Oleh: Ni’amul Qohar
Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 246 yang berbunyi:
“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?” Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 246)
Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa nabi yang dimaksud dalam kisah ini adalah Samuel. Ada juga yang mengatakan Syam’un. Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa Samuel dan Syam’un ini adalah dua nama untuk seorang nabi.
Nabi Samuel memiliki jalur nasab sebagai berikit Samuel (Asmuel) bin Bali bin Alqamah bin Yarkham bin Alyahu bin Tahu bin Shauf bin Alqamah bin Mahits bin Ausha bin Azriya. Sedangkan menurut Mujahid nasab Samuel hanya Samuel bin Haflaqa.
Zaman dahulu terdapat cerita tentang rakyat Gaza dan Asqalan yang pernah mengalahkan Bani Israil, sehingga banyak sekali di antara mereka dibunuh, anak-anak ditawan, membuat kenabian dari keturunan Lawi sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa di antara mereka seorang wanita yang sedang mengandung. Si wanita tersebut selalu berdoa kepada Allah SWT agar diberikan anak lelaki. Allah SWT mengabulkan doanya, lalu terlahirlah anak lelaki yang diberi nama Samuel. Dalam bahasa Ibrani, arti Samuel adalah Ismail, yaitu Allah mendengar doaku.
Ketika sudah besar, sang ibu membawa Samuel ke sebuah masjid untuk diserahkan kepada salah seseorang sholeh yang berada di sana. Samuel dibawa ke sana guna mempelajari ilmu dan adab tata krama. Beliau tinggal bersama orang sholeh tersebut hingga dewasa. Pada suatu malam telah terjadi peristiwa aneh yang dialami oleh Samuel. Di tengah-tengah tidurnya beliau mendengar suara dari ujung masjid memanggil-memanggil namanya. Samuel ketakutan mendengar suara tersebut. Beliau terbangun dikira sang guru yang memanggilnya. Beliau memberanikan diri untuk bertanya “Apakah guru memanggil saya”, karena tidak mau membuat Samuel lebih ketakutan, sumber suara tersebut menjawab “Ya. Tidurlah!”. Samuel kembali tertidur.
 
Selang beberapa jam. Suara tersebut kembali memanggil Samuel sampai terjadi tiga kali panggilan. Tanpa diduga ternyata suara tersebut berasal dari malaikat Jibril, yang segera menghampiri Samuel seraya berkata, “Sungguh, Rabb-mu mengutusmu kepada kaummu.”
Setelah diangkatnya Samuel menjadi nabinya Bani Israil oleh Allah SWT. Terjadilah sebuah kisah yang sudah terekam dalam surah Al-Baqarah ayat 246 .
Waktu itu, Bani Israil kalah dalam sebuah peperangan dan daerahnya telah dikuasai oleh para musuh. Mereka memohon kepada Allah SWT melalui nabi Samuel agar ada seorang yang diangkat menjadi raja. Para Bani Israil akan senantiasa taat dan ikut berperang bersama sang raja dalam melawan para musuh. Nabi Samuel kemudian berkata kepada mereka ““Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?”. Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?.
Mereka menjawab perkataan nabi Samuel dengan redaksi seperti di atas itu, sebab terjadinya peperangan telah membuat mereka berpisah dengan anak-anak dan juga kehilangan kekuasaannya. Maka patut bagi mereka untuk berperang melawan musuh demi membela anak-anaknya yang kalah dan tertindas, sebagian ada juga yang ditawan.
Lalu Allah SWT berfirman, “Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.” Kelak ketika perang sudah dimulai dengan dipimpin oleh Raja Thalut, hanya sebagian kecil pasukan Bani Israil yang ikut menyebrangi sungai bersama raja. Selain itu ada juga yang melanggar aturan Raja Thalut perihal air di sungai. Hal ini yang membuat kebanyakan dari mereka kembali alias mundur sebelum berhadapan dengan musuh.
Allahu’alam.
 
Sumber referensi
Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Quraisyi ad-Dimasyqi, “Kisah Para Nabi”, Ummul Quro, 2015, Jakarta Timur




 
            



