/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Mendengarkan “Pekikan” Al Faqīh al Andalusiyy

Di Kordoba Andalusia, seorang lelaki berumur 26 tahun melayat jenazah di sebuah Masjid. Ia duduk tanpa melakukan salat dua rakaat tahiyyatul masjid. Seorang mengingatkannya, “Berdiri! Salatlah dua raakaat ..” Ia pun berdiri dan salat dua rakaat. Usai mengantar jenazah, ia kembali ke masjid untuk menghormati ahlul mayyit. Ia salat dua rakaat sebelum duduk sesuai dengan ajaran yang ia terima. Akan tetapi, ia kembali diingatkan, “Duduk .. duduk! Sekarang ini bukan waktunya salat!” Saat itu mereka telah menjalankan salat Asar.
[Dalam ajaran Malikiyah yang mendominasi Andalusia, tidak boleh salat tahiyyatul masjid setelah salat Asar. Berbeda dengan ajaran Syafiiyyah yang tetap menganggapnya sunnah meski dilakukan di waktu-waktu karāhah karena masuk dalam kategori salat yang memiliki sabab muqārin.][1]
Ia pulang dengan membawa kesedihan. Ia berkonsultasi dengan guru spiritualnya, lalu pergi belajar kepada seorang fakih bernama Abdullah bin Daḥḥūn. Kepada guru barunya ini, ia menceritakan pengalamannya mengenai salat tahiyyatul masjid. Ibn Daḥḥūn memberi saran kepadanya untuk belajar Al Muwaṭṭa’. Ini adalah kitab pertama yang ia pelajari, dan dia membacanya di depan beliau. Sejak itu, dia memfokuskan diri belajar ilmu-ilmu agama, baik kepada Ibn Daḥḥūn maupun kepada lainnya. Setelah tiga tahun dia “mengurung diri,” mulailah ia menyampaikan gagasan-gagasan dan juga kritik-kritiknya.[2]
Lelaki itu adalah Ali bin Ahmad bin Said Ibn Hazm, filsuf dan faqih dari Andalusia (384–456 H.). Ia sering dijadikan argumen bahwa belajar bisa dimulai saat usia tak lagi muda. Pernyataan ini sepenuhnya benar, akan tetapi perlu kiranya juga melihat bahwa sebelumnya Ibn Hazm telah menjadi orang penting di Andalusia. Tidak sebagai seorang faqih, akan tetapi sebagai intelektual dan praktisi pemerintahan.
Ini perlu disampaikan karena proyek keagamaan Ibn Hazm jauh lebih luas dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tahiyyatul masjid. Banyak hal dalam proyek keagamaannya tampak justru dipengaruhi oleh pengalamannya saat di pemerintahan, terutama saat menjabat sebagai al wazīr (yang mungkin setara dengan perdana menteri untuk sekarang ini). Keberaniannya dalam melakukan kritik dan kesulitannya dalam mengekang lidah tampaknya—selain perosalan-persoalan subjektivitas dirinya—setara dengan keresahannya terhadap umat Islam Andalusia yang ia pandang sedang berjalan menepi dari gelanggang peradaban. Sudut pandang seperti ini tentu saja merupakan buah dari pengalamannya yang lama di pemerintahan.
Salah satu contoh ketajaman penanya adalah apa yang dikutip oleh Imam Aż Żahabiyy dalam “Siyar A’lām al Nubalā`”: “Benar-benar skandal!! Empat tokoh dalam jarak tiga hari perjalanan, yang masing-masing bergelar ‘amirul mukminin’ … Ini sungguh perilaku yang tak pernah terdengar padanannya sebelum ini.”[3]
Pekikan Ibn Hazm tidaklah berada di ruang hampa. Ia mewakili kekhawatiran banyak kalangan terhadap Andalusia Islam. Thulaithila (Toledo) yang berjarak 314 km. dari Kordoba, tempat Ibn Hazm berpijak, terlepas dari tangan umat Islam tahun 478 H. Setelah itu, umat Islam semakin lemah di Andalusia, dan sampai pada titik krusialnya saat Kordoba itu sendiri jatuh pada tahun 633, sebelum sampai di penghujung ketak-berdayaannya dengan ambruknya Grenada.
Dalam pengembaraannya di bidang keilmuan, imam besar dalam Mazhab Dzahiri ini telah meninggalkan karya-karya penting. Ia disebut sebagai ulama paling produktif dalam melahirkan karya tulis setelah Imam Aṭ Ṭabariyy. Putranya, Abū Rāfi’ Al Faḍl, mengatakan bahwa karya ayahnya di bidang fikih, Hadis, ushul, sejarah, an niḥal wa al milal, adab, dan lain sebagainya mencapai kira-kira 400 mujallad yang menghabiskan hampir delapan puluh ribu lembar kertas.[4]
Salah satu karyanya yang mudah saya sentuh dan pahami adalah Al Muḥallā, lengkapnya “Al Muḥallā bi al Āṡār Syarḥ al Mujallā bi al Ikhtiṣār. Kitab ini sangat masyhur, bahkan dalam sejumlah kalangan Ibn Hazm sendiri lebih dikenal dengan karyanya ini. Karya ini sangat monumental sehingga ia sah disebut sebagai imam sekaligus penyebar Mazhab Zahiri paling populer. Selain pendapat-pendapatnya, kitab ini memuat kekayaan fikih karena menyitir berbagai pendapat tidak saja dari Mazahib Arba’ah akan tetapi juga pendapat-pendapat dari ulama-ulama salaf lainnya.
Ada sejumlah masalah di dalam Al Muḥallā yang dapat diajukan sebagai contoh kepribadian intelektual serta pemberontakannya.
Salah satunya adalah masalah salat wanita di masjid.
Saat mayoritas umat Islam menyampaikan bahwa wanita lebih baik salat di rumahnya daripada di masjid, ia dengan lantang mengatakan sebaliknya: wanita sebaiknya salat di masjid. Berita-berita tentang wanita yang ikut berjamaah salat di masjid pada era Nabi dan era Sahabat begitu terkenal sehingga mencapai derajat mutawatir. Aisyah meriwayatkan bahwa parempuan-perempuan ikut salat Subuh bersama Rasulullah Saw. Mereka pulang dengan menutupi kepala dan tubuhnya dengan semacam kain selimut, tak ada yang mengenalinya karena keadaan masih gelap[5]; Nabi menyampaikan bahwa beliau bermaksud memanjangkan bacaan salat, akan tetapi beliau mendengar tangisan anak sehingga mempercepat salatnya. Beliau khawatir ibunya terganggu[6]; Sahl bin Sa’d meriwayatkan bahwa sejumlah lelaki mengikatkan sarungnya pada leher saat salat bersama Rasulullah Saw. Seseorang mengatakan, “Wahai para perempuan, jangan angkat kepalamu sampai kaum lelaki telah mengangkat (kepalanya).”[7]
Menurut Ibn Hazm, Tak mungkin Rasulullah Saw. membiarkan kaum perempuan memperberat diri hadir di masjid jika itu semua justru mengurangi pahala salatnya. Rasulullah—sebagaimana dalam QS. At Taubah: 128—adalah seorang nabi yang merasa berat melihat penderitaan umatnya dan sangat menginginkan kebaikan untuknya. Beliau—sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Āsh—juga mengatakan, “Tidak ada satupun seorang nabi sebelum diriku, kecuali wajib bagi dia untuk menunjukkan umatnya terhadap yang baik tentang apa yang dia ketahui, dan memperingatkannya dari keburukan tentang apa yang dia ketahui.”[8]
Rasul Saw.—dengan predikat seperti itu—pasti melihat sesuatu yang positif perempuan menghadiri jamaah di masjid sehingga membiarkannya bersusah payah menghadirinya. Jika wanita dianggap fitnah bagi masyarakat, tentu mereka akan dilarang ke pasar dan jalanan. Akan tetapi, kenapa itu semua dipersilahkan dan hanya masjid saja yang menjadi objek larangan? Abu Hanifah bahkan memperbolehkan perempuan bepergian sendirian, dan melakukan perjalanan pada jarak dua hari setengah.[9]
Membaca Ibh Hazm tidak saja kita menemukan argumentasi-argumentasi, akan tetapi juga luapan emosi. Dahulu, ini adalah salah satu yang menjadikan tulisan-tulisannya tak digemari, akan tetapi sekarang yang demikian ini tampaknya justru bagian dari daya tariknya.
Pendapat Ibn Hazm ini sering hadir dalam benak diri saat melihat ibu-ibu pergi ke masjid, terutama saat di Makkah dan Madinah. Saya melihat beberapa ibu-ibu justru tampak lebih rajin ke masjid ketimbang bapak-bapak saat di sana. Membaca pendapat Ibn Hazm rasanya merasa terbantu secara spiritual. Rasanya tak tega, melihat ibu-ibu datang ke Makkah dan Madinah lalu dianjurkan untuk salat di kamar hotel.
Tentu harus disampaikan bahwa ke masjid tujuannya adalah untuk beribadah. Ibn Hazm sangat tegas mengenai etika ke masjid ini. Wallaahu a’lam.

[1] Muhammad bin Ḥamūd al Wā`iliyy, Buġyah al Muqtaṣid Syarh Bidāyah al Mujtahid li Ibn Rusyd al Ḥafīd, juz 3, hal. 1130—1131; al Imām An Nawawiyy, Al Majmū’ Syarh al Muhażżab, juz 4, hal. 168.
[2] Aż Żahabiyy, Siyar A’lām an Nubalā`, juz 18, hal. 199; Ṣalāḥ ad Dīn Khalīl Aṣ Ṣafadiyy, Al Wāfī bi al Wafiyyāt, juz 20, hal. 95.
[3] Aż Żahabiyy, Siyar A’lām an Nubalā`, juz 17, hal. 529.
[4] Al Wazīr Jamāl ad Dīn al Qifṭiyy, Ikhbār al Ulamā` bi Akhār al Ḥukamā`, hal. 156
[5] Al Bukhāriyy, Al Jāmi’ Aṣ Ṣaḥīḥ, juz 1, hal. 296; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, juz 1, hal. 446.
[6] Al Bukhāriyy, Al Jāmi’ Aṣ Ṣaḥīḥ, juz 1, hal. 250; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, juz 1, hal. 343.
[7] Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, juz 1, hal. 326.
[8] Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, juz 3, hal. 1472.
[9] Al Muḥallā, juz 3, hal. 519.
Keterangan foto:
Alhamdulillah hari ini mendapat kehormatan diajak podcast kawan-kawan dari Mathali’ul Falah Kajen, Devisi Media. Sepertinya ada suasana Ibn Hazm di sini .. he hee ..
Terimakasih Gus Ahmad Nadhif, Kang Ghufron, Kang Zaim, dan kawan-kawan yang lain.
Sumber: Facebook  Dr. KH.  Abdul Ghofur  MZ
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *