/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Ḥaraman dan Jam’an

Oleh : KH. Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen

Salah satu budaya di Mesir adalah saat selesai salat mereka mengucapkan “ḥaraman” sambil berjabat tangan kepada mushalli lain, baik di kanan maupun di kiri. Yang diajak berjabat tangan lazimnya akan menimpali dengan mengucapkan “jam’an”. Kalimat ini lazimnya diucapkan usai salam, namun juga bisa disampaikan saat berdiri hendak keluar masjid atau bahkan setelah di luar masjid. Dua kalimat ini adalah doa, “ḥaraman” artinya ‘semoga bisa malaksanakan salat di Masjid al Haram’; dan “jam’an” artinya sama-sama, yakni ‘semoga anda juga bisa melaksanakannya di sana’, atau artinya adalah ‘semoga kita bisa salat di sana bersama-sama’.

Karena kami—saya dan istri—lama tinggal di Mesir, kami jadi ikut-ikutan. Kalau kebetulan kami sekeluarga menjalankan salat berjamaah, masing-masing kami mengucapkan doa dan jawaban itu, sambil saling berjabat tangan. Senang sekali dengan doa ini, dan sejatinya kami punya cita-cita untuk bisa sampai ke sana bersama-sama. Anak-anak pernah bertanya mengenai doa-doa ini, dan kami jawab bahwa makna doa itu adalah ‘semoga bisa ke sana bareng-bareng.’
Apakah doa-doa ini dahulu diucapkan oleh Rasulullah Saw.? Tidak ada riwayat yang menyatakan itu, sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa itu tidak pernah dilakukan oleh beliau. Hal yang menguatkan kesimpulan ini adalah keberadaannya yang hanya di Mesir dan Syam. Mungkin ada satu atau dua negara lain yang juga memiliki budaya ini.
Ini yang mendasari sebagian ulama untuk berpendapat bahwa doa-doa itu adalah bid’ah, sama bid’ahnya dengan berjabat-tangan yang dilakukan usai salat itu sendiri. Para ulama ini marak menukil pernyataan Ibn Taimiyyah, “Berjabat tangan usai menjalankan salat bukan lah kesunnahan, bahkan itu adalah bid’ah.”[1] Alasan lain untuk mengingkarinya adalah bahwa jika itu dilakukan terus menerus maka akan menimbulkan pemahaman bahwa itu bagian dari sunnah salat.
Sementara mayoritas ulama memiliki cara pandang yang bereda, lebih longgar dan tampak mampu melihat persoalan dengan lebih jernih.
Pertama, budaya tersebut sejatinya adalah doa-doa yang dipanjatkan oleh seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim. Saya kira, semua ulama sepakat bahwa mendoakan sesama muslim merupakan perilaku terpuji. Abu Bakr ra. mengatakan, “Sesungguhnya doa seseorang (muslim) kepada saudara seagamanya adalah diijaabahi.”[2] Diriwayatkan juga, bahwa sebagian orang-orang salaf jika ingin berdoa menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka ia terlebih dahulu berdoa untuk saudaranya sesama muslim mendapatkan sesuatu tersebut. Demikian ini agar malaikat mendoakan kepada dirinya mendapatkan itu.[3]
Kedua, salah satu aspek yang patut diperhatikan dalam berdoa adalah soal waktu, tempat dan situasi. Berbagai riwayat menjelaskan sejumlah doa yang mastajab berkenaan dengan hal-hal tersebut, seperti saat mendapatkan lailalul qadar, saat minum air zamzam, dan saat berada di samping orang sakit. Berkenaan dengan pembahasan kita (doa “ḥaraman” dan “jam’an” setelah salat), Abū Umāmah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. ditanya, “Wahai Rasulullah, doa apa yang paling didengar?” Beliau menjawab, “(Doa) di tengah malam terakhir dan (doa) di belakang (dubur-a) salat-salat maktubah.”[4]
Ada dua pendapat mengenai doa di belakang salat-salat maktubah, pertama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah setelah tasyahhud sebelum salam. Kedua mengatakan, yang dimaksud adalah setelah salam. Ibn Ḥajar al ‘Asqalāniyy memilih pendapat yang kedua. Ia berargumentasi, bahwa telah ada perintah untuk zikir di belakang salat maktubah, dan disepakati bahwa yang dimaksud adalah setelah salam.[5] Maka, di sini juga demikian selama tidak ada alasan yang patut dipertimbangkan.[6]

Berdasarkan ini, doa “ḥaraman” dan “jam’an” menjadi semakin kuat karena biasanya diucapkan setelah salat.

Ketiga: mendoakan adalah salah satu cara untuk membahagiakan orang lain, dan ini juga perilaku mulia yang tak perlu diperdebatkan. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw., “Siapa yang bertemu dengan saudaranya sesama muslim (disertai) dengan (sikap) yang disukainya dengan maksud untuk membahagiakannya, maka Allah SWT. akan membahagiakan dia kelak di hari kiamat.”[7] Hadis yang lebih masyhur dan sahih adalah riwayat Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Saw, “Manusia paling dicintai oleh Allah Swt. adalah yang paling bermanfaat di antara mereka, dan amal yang paling dicintai oleh Allah Swt. adalah kebahagiaan yang kamu masukkan ke dalam diri orang Islam.”[8]

Keempat: Kebiasaan saling mendoakan dilakukan oleh umat Islam tidak saja usai menjalankan salat, akan tetapi juga usai ibadah-ibadah yang lain. Orang yang usai menjalankan haji, misalnya, biasanya teman-temannya akan mengunjunginya sambil mendoakan, “Semoga haji yang mabrur” atau “Semoga semua amal ibadahnya diterima.” Begitu juga setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, umat Islam saling mendoakan saat bertemu, “Semoga Allah menerima puasa dan semua amal ibadah kita.” Bahkan dalam salat, sebagian umat Islam jika ditanya apakah sudah salat, ia akan menjawab, “Sudah, yang tersisa hanyalah harapan agar diterima oleh Allah.”
Doa “haraman” dan “jam’an” tidak lain adalah bagian dari kebiasaan-kebiasaan yang baik ini. Tidak ada maksud sama sekali mengatakan bahwa doa dan berjabat tangan ini adalah bagian dari sunnah Rasul Saw. yang dulu dilaksanakannya, sama dengan doa-doa usai ibadah yang lain di atas. Umat Islam, siapapun dia, hampir pasti merindukan salat di Haram Makkah dan di Haram Madinah, terutama jika bisa menjalankannya bersama keluarga. Bahkan tidak salah jika disampaikan bahwa keinginan itu sendiri, yang diungkapkan melalui doa “ḥaraman” dan “jam’an”, sejatinya menunjukkan betapa di hati mereka tersimpan kerindauan dan keimanan yang tulus, hal yang tentu saja sangat mulia.
Namun begitu, tetap harus disampaikan bahwa memang ada dua pendapat mengenai hal ini. Siapapun berhak mengikuti pendapat yang menurutnya sesuai. Kebersamaan umat Islam harus menjadi prioritas bersama.
Semoga kita semua bisa salat di Haram Makkah dan di Haram Madinah, juga bisa sowan kepada Baginda Rasul Saw. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin ..
Kembang Sawit, Madiun, 11 Syawal 1445 ( 20 April 2024)
Keterangan foto:

Saat ziarah di Sunan Bayat Klaten Jawa Tengah.

[1] Ibn Taimiyyah, Majmū’ al Fatāwā, jilid 23, hal. 339:

و‌‌سئل عن المصافحة عقيب الصلاة: هل هي سنة أم لا؟ فأجاب: الحمد لله، المصافحة ‌عقيب ‌الصلاة ‌ليست مسنونة بل هي بدعة، والله أعلم.

[2] Aḥmad bin Ḥanbal, Al Zuhd, hal. 92; Al Bukhāriyy, Al Adab al Mufrad, hal. 218.

عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ، وَهُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي الصُّنَابِحِيّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ يَقُولُ: « إِنَّ دُعَاءَ الْأَخِ لِأَخِيهِ فِي اللَّهِ عز وجل ‌يُسْتَجَابُ. »

[3] Syaraf al Dīn Al Ṭībiyy, Al Kāsyif ‘an Ḥaqāiq al Sunan, jilid 5, hal. 1707; Al Mulā ‘Aliyy Al Qārī, Mirqāt al Mafātīḥ Syarḥ Misykāt al Maṣābīḥ, jilid 4, hal. 1516.

[4] Al Turmużiy, Sunan al Turmużiyy, jilid 5, hal. 526.

Beli Buku

[5] Yang dimaksud adalah Hadis mengenai keistimewaan orang-orang kaya yang baik (żahaba ahl al duṡūr) di mana dalam Hadis ini disebutkan, “tusabbiḥūn dubur kulli ṣalāt”, dan dipastikan bahwa yang dimaksud adalah setelah salam. Lihat: Ibn Ḥajar al ‘Asqalāniyy, Fatḥ al Bāriyy, jilid 2, hal. 335

Hadis berikut ini juga bisa diajukan sebagai tambahan argumentasi: Abu Harairah meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw., beliau mengatakan, “Siapa yang membaca tasbih kepada Gusti Allah di belakang (fī dubur) salat 33 kali, membaca tahmid kepada Gustu Allah 33 kali, dan membaca takbir kepada Allah 33 kali, itu jumlahnya 99 kali, lalu mengucapkan sebagai kesempurnaan seratus: “Lā ilāh-a illa Allāh waḥdah-u lā syarīk-a lah, lah-u al mulk wa lah-u al ḥamd-u wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr”, maka akan diampuni kesalahan-kesalahannya meski seperti buih lautan.” HR. Al Imām Muslim, jilid 1, hal. 418.

[6] Ibn Ḥajar al ‘Asqalāniyy, Fatḥ al Bāriyy, jilid 11, hal. 133 dan jilid 2, hal. 335.

[7] Al Ṭabarāniyy, Al Mu’jam Al Ṣaġīr, jilid 2, hal. 288; Al Dūlabiyy, Al Asmā` wa al Kunā, jilid 2, hal. 493. Sejumlah pakar menyebutnya sebagai Hadi dhaif.

[8] Al Ṭabarāniyy, Al Mu’jam al Kabīr, jilid 12, hal. 453.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *