/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Jaringan Dea Guru Syaikh Zainuddin Tepal as-Sumbawi

Oleh: Jeri Ardiansa 

Dea Guru Zainuddin adalah salah satu putra terbaik Sumbawa yang namanya gemilang di Haramain, keilmuan dan kealimannya diakui oleh ulama-ulama Makkah maupun ulama Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram. Syaikh Zaenuddin lahir di Tepal pada tahun 1227 H/ 1810 M.[1] Ia adalah putra Muhammad Badawi. Jika dilihat dari tahun lahirnya maka Syaikh Zainuddin lahir di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Kaharuddin II yang berkuasa pada tahun 1795-1816 M. Walaupun lahir di Desa Tepal yang jauh dari kota pemerintahan Sumbawa, tetapi ia memiliki pikiran yang maju, cita-cita yang tinggi, dan semangat yang membara.

Zainuddin adalah anak yang sangat cinta terhadap ilmu, terlebih-lebih ilmu agama, walaupun ia tinggal di kampung yang dikelilingi gunung yang menjulang tinggi, tetapi masyarakat Tepal memiliki peradaban yang gemilang, sehingga masyarakat Tepal menjadi insan yang religius. Zainuddin bercita-cita memiliki ilmu agama yang luas, sehingga dirinya memiliki semangat yang mengebuh-gebuh dan semangat tersebut melahirkan mahabbah terhadap ilmu. Ia adalah sosok anak kecil yang memiliki infrastruktur batin yang kokoh dan kuat walaupun hidup di desa yang infrastrukturnya jauh dari kata bagus.

Zainuddin hanya berbekal batin yang kokoh dan mahabbah terhadap ilmu sehingga ia mampu mewujudkan cita-citanya untuk belajar agama Islam di Makkah. Kota tempat dilahirkan Nabi Muhammad SAW, dan tempat seluruh umat Islam berkumpul melaksanakan ibadah haji. Kekuatan batin adalah modal yang sangat berharga untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyatan. Infrastruktur batin inilah yang diwariskan oleh Syaikh Zainuddin kepada Tau Tepal, sehingga banyak generasi Tepal yang hari ini menuntut ilmu di berbagai kota di Indonesia. Mereka belum merasakan infrastaruktur jalan yang bagus, tetapi karena semangat dan mahabbahnya terhadap ilmu agama dan ilmu pengetahuan, mereka mampu menaklukkan infrastruktur jalan yang rusak, bebatuan, terjal, berlumpur dan licin jika musim hujan.

Di Makkah Syaikh Zaenuddin bertemu dan bersilaturrahmi dengan ulama-ulama Nusantara yang memiliki niat yang sama untuk meneguk manisnya ilmu para masyaikh yang mengelar khalaqah di Masjidil Haram. Ia membangun jaringan dengan ulama-ulama Nusantara lainnya yang datang dari berbagai daerah di Nusantara. Santri Jawi yang menuntut ilmu di Makkah tinggal kampung Jawi, seperti di Syamiah, Syi’ib Ali, al-Falaq, Jabal Qubais, dan kampung Syaqul Lail.[2] Memasuki paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu ke tanah sucih.[3] Hal tersebut dikarenakan meningkatnya kekayaan masyarakat Nusantara, sehingga mereka banyak mengirimkan putra-putranya untuk belajar ke Timur Tengah.[4] Selain itu dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 M, maka Hijaz dikunjungi banyak jamaah haji asal Nusantara, ada yang menunaikan ibadah haji dan ada yang hanya menuntut ilmu, tercatat 2. 600 jamaah haji pada tahun 1870-an dan jumlah tersebut meningkat menjadi 4.600 pada tahun 1880-an.[5]

Syaikh Zainuddin adalah bagian dari thalabah Nusantara yang belajar di Makkah. Thalabah Sumbawa memiliki maktab atau tempat tinggal di Makkah, menurut H. Hasanuddin yang diceritakan kepada penulis bahwa terdapat 4 maktab yang dibangun oleh Sultan Amrullah dari hasil penjualan kayu Sepang yang melimpah, pajak pengiriman hewan ternak, sarang burung, dan kayu gaharu ke luar daerah. Maktab tersebut terletak di depan Masjidil Haram, kemudian maktab tersebut dipindahkan ke Pasar Seng. Sekarang maktab tersebut sudah dibangun oleh pemerintah Makkah di Jumaesah.[6]

Zainuddin menghadiri halaqah di Masjidil Haram yang digelar oleh para guru dan membangun jaringan dengan teman seperguruannya. Syaikh Zainuddin berguru kepada Syaikh Abdul Hamid ad-Dagistani, Syaikh Abdul Karim Sambas,[7] dan menghadiri halaqah Syaikh Nawawi al-Bantani, adapun teman seperguruan Syaikh Zainuddin yang belajar kepada Syaikh Nawawi al-Bantani adalah Syaikh Abdul Gani al-Bimawi (Bima-Nusa Tenggara Barat), Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Minangkabau), Syaikh Abdul Karim al-Bantani (Banten), Syaikh Mahfudz al-Turmuzi (Termas-Jawa Timur), Syaikh As’ary al-Baweani (Bawean-Jawa Timur), Syaikh Abdul Karim al-Sambasi (Sambas-Kalimantan), Syaikh Jum’an bin Ma’mun al-Tagerani (Tanggerang-Jawa Barat), Kiai Hasyim As’ari , Kiai Ahmad Dahlan, Syaikh Abdul Hamid al-Kudsi, Kiai Wasith al-Bantani, Kiai Arsyad Thawil al-Bantani, Kiai Shaleh Darat as-Samarangi, Syaikh Kholil Bangkalan, dan Kiai Umar bin Harun Rembang dll.[8]

Beli Buku

Selain berjejaring dengan sahabat seperguruannya, Syaikh Zainuddin adalah salah satu ulama Nusantara yang diizinkan mengelar khalaqah di Masjidil Haram oleh pemerintah Makkah. Melalui hubungan guru dengan murid inilah syaikh Zainuddin memiliki banyak jaringan, adapun murid beliau dari Nusantara, yaitu Syaikh Mukhtar bin Atharid al-Bogori, Syaikh Muhammad Azhari al-Falimbani, KH. Kholil Bangkalan, Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani, Syaikh Usman Abdul Wahab As-Sarawaki, Syaikh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, TGH. Sholeh Hambali Bengkel, TGH. Umar Kelayu, Syaikh Abdul Hamid Al-Kudsi, Syaikh Muhammad Mahfudz Bin Abdullah at-Termazi, Syaikh Muhammad Hasan bin Mustafa al-Garuti.[9] Abdul Hamid al-Qudsi, Syaikh Ahmad bin Muhammad Zaini al-Fathani, Syaikh Hasan Surabaya, Syaikh Abdul Aziz Lekol Bangil.

Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’ari yang merupakan jaringan Dea Guru Zainuddin karena teman seperguruannya. Ia berdakwah dengan mendirikan organisasi. KH. Hasyim As’ari dan ulama yang berpaham ahlussunah waljamaah mendirikan jamiyyah Nahdlatuh Ulama pada tanggal 31 Januari 1926.[10] Menurut Prof Said Aqil Siroj kelahiran Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari niat mengumpulkan dan menyatukan para ulama melawan penjajahan.[11] Penjajah datang ke Indonesia membawa misi 3 G (glod, glory, dan gospel). Tetapi para Ulama dan Santri berjuang melawan para penjajah melalui jihad fi sabilillah yang dikenal dengan Resolusi jihad yang dideklarasikan pada 22 Oktober 1945 oleh KH. Hasyim Asy’ari atas nama PBNU.

Terdapat tiga poin penting dalam Resolusi Jihat. Pertama, setiap Muslim wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah-belah persatuan nasional sehingga harus dihukum mati. Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat Radio, sehingga warga Surabaya dan masyarakat Jawa terbakar semangatnya untuk berjihad. Perang tersebut menewaskan Jenderal Mallaby. [12]

Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani (w. 1410 H/1990 M) salah satu murid Syaikh Zainuddin yang tidak kembali ke Nusantara walaupun Syaikh Yasin putra Fadang, Sumatra Barat. Ia lebih memilih berdakwah di Haramain, mengkader ulama-ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Haramain yang nantinya akan berdakwah di Nusantara. Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani adalah musnid dunya. Dalam kitab al-Fawaidu al-Janiyyah menjelaskan bahwa Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani pernah menerima ijazah sanad keilmuan dari ulama laki-laki maupun ulama perempuan sebanyak 700 ulama dari berbagai dunia.[13] Ia juga mengajar di Masjidil Haram, membuka pengajian di rumahnya dan menjadi rektor Dar al-Ulum setelah rektor sebelumnya Syaikh Abdul Muhaimin al-Lasemi wafat.

Adapun murid Syaikh Zainuddin yang sewilayah (Nusa Tenggara Barat) dengannya, yaitu TGH. Umar Kelayu bin TGH. Ratana bin TGH. Nurul Huda (w. 1349 H/1930 M) berdakwah di Lombok dan melahirkan banyak Tuan Guru di Pulau Seribu Masjid, seperti TGH. Rais Sekarbela, TGH. Muhammad Saleh (Tuan Guru Lopan), TGH. Muhammad Sidik Karak Kelok Mataram, TGH. Abdul Hamid Pejeruk Kota Mataram, TGH. Soleh Hambali Bengkel dll.[14] Ia Tidak hanya melahirkan Tuan Guru, tetapi TGH Umar Kelayu merupakan Ulama Lombok yang produktif melahirkan sebuah karya. Menurut Ali Fadli naskah Manzarul Amrad fi Bayani Qith’atin Minal I’ iqad karya TGH. Umar Kelayu menjadi salah satu rujukan primer yang di kaji di pondok pesantren Darul Qur’an Bengkel pada pertengahan abad ke-20.[15]

 

 

Sumber Rujukan

Beli Buku

[1] Nurdin Ranggabarani, Dea Guru Syaikh Zaenuddin Tepal as-Sumbawi: Mahaguru Ulama Nusantara, (Sumbawa Besar: Yayasan Sumbawa Bangkit, 2017), h. 27.

[2] Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani: Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta: Global Press, 2020). h. 42.

[3] Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad Jejaring Ulama-Santri 1830-1945, (Ciputat Baru: Pustaka Compas, 2016), h. 263.

[4] Ibid, h. 264.

[5] Amirul Ulum, Syaikh Nawawi al-Bantani: Penghulu Ulama di Hijaz, (Yogyakarta: Global Press, 2022). h. 70.

[6] Wawancara dengan H. Hasanuddin pada tanggal 10, Agustus, 20202.

[7] Maulana La Eda, 100 Ulama Nusantara di Tanah Sucih, (Solo: Aqwam, 2020). h. 197.

[8] Amirul Ulum, al-Jawi al-Maki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, (Yogyakarta: Global Press, 2019). h. 59.

Beli Buku

[9] Nurdin Ranggabarani, Dea Guru Syaikh Zainuddin Tepal as-Sumbawi: Maha Guru Ulama Nusantara, (Sumbawa Besar: Yayasan Sumbawa Bangkit). h. 88.

[10]  Ahmad Ja’farul Musadad, KH. Achmad Siddiq: Perumus Pondasi Hubungan Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Global Press, 2020). h. 54.

[11] Abdullah Ubaid & Muhammad Bakir, Nasionalisme Islam Nusantara, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2017). h. 8.

[12] Ibid. h. 9.

[13] Amirul Ulum, Musnid Dunya: Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani: Sang Musnid Dunya dari Nusantara: (Yogyakarta: Global Press, 2021). h. 55.

[14] Adi Fadli, Pemikiran Tauhid TGH. Umar Kelayu Dalam Kitab Manzarulamrad Fi Bayani Qith’atin Minal I’tiqad, Jurnal Refleksi . Vol. 15, No 1. (Januari: 2015). h. 72.

[15] Ibid, h. 70.

Beli Buku
Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *