/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Mbah Moen Berjuang Melawan Penjajah

Oleh : Amirul Ulum

Ajaran Kiai Saman dan Kiai Lanah diwariskan kepada anak cucunya, mencintai agama dan bangsanya, religius nasionalis. Ajaran agama mampu membangkitkan semangat kebangsaan, mampu menumbuhkan semangat jihad fi sabilillah, mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Tarbiyah al-Islamiyah yang ditanamkan di Pesantren Sarang mampu melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan agama dan tanah air, baik perjuangan melalui pesantren, organisasi maupun dengan ikut terjun langsung, berperang melawan penjajah.

Kiai Ghazali telah berhasil mengkader ulama handal, di antaranya adalah Kiai Umar bin Harun dan Kiai Syuaib bin Abdurrozak. Kedua ulama ini menjadi simbol bertemunya dua samudra keilmuan yaitu ilmu syariat dan hakikat, majmau al-bahrain. Keduanya telah meramaikan Pesantren Sarang, sehingga dari didikannya lahirlah banyak tokoh ulama yang ikut berjuang merintis berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, di antaranya adalah Kiai Baidlowi Lasem (pencetus gelar Soekarno, huwa waliyyul Amri ad-Dharuri Bissyaikah), Kiai Maksum Ahmad (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Khalil Masyhuri (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Ridwan Mujahid (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Bisri Syansuri (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Khalil Kasingan (pendiri Pesantren Kasingan, kakek Gus Mus), dan lain-lain.

Pasca dicetuskannya Resolusi Jihad (22 Oktober 1945 M) oleh kiai Nahdlatul Ulama, maka berkobarlah semangat kiai santri untuk mengangkat senjata. Para kiai memberikan semangat kepada santrinya, bahwa surga Allah telah dibuka lebar-lebar untuk para syuhada yang gugur di Medan perang. Para kiai santri tersebut berjuangan dalam barisan Hizbullah yang dipimpin oleh Kiai Zainul Arifin dan Sabilillah yang dipimpin oleh Kiai Masykur serta ada yang masuk dalam barisan Mujahidin yang dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama).

Jaringan Hizbullah dan Sabilillah tersebar di berbagai pelosok Nusantara terlebih Jawa. Mereka berjuangan bersama TKR (Tentara Keselamatan Rakyat), BKR (Badan Keamanan Rakyat),  TRI (Tentara Republik Indonesia), dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Saat dicetuskannya Resolusi Jihad, Kiai Maimoen masih nyantri di Pesantren Lirboyo. Karena gentingnya situasi,  ia pun akhirnya kembali ke Rembang dan ikut bergabung dalam barisan Hizbullah Rembang yang dipimpin oleh ayahnya, Kiai Zubair Dahlan. Kiai Zubair ini mempunyai seratus pasukan dengan persenjataan yang lengkap. Ada delapan puluh pucuk senapan yang mereka rampas dari tangan penjajah. Senjata-senjata tersebut disimpan di tempat yang rahasia, hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya. Mereka selalu siap siaga untuk berperang ketika kompeni sudah menghadang. Mereka siap mati jika penjajah ingin kembali menguasai bumi pertiwi.

Kiai Zubair selalu mengajarkan kepada pasukannya yang kebanyakan adalah santrinya sendiri untuk memperbanyak membaca doa dan wirid supaya dijaga Allah dan diberi kemenangan. Atas barokah doa dan wirid ini, Allah pun menjadikan wilayah Sarang sebagai zona aman, dalam arti kontak senjata yang terjadi antara pasukan Kiai Zubair dan Belanda berlangsung di perbatasan kota Sarang atau di luarnya seperti di Kecamatan Kragan atau Bulu (masuk wilayah Tuban, Jawa Timur).

Beli Buku

Kesiagaan secara lahir dan batin yang diajarkan oleh Kiai Zubair bersama para kiai Rembang lainnya seperti Kiai Baidlowi al-Lasemi, Kiai Ma’shum Ahmad al-Lasemi dan Kiai Khalil al-lasemi, membuat Rembang yang di waktu itu terdiri dari lima kecamatan, tidak dapat dikuasai oleh Belanda. Mereka sangat kuwalahan jika adu senjata di wilayah ini. Senjata mereka tidak berkutik jika berhadapan dengan mujahidin Kiai Zubair.

Kiai Maimoen kembali ke kampung halamannya dengan berjalan kaki sebab kondisi yang sudah tidak memungkinkan demi sebuah keamanan. Selain ikut berperang, ia juga ikut mensuplai bahan makanan yang dikumpulkan dari penduduk untuk digunakan sebagai stok makanan para pejuangan. Ia sering berjalan ke kampung-kampung untuk menjalankan tugasnya tersebut.

Untuk memperkuat barisan mujahidin supaya lebih terstuktur, akhirnya pasukan yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah dijadikan menjadi satu, menjadi satuan Batalion. Ada empat pimpinan Batalion ini yang disebut Kiai Maimoen dengan sebutan 4 M, singkatan dari Batalion Mahfudz (untuk wilayah Kediri dan sekitarnya)  Batalion Manshur (untuk wilayah Tuban dan sekitarnya), Batalion Munawar (untuk wilayah Kudus dan sekitarnya), dan Batalion Mahfudz Somolangu (untuk wilayah Jawa bagian selatan). Pembentukan satuan Batalion ini terjadi pada Oktober 1948.  Semua orang ini adalah kiai yang memimpin perang bersama santrinya.

 

Sumber :

Mbah Moen Kiai Perekat Bangsa karya Amirul Ulum

Yogyakarta, 17 Agustus 2022

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *