun 1960-an. Nyai Khairiyah pun ikut mengajar di Tebuireng dan juga beberapa kajian majelis taklim yang dikhususkan bagi kaum perempuan.

Beli Buku

Ia juga turut serta mensuarakan emansipasi wanita, ia berjuang dalam bidang pendidikan bagi perempuan secara stuktural, meskipun hal semacam itu masih kedengaran asing di telinga para kiai. Jauh sebelum itu di tahun 1919 telah didirkan pesantren banat yang didirikan oleh Nyai Nur Khatidjah, yang mana ia adalah istri dari Kiai Bisri Syansuri.

Ketika ia berada di Makkah untuk membantu sang suami yakni Kiai Muhaimin, ia punya keresahan terkait pendidikan perempuan, oleh karena itu ia mendirikan Madarasah Banat di Makkah, maka lahirlah pesantren atau lembaga pendidikan putri di Saudi Arabia seperti yang dilakukan oleh Syaikh Husein al-Palimbani dan Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani bersama dengan istrinya.

Keempat, ada nama Nyai Walidah ialah istri dari Kiai Ahmad Dahlan, ia bersama dengan suaminya itu membuat sebuah sekolah yang dikhususkan bagi perempuan. Menjadikan tempat dirinya beregerak di dalam emansipasi wanita, karena ia sering keluar rumah untuk berdakwah, ia pertama kali mendirikan sekolah untuk perempuan di Suronatan Yogyakarta.

Pada tahun 1914 kemudian lahirnya sebuah organisasi yang menaungi kaum perempuan yang diberi nama sopo tresno, dan organisasi ini merupakan cikal-bakal berdiriyah organisasi Aisyiyah. Pada saat itu perempuan masih dianggap bahwa ia harus berada di bawah laki-laki. Tidak jarang Nyai Walidah mendapatkan cemoohan dari kalangan tokoh tua di Yogyakarta. Jauh sebelum adanya Kartini yang menjadi publik figur hari ini, Nyai Walidah adalah sosok perempuan yang memiliki cita-cita agar perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, terutama soal pendidikan.

Meski di era yang serba digital ini telah banyak perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi, namun kiprah mereka akhirnya sebatas memperoleh dan masih jarang perempuan yang mau speak up terkait hal lain. Seperti kekerasan seksual dan korban budaya, kala ia hidup pada lingkungan baru, seperti perempuan desa yang manut aja, padahal perempuan-perempuan desa juga tidak kalah pintarnya dan memiliki hak yang sama dengan mereka yang di kota, menjadi agen perubahan dan juga dapat meninggikan derajat lelaki, jika ia bisa menikmati setiap pekerjaan yang dijalani, tanpa harus menanggung beratnya kehidupan di rumah saja.

Pada dasarnya seorang perempuan juga bisa survive ketika ia mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya. Baik itu ayahnya, saudara, maupun suaminya, karena dengan adanya keharmonisan di dalam sebuah ikatan, maka perempuan bisa saja menjadi panutan dan inspirasi baru bagi para generasi setelahnya. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan bisa melampaui lelaki, hanya saja memang, jika keduanya berjalan beriringan, maka akan memunculkan keterhubungan saling membutuhkan satu sama lain untuk maju.

Setiap tahunnya memang telah banyak perempuan yang punya keahlian, baik di dunia akademik maupun di lingkungan masyarakat. Perjuangan mereka telah dihargai. Lewat berbagai acara dan penghargaan. Banyak sekarang professor lahir dari kaum perempuan. Namun mengingat masalah Indonesia ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan banyaknya perempuan, yang mendapatkan gelar semata. Indonesia membutuhkan sebanyak mungkin wanita hebat yang berjuang di setiap lini kehidupan, dari tingkat bawah hingga atas. Dari desa terpencil hingga perkotaan.

Indonesia adalah Kawasan dengan wilayah terbesar kelima terbesar di dunia. Untuk itu dibutuhkan banyak sekali poerempuan yang juga berkontribusi untuk negeri. Tanyangan Kick Andi Misalnya dalam 1 darsawarsa terakhir, ia kerap memberikan predikat hero dan penghargaan dengan tampil di televisi, bagi para pejuang di pedalaman dan juga pekerja yang bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Lewat Gerakan perempuan yang diperdayakan oleh setiap bintang tamu yang hadir dalam acara tersebut.

Beli Buku

Emansipasi wanita memang begitu merepak, ketika Indonesia digempur oleh penjajahan belanda. Tiga tokoh Wanita yang dulu berjual di bidang pendidikan seperti Nyai Walidah, R.A Kartini, dan Nyai Khairiyah Hasyim telah merubah mainside bahwa perempuan bisa berjuang dan memiliki peran dalam salah satu bidang penting yakni pendidikan. Jika emansipasi tidak dibarengi dari semangat perempuan, kemungkinan isu itu akan tetap menjadi isu.

Problematika perempuan yang ada di Indonesia memang tidak sedikit. Seperti diungkapkan dalam sebuah narasi video Youtube yang dibangun oleh Najwa Shihab dan kawan-kawannya. Ia sering menyuarakan atas nama perempuan untuk berkarya dan tetap fokus memiliki peran di masyarakat. Artis seperti Cinta Laura dan Maudy Ayunda, mereka-mereka sering menyuarakan perempuan, agar berperan di ranah publik. Meski seringkali tidak setiap perempuan di Indonesia memiliki mental yang sama, namun itu masih menjadi bukti bahwa perempuan kalau mau menuntut hak Emansipasi, maka mereka juga harus siap menjadi pelopor dan penggerak di berbagai sisi.

Menyuaraklan emansipasi tidak sebatas hanya buah bibir surgawi, yang sangat indah dan bisa dinikmati, namun sulit dipenuhi. Indonesia akan selalu butuh lebih banyak perempuan yang ikut berjuang, agar dirinya ketika menyuarakan setara dengan pria, bisa dilihat dari kinerja dan aktifitas mereka di berbagai bidang, terutama untuk masyarakat desa, lalu mereka kental tradisi perempuan harus di rumah,  itu harus ada tindakan yang tepat, bahwa perempuan bisa melampaui zaman dan bisa berkontribusi, bukan sebagai simbol, melainkan contoh yang perlu dibanggakan.

Munculnya hak perempuan memang perlu, namun tetap harus dipenuhi dengan kewajibannya sebagai kaum hawa, dan hal yang harus juga dimiliki oleh seorang lelaki, karena pria tanpa seseorang wanita yang tangguh, ia hanya benalu di dalam kehidupan serta hanya akan menjadi badut dalam ketangguhan perempuan yang semakin kuat dalam menyuarakan emansipasinya. Lewat kerja keras dari komunitas kecil di daerah hingga tingkat nasional.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *