Oleh: Redaksi
Membaca shalawat setelah adzan bagi sebagian kalangan termasuk perbuatan haram. Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah pada masa akhir Kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Tarikh menuliskan: Mereka telah mengharamkan bacaan shalawat atas Rasulullah SAW setelah dikumandangkannya adzan. Bahkan diceritakan ada seorang muadzin yang shaleh tidak bisa melihat sedang membacakan shalawat atas Rasulullah SAW setelah adzan. Lalu orang shaleh itu dibawa untuk menghadap Muhammad ibn Abd al-Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk membunuh orang shaleh tersebut.
Membaca shalawat setelah adzan asal hukumnya adalah sunah. Para ulama seperti Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitsami, Syaikh Zakariya al-Anshari menyepakati hal tersebut. Landasan hukumnya berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: أَنَّهُ سَمَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُّولُ :إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُوْا اللَّه لِي الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَهَا مَنْزِلَةٌ فَي الْجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA, bahwasanya dia mendengar Nabi SAW bersabda, ‘Apabila kalian mendengar kumandang adzab, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin, kemudian bershalawatlah kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kalu. Kemudian mohonlah wasilah kepada Allah untukku, karena sesunggunya hal itu adalah manzilah (kedudukan) di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan saya berharap bahwa itu adalah aku. Dan barangsiapa yang memohon wasilah untukku, niscaya dia akan mendapatkan syafa’at.'” (H.R. Imam Muslim no. 847)
Hadist di atas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Ash-Shalah, Bab: Maa Yaquulu Idza Sami’a Al-Muadzin (nomor 523), dan At-Tirimidzi di dalam kitab Al-Manaqib, Bab: Fadhl An-Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam (nomor 3614). Imam Ibnu Abdin dalam hasyiyahnya yang merujuk pendapat Imam As-Sakhawi, dalam kitab Taj Al-Jami mengatakan,
اَلصَّلاَةُ بَعْدَ اْلاَذنِ سُنَّةٌ لِلسَّامِعِ وَاْلمُؤَذّنُ وَلَوْ بِرَفْعِ الصَّوْتِ, وَعَلَيْهِ الشَّافِعِيَّة وَاْلحَنَابِلَة وَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ

“Membaca shalawat setelah adzan adalah sunah, baik bagi orang yang adzan maupun orang yang mendengarkannya, dan boleh mengeraskan suara. Pendapat inilah yang didukung oleh kalangan Madzhab Syafi’i dan kalangan Madzhab Hanbali yang termasuk bid’ah hasanah.”
Membaca shalawat setelah adzan termasuk suatu hal baru yang di zaman Rasulullah SAW belum ada serta tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bagi yang megharamkannya mengatakan bahwa sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan perkara haram jika dilakukan di zaman sekarang. Mereka menggunakan kaidah:
الترك يقتضي التحريم
“Perkara yang ditinggalkan/ tidak dilakukan Rasulullah SAW, berarti mengandung makna haram.”
Menurut para ulama ushul fiqih sesuatu bisa dikatakan haram jika memuat 3 kaidah yaitu 1. Adanya Nahy (larangan/ kalimat langsung), 2. Adanya Nafi (larangan/ kalimat tidak langsung), dan adanya 3. Wa’id (ancaman keras).
Ketika Rasulullah SAW masih hidup ada beberapa faktor yang menyebabkan beliau tidak melakukan suatu, salah satunya adalah faktor kebiasaan. Diceritakan dari Khalid bin al-Walid, ia berkata, “Rasulullah SAW diberi Dhab (biawak Arab) yang dipanggang untuk dimakan. Lalu dikatakan kepada Rasulullah SAW, “Ini adalah Dhab”. Lantas Rasulullah SAW menahan tangannya. Khalid bertanya, “Apakah Dhab haram?.”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, tapi karena Dhab tidak ada di negeri kaumku, maka aku merasa tidak suka.” Khalid tetap memakan Dhab, sedangkan Rasulullah SAW melihatnya. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Ketika Rasulullah SAW tidak memakannya apakah bisa dikatakan haram? tentu saja tidak. Beliau tidak memakannya sebab bukan termasuk kebiasaan di negeri tempat tinggal Rasulullah SAW.
Membaca shalawat setelah adzan termasuk bid’ah hasanah. Para ulama hadis maupun fiqih sudah menyepakati hal tersebut, yaitu suatu hal baru dalam ajaran Islam yang baik untuk dilaksanakan. Al-Hafizh as-Sakhawi di dalam kitabnya Al-Badi yang mengatakan;

“Para Mu’adzdzin telah melakukan hal baru dengan membaca shalawat atas Rasulullah SAW setelah adzan pada setiap masuk shalat fardhu, kecuali pada waktu subuh dan jum’at, hanya saja mereka mendahulukan bacaan shalawatnya, dan waktu maghrib mereka tidak membacanya karena waktunya yang singkat. Hal ini terjadi pertama kali ketika masa kepemimpinannya Raja Shalahuddin al-Ayyubi dan beliau sendiri yang memirintahkan hal tersebut.”
Kemudian beliau menambahi“Masalah ini menjadi perdebatan di kalangan ulama, apakah hukumnya sunnah, makruh, bid’ah atau disyari’atkan?. Pendapat yang mengatakan pembacaan shalawat setelah adzan adalah sunah merujuk pada firman Allah subhanallah wa ta’ala dalam Surah al-Hajj, Ayat 77 yang artinya “Dan berbuatlah pada kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. Dan membaca shalawat adalah di antara kebaikan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah apalagi banyak hadis yang memberikan motifasi untuk bershalawat, juga ada hadis yang menyebutkan keutamaan doa setelah adzan. Dan pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bid’ah hasanah, pelakunya akan mendapatkan pahala dengan ketulusan niat”.
As-Suyuthi dalam al-Wasa’il fi Musamarah al Awa’il berkata : “Membaca shalawat dan salam atas Rasulullah setiap setelah adzan terjadi pertama kali di al-Manarah pada masa raja al Manshur Haji ibn al Asyraf Sya’ban ibn Husain ibn an Nashir Muhammad ibn al Manshur Qalawuun atas perintah al Muhtasib Najmuddin ath-Thambadi pada bulan Sya’ban tahun 771 H. Setelah sebelumnya juga dikumandangkan pada masa raja Shalahuddin al-Ayyubi pada setiap malam sebelum adzan shubuh di negara Mesir dan Syam dengan lafazh “as-Salamu ‘ala Rasulillah”. Hal itu berlanjut sampai pada tahun 767 yang bacaannya ditambah menjadi: “AshShalatu wa as-Salamu ‘alayka ya Rasulullah” atas perintah al-Muhtasib Shalahuddin al-Barlasi, kemudian pada tahun 771 H bacaan shalawat ini dikumandangkan pada setiap setelah adzan.”
Wallahu’alam bishowab
Sumber Rujukan

Kholil Abou Fateh, “Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy’ariyyah, Meluruskan Distorsi Terhadap Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Ajarannya”, Kompilasi Ebook, Pustaka Aswaja.
Kholil Abou Fateh, “Masa-il Diniyyah”, Kompilasi Ebook, Pustaka Aswaja.
H, Abdul Shomad, Lc., MA. “37 Masalah Populer.”
Ulil Hadrawi, “Membaca Shalawat Setelah Adzan”, 19 April 2012 dalam NU Online, https://islam.nu.or.id/ubudiyah/membaca-shalawat-setelah-adzan-D1Ncw diakses 6 Oktober 2022