Oleh: Rifki Yusak
Pada tulisan kali ini, saya akan sedikit merangkum pesan KH. M. Zainal Arifin Ma’shum (Selanjutnya saya tulis dengan Abah) Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Huda Karanggawang Sidorejo Sayung Demak, kepada para santrinya. Adapun ringkasan 3 pesan tersebut sebagai berikut.
Santri Harus Riyadhah dan Belajar
Dalam memotivasi para santrinya Abah seringkali dawuh, “Santri Iku Kudu Wani Tirakat, Riyadhah yo Kudu Sinau“. Secara harfiah pesan Abah berarti seorang santri itu harus berani beriyadhah yaitu menunduk kan hawa nafsu, agar tatkala proses pencarian ilmu seorang santri dapat lebih mudah meraihnya serta menuai keberkahan ilmunya. Sebab ilmu adalah nur atau cahaya Allah yang diberikan kepada seseorang yang bersih hatinya dari perangai hawa nafsu. Oleh karena itu, pesan Abah, seyogyanya seorang santri harus menunduk kan hawa nafsunya dengan media Riyadhah seperti memperbanyak dzikir, puasa dan lain sebagainya agar ia lebih tenang hatinya tanpa dikuasai oleh hawa nafsu.
Imam Al-Ghazali pernah berpesan: Wahai manusia, ketahuilah sesungguhnya nafsu yang selalu memerintah kepada kejahatan (nafsu amarah) adalah lebih jahat dan lebih gencar memusuhi mu daripada iblis. Setan lebih kuat menguasaimu karena mendapat pertolongan hawa nafsu dengan segala kesenangannya. Oleh karena itu jangan sampai nafsu menipumu dengan angan-angan kosong serta berbagai tibu daya. Karena diantara ciri khas nafsu merasa aman, lengah, santai, lambat dan malas”.
Maka dari itulah Abah sering menghimbau agar para santri-santrinya beriyadhah, berpuasa, memperbanyak dzikir dan tazkiyatun nafs tanpa meninggalkan wadifah yang ia punya.

Selain itu Abah juga berpesan agar para santrinya rajin dan tekun dalam belajar. Sebab pesan Abah, “Al-ilmu bittallum” mendapat ilmu itu harus dengan belajar. Karena tidak ada seseorang yang dilahirkan dalam kondisi pintar. Andaikan ada seseorang tanpa belajar menginginkan pintar maka ia harus menunggu burung gagak ber uban, atau istilah Abah, “ngenteni beling bosok” atau “ngenteni manuk gagak wanen” dalam tanda kutip mustahil seseorang tanpa belajar ia bisa pintar dan mendapati ilmu. Walaupun ada istilah mendapat ilmu laduni, tetapi ilmu tersebut sangat sedikit dan orang-orang tertentu saja yang mendapatkan nya.
Dari pesan Abah, “Santri Iku Kudu Wani Tirakat, Riyadhah yo Kudu Sinau”, adalah hasil kombinasi dari dawuh ayah beliau dan guru besar beliau yaitu KH. Ma’shum Mahfudhi dan KH. Abdullah Rifa’i. Yang mana Abahnya, KH. Ma’shum Mahfudhi pernah berpesan, “Santri Iku Kudu Wani Tirakat, Kudu Wani Riyadhah, Kudu Wani Topo”, sedangkan KH. Abdullah Rifa’i, pernah berpesan, “Santri Iku Kudu Sinau”. Kemudian dengan bijaksana nya Abah, beliau mengombinasikan dua dawuh itu menjadi pesan indah yang sering beliau sampaikan kepada para santri-santrinya. Waaallahu a’lam.
Jangan sombong ketika belajar
Pada kesempatan khataman kitab Alfiyyah ibn Malik kelas tiga al wustha tahun 2018 M. Abah berpesan kepada para santri agar ketika belajar, ketika masa mondok jangan merasa bisa. Jangan menjadi santri yang sombong. Karena ilmu itu tidak mau bersama seseorang yang hatinya ada rasa sombong. Ilmu laksana air yang mencari tempat rendah. Waktu itu Abah menyatir salah satu bait Syair:
العلم حرب للفتي المتعالي
كالسيل حرب للمكان العالي
“Ilmu itu akan lari dari pemuda yang sombong laksana air yang mengalir dari tempat yang tinggi”.

Kemudian, Abah juga menambahkan bahwa ilmu akan memusuhi seseorang santri yang sombong. Oleh karenanya seyogyanya santri agar senantiasa mempunyai rasa tawadhu.
Sikap tawadhu adalah sikap tengah antara angkuh dan hina. Hal ini sebagaimana penuturan Syaikh Burhanuddin Azzarnuji :
والتواضع بين التكبر والمذلة
“Tawadhu adalah sikap tengah antara angkuh dan hina”.
Perihal rasa tawadhu, pada suatu ketika Yunus bin Ubaid, Ayyub as Sakhtiani dan Hasan al Basri membicarakan tentang tawadhu. Hasan al Basri berkata : Tahukah kalian tentang tawadhu ?., Tawadhu adalah apabila kalian keluar rumah, kemudian di jalan bertemu dengan sesama muslim, lalu merasa dia mempunyai kelebihan dibandingkan dirimu sendiri. Dengan mempunyai rasa tawadhu seorang santri akan lebih mudah mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah. Waaallahu a’lam.
Menghormati Kitab
Pada setiap pembacaan tatib setiap cawunya, baik itu cawu pertama maupun kedua, Abah seringkali berpesan dan mengingat para santri agar senantiasa mempunyai rasa ta’dzim dan menghormati ilmu serta ahlinya, yaitu para ulama, kiai dan para guru. Pesan Abah itu senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Azzarnuji dalam kitabnya, Ta’limul Muta’llim :

اعلم ان طالب العلم لا ينال العلم ولاينتفع به ولا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
“Ketahui, bahwa seorang santri tidak akan mendapatkan ilmu dan tidak juga memetik kemanfaatan ilmu selain dengan menghargai ilmu dan menghormati ahli ilmu, menghormati guru dan memuliakannya.”
Kemudian salah satu wujud memuliakan ilmu adalah memuliakan kitab, sebab kitab adalah salah satu sumber ilmu dan hikmah. Oleh karena itu Abah sering berpesan kepada para santrinya agar ketika mengambil dan membawa kitab dalam kondisi suci. Syaikh Syamsul Aimmah Al Hulwani berkata, “Sesungguhnya saya berhasil mendapatkan ilmu ini adalah dengan penghormatan, karena saya tidak pernah menyentuh kitab (buku belajar) selain dalam keadaan suci”.
Kemudian ada Syaikh Syamsul Aimmah As Sarkhasi, beliau pernah sakit perut pada suatu malam, sedangkan malam itu beliau sedang belajar dengan serius. Demi menghormati ilmu, beliau rela wudhu berulang-ulang sebanyak 17 kali. Sebab beliau tidak pernah belajar kecuali dalam kondisi suci.
Kenapa kita harus suci ketika belajar dan membawa kitab, sebab ilmu adalah nur (cahaya) dan wudhu adalah nur (cahaya), maka jika keduanya digabungkan akan menjadi semakin cemerlang. Kemudian, diantara penghormatan kepada kitab adalah tidak boleh menjulurkan kaki ke arah kitab, hendaklah meletakkan kitab tafsir di atas kitab yang lain dengan niat memuliakannya, dan tidak meletakkan barang apapun di atas kitab, tidak boleh mencoret-coret kitab dll. Waaallahu a’lam.
