/>
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!
Beli Buku

Biografi KH. M.A Sahal Mahfudh Sang Mujtahid Tatbiqi

Oleh: Taufiqur Rohman

Potret keluarga dan masa kecil Kiai Sahal Mahfudh

KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh atau yang biasa dipanggil Kiai Sahal merupakan salah satu ulama yang berasal dari Pati, Jawa Tengah. Dilahirkan di Pati pada tanggal 16 Februari tahun 1933 M dari pasangan KH. Mahfudh Salam (1899-1944) dengan Nyai Hj. Badi’ah (w. 1945). Beliau anak nomer tiga dari enam bersaudara. Rumah ayahnya menyatu dengan pondok pesantren di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Kiai Mahfudh Salam dan Nyai Badi’ah masih memiliki hubungan keluarga yang jika di runut nasabnya bersambung dengan KH. Ahmad Mutamakkin (Mbah Mutamakkin). Mbah Mutamakkin merupakan seorang ulama yang faqih, guru besar umat Islam sekaligus Waliyullah (saint). Silsilah yang dipercaya oleh masyarakat bahwa beliau masih keturunan bangsawan Jawa. Menurut beberapa catatan dan sejarah lokal, Mbah Mutamakkin dari garis Ayahnya adalah keturunan Raden Patah (Raja Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sedangkan dari garis Ibu, beliau keturunan Sayyid Aly Bajegung Tuban, Jawa Timur yang mempunyai cucu perempuan dan Raden Tanu (ibunda Kiai Mutamakkin). Dipercayai bahwa Mbah Mutamakkin adalah keturunan Raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan Raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI.

Garis nasab Kiai Sahal dengan Mbah Mutamakkin berasal dari Kiai Muhammad Hendro yang lebih di kenal dengan Mbah Hendro (makamnya terletak di Desa Gambiran Pati) merupakan putra Mbah Mutamakkin. Mbah Hendro mempunyai putra bernama K. Bunyamin. K. Bunyamin mempunyai putra K. Ismail yang kemudian berputra K. Abdullah dan KH. Nuh. KH. Abdullah sendiri mempunyai putra yang bernama KH. Abdussalam. Dari KH. Abdussalam salah satu keturunannya ada yang bernama KH. Mahfudh (ayah KH. Sahal Mahfudh)[1].

Menurut Soebardi, Mbah Mutamakkin disejajarkan kedudukannya dengan Sunan Panggung, Syaikh Siti Jenar, Syaik Among Raga dan sebagainya, beliau hidup di abad ke-18 pada masa kerajaan Mataram yaitu masa pemerintahan Amangkurat IV sampai dengan pemerintahan Pakubuwono II[2].

Menurut Bibit Suprapto, garis keturunan Kiai Sahal ke atas tergolong baik, dari tokoh-tokoh ulama’ maupun pemerintahan yaitu keturunan Syaikh Ahmad Mutamakkin, ulama sufi terkenal pada abad ke-18 yang sangat berpengaruh dan ditakuti oleh penguasa Mataram dan Pemerintah Hindia Belanda. Ulama’ ini dikenal dengan sebutan ulama’ Cibolek sebuah nama yang diambil dari kitab (serat) tulisannya yang berjudul Serat Cibolek. Di samping itu Kiai Sahal tercatat sebagai keturunan Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijoyo (Sultan Pajang, menantu Sultan Trenggono Demak), melalui jalur Pangeran Sambo.[3]

Beli Buku

Kajen, bagi Kiai Sahal kecil adalah desa tempat dimana dia mempelajarai ilmu-ilmu dasar bagi segala ilmu pengetahuannya. Sebelum beliau mengembara mencari berbagai ilmu agama, Kiai Sahal kecil sudah belajar beberapa ilmu umum seperti filsafat, Bahasa Inggris, Administrasi, Psikologi dan Tata Negara melalui kursus kepada KH. Amin Fauzan. Sedangkan di bawah bimbingan ayahnya, beliau belajar mengkaji (membaca) Al-Qur’an, hal yang sudah lazim sebagaimana anak-anak kecil lainnya yang hidup di lingkungan keluarga agamis. Dari ayahnya juga beliau belajar bahasa Arab secara aplikatif. Tetapi tidak lama dia belajar pada ayahnya karena ayahnya lebih dulu meninggal di penjara militer di Ambarawa, ketika itu Kiai Sahal baru berumur tujuh tahun dan masih duduk di Madrasah Mathali’ul Falah Kajen tepatnya pada malam sabtu tanggal 4 Robi’ul Awal tahun 1364 H/1944 M, setahun kemudian ketika Sahal berusia delapan tahun ibunya Nyai Badi’ah meninggal dunia.[4]

Pada tahun 1949, kakak Kiai Sahal bernama Muhammad Hasyim juga meninggal waktu melawan agresi militer Belanda II di Sukolilo Pati. Maka Kiai Sahal adalah satu-satunya anak laki-laki yang masih hidup di antara empat saudara perempuannya, sebagai anak laki-laki sesuai tradisi pesantren di harapkan dapat mengembangkan Pondok Pesantren Maslakul Huda yang didirikan ayahnya KH. Mahfudh Salam pada tahun 1910 dan Perguruan Islam Mathali’ul Falah yag didirikan oleh kakeknya KH. Abdussalam dan KH. Nawawi pada tahun 1912.[5]

Latar belakang sejarah kehidupan Kiai Sahal kecil yang pahit inilah, kelak akan membentuk pribadinya menjadi kuat dalam pendirian dan tidak mudah tergiur oleh rayuan politk tertentu untuk kepentingan pribadi, meskipun masuk dalam lingkaran kekuasaan ditambah realitas desa Kajen tempat tinggalnya yang tergolong lemah secara ekonomi, semakin membentuk karakter pribadinya yang tangguh.

Kehidupan Intelektual Kiai Sahal Mahfudh

Menurut Tutik Nurul Jannah, ada tiga hal penting yang sangat berpengaruh dalam kehidupan intelektual Kiai Sahal melalui sistem pembelajaran ayahnya, (1) Kiai Mahfudh selalu membangun pola komunikasi dan relasi dengan pemerintahan Belanda, serta memberikan penegasan tentang bagaimana seharusnya ulama berkomunikasi dengan dunia luar, terutama pemerintah. Ulama dan pesantren tidak harus menghamba kepada pemerintah, tetapi saling memberi kebaikan jika terjadi kerjasama keduanya. (2) Selalu membuka diri (open mind) terhadap segala sumber pengetahuan dan menjalin komunikasi dengan dunia luar pesantren terutama realitas sosial. (3) Sikap tegas Kiai Mahfudh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat.[6]

Selain belajar kepada ayahnya sendiri Kiai Sahal juga banyak belajar kepada KH. Muhammadun, KH. Ahmad Rifa’i Nasuha dan Kiai Kajen lainNYA di Madrasah Mathali’ul Falah dan terutama yang paling banyak, beliau belajar dari KH. Abdullah Salam (Mbah Dullah) pamannya. Dari guru-gurunya di Mathali’ul Falah, Kiai Sahal mempelajari ilmu alat (nahwu sharaf) sebagai ilmu dasar membaca kitab-kitab kuning, mantiq dan balaghah, fiqh dan ushûl fiqh.[7]

Setelah menamatkan belajarnya di Mathali’ul Falah pada tahun 1953, Sahal sebagaimana lazimnya putra Kiai adalah melanjutkan pendidikannya di pesantren lain di luar daerahnya, saat itu pesantren Bendo Pare Kediri menjadi pilihannya. Dia belajar selama empat tahun sejak 1954-1957. Di pesantren tersebut Kiai Sahal lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu tasawwuf di bawah bimbingan gurunya KH. Muhadjir, Di antara kajian-kajian yang pernah dienyamnya sampai khatam antara lain karya Al-Ghazali yaitu Ihya Ulum Al-din. Dari KH. Muhadjir pula Kiai Sahal mendapatkan pelajaran yang amat berharga yaitu nilai-nilai tawadlu’ yang jauh dari kesombongan. Dalam sebuah wawancara Kiai Sahal menggambarkan ke-tawadluan KH. Muhadjir dengan salah satu perilakunya bahwa K. Muhadjir tidak pernah berbicara, membahas suatu masalah apapun atau menjawab sebuah pertanyaan, kecuali dia selalu membuka kitab, bahkan terhadap masalah yang paling remeh-temeh sekalipun semisal masalah wudlu yang bagi santri pemula pun sudah dihapal. Watak ini juga yang diwarisi Kiai Sahal.

Setelah empat tahun di Bendo (mulai 1954-1957),[8] pada tanggal 9 Juni 1957 M atau Dzulqo’dah 1376 H Kiai Sahal melanjutkan belajarnya di Sarang Rembang selama empat tahun (mulai 1957-1960).[9] Kiai Sahal banyak mempelajari ilmu fiqh dan ushulnya di bawah bimbingan KH. Zubair Dahlan[10] bahkan juga menjadi guru bagi santri-santri di pesantren tersebut untuk disiplin ilmu yang sama yaitu ushûl fiqh atas perintah gurunya, Kiai Zubair. Gurunya yang satu ini selain ālim juga amat disiplin terhadap waktu. Kiai Sahal menggambarkan  kedisiplinan gurunya  ini  tidak pernah terlambat pada jam ngaji, sebaliknya jika santri terlambat maka tidak ada ngaji hari itu.

Beli Buku

Sebelum nyantri di Sarang sebenarnya keilmuan Kiai Sahal sudah cukup mumpuni dan luas, tetapi kematangan ilmunya di mulai dari pesantren ini, boleh dikatakan kekiyaiannya[11] bermula dari Sarang. Ketika itu Kiai Sahal yang menjadi guru di Sarang selalu pulang ke Kajen pada bulan Ramadhan, saat itu pula teman-temannya yang sekaligus juga menjadi muridnya di Sarang mengikuti Kiai Sahal ke Kajen untuk melanjutkan belajar kepadanya, hal ini berlangsung secara terus-menerus tiap kali dia pulang. Pengajian musim Ramadhan ini terus dilestarikan sampai sekarang dan mentradisi menjadi pengajian yang biasa disebut “ngaji posonan”.[12]

Ketika nyantri di Sarang selain ngaji pada Kiai Zubair, Kiai Sahal secara diam-diam mulai belajar kepada Syaikh Yasin Al-Fadany. Tetapi Kiai Sahal tentu saja tidak menganggap apa yang dilakukannya merupakan pembelajaran yang serius kerena dia belajar dengan Syaikh Yasin hanya melalui surat menyurat, saling menyangkal, membantah, dan mengajukan pertanyaan. Surat menyurat ini menjadi amat intens terutama karena Kiai Sahal dalam surat-suratnya memberikan apresiasi terhadap karya-karya Syaikh Yasin baik berupa sanggahan atau pertanyaan. Dari pembelajaran melalui surat-menyurat itu Kiai Sahal diberi sanad riwayah keilmuan Syaikh Yasin yang waktu itu dititipkan kepada KH. Baidlowi Lasem ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 1959. Hal ini membuat hati KH. Baidlowi terkejut, karena pemberian sanad berarti pengangkatan murid secara hakiki sekaligus pengakuan atas kapabilitas keilmuannya, padahal saat itu Kiai Sahal boleh dibilang masih bocah karena dia masih mondok di Sarang dan umurnya masih 26 tahun.[13]

Proses belajar Kiai Sahal dengan Syaikh Yasin kemudian berlanjut secara langsung di Makkah Al-Mukarramah, ketika pertama kali Kiai Sahal menunaikan ibadah haji pada tahun 1962, dia tinggal dan belajar di Makkah kurang lebih satu bulan. Menurut Kiai Sahal belajarnya dengan Syaikh Yasin di Makkah tidak seperti ketika di pesantren-pesantren di Indonesia. Di sana Kiai Sahal hanya beberapa kali sowan untuk ketemu dan menanyakan masalah-masalah tertentu dan menurutnya tiap kali bertanya dia tidak pernah mendapatkan jawaban secara langsung kecuali perintah membaca pada kitab-kitab tertentu.[14]

Di samping disuruh membaca sendiri dalam pembelajarannya dengan Syaikh Yasin, beliau disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaan para ulama dunia yang juga sowan pada Syaikh Yasin dan setelah selesai menjawab Syaikh Yasin hanya mengatakan “Shoh, shoh” yang berarti “Benar, benar” kepada para tamunya.

Agaknya hal ini juga beliau adopsi sebagai model pendidikannya kepada para santri di pesantren Maslakul Huda. Kiai Sahal tidak pernah menjawab secara langsung pertanyaan santri, para santri dianjurkan mencari jawabannya sendiri pada referensi-referensi tertentu. Begitupun untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan masyarakat terutama menyangkut persoalan fiqh, Kiai Sahal memberikan mandat kepada beberapa santri untuk menjawabnya sementara Kiai Sahal sendiri dalam hal itu hanya melakukan fungsi “tashih”. Jika jawabannya sudah benar maka naskah disahkan, tatapi jika masih terdapat kesalahan maka dia membuat memo bahwa jawaban masih belum benar. Tetapi dalam hal itu Kiai Sahal tidak memberikan jawaban yang benar, dengan demikian santri diharuskan membenarkan jawabnnya sampai tidak ada kesalahan[15].

Kehidupan intelektual Kiai Sahal dimulainya setelah selesai nyantri di beberapa pesantren sebagaimana dijelaskan di atas, Kiai Sahal langsung terlibat dalam berbagai macam aktifitas sejak tahun 1960-an. Pertama kalinya manjadi guru yang mengajar di pesantrennya Maslakul Huda Kajen, Pati, sekaligus sebagai pengasuhnya sejak 1963 sampai wafatnya tahun 2014. Pada saat yang sama juga mengajar di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, Pati, kemudian pada 1963 diberi amanat sebagai Direkturnya sampai wafatnya tahun 2014. Di luar institusi pesantren Kiai Sahal pernah menjadi dosen Fakultas Tarbiyyah UNCOK Pati 1974-1976, keterlibatanya sebagai dosen berlanjut di Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang 1982-1985 bersamaan dengan tugasnya di PWNU Jateng yang waktu itu menjabat Rois Syuriyah. Pergulatannya di perguruan tinggi terus berlanjut ketika Kiai Sahal dipercaya menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara sejak 1989 sampai 2014. Dan yang paling menarik perhatian adalah bahwa Kiai Sahal tercatat sebagai Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan (BPPN) sejak 1993 sampai digantikannnya lembaga tersebut dengan Komisi Nasional Pendidikan pada 2003[16]

Keterlibatan Kiai Sahal di dunia pendidikan semakin mengukuhkan dirinya sebagai tokoh pesantren (kiai), pejuang sosial yang lintas batas. Dia tidak saja bergaul dengan lingkungan pesantren tetapi juga dengan lingkungan pendidikan non pesantren dan lingkungan sosial yang lainnya, dalam hal ini perguruan-perguruan tinggi dan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Pada tahun 2003, Kiai Sahal memperoleh gelar Doktor Honoraris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, karena keilmuannya dalam ilmu fiqh dan keberhasilannya dalam pengembangan pesantren dan masyarakat, sehingga dia dikenal sebagai ahli fiqh abad modern.[17]

Setelah melalui perjalanan kehidupan yang sangat panjang baik dari dedikasinya kepada masyarakat luas, serta dalam dunia organisasi dari bawah sampai atas, akhirnya Kiai Sahal dipanggil Sang Khalik Allah Swt di usia 81 tahun, pada hari Jum’at, 24 Januari 2014.[18] (bersambung)

Beli Buku

 

Daftar Rujukan

[1] Lihat Zainul Milal Bizawie, Pondok Kajen Wetan Banon Pesantren salafiyah Dalam Lintasan Sejarah, (Pati, PAS dan Rima Prees, 2001)

[2] Lihat S. Soebardi, The Book of Cibolek, A Critical Edition with Introduction, Translation, and Notes: A Contribution to Study of Javanes Mystical Tradition, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).

[3] Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia. 2009), 688.

[4] Umur Kiai Sahal 7 tahun kalau lahirnya 17 Desember 1937, tetapi kalau lahirnya 16 Februari 1933 M, maka umurnya waktu itu 11 tahun, begitu juga ketika wafat ibundanya waktu itu 12 tahun umurnya. Lihat Tutik Nurul Jannah, Inspirasi Gerakan Ekonomi Kiai Sahal Mahfudh dalam Epistomologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, (Pati: Fiqh Sosial Institute, 2014), h. 186.   Lihat Jamal Ma’mur Asmani,  dkk, 2012, Mempersiapkan Insan Sholih- Akrom: Potret Sejarah dan Biografi Pendiri-penerus Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Margoyoso Pati 1912-2012 (1 Abad), (Pati:Perguruan Islam Mathali’ul Falah), h. 112

[5] Ichwan Sam dkk, Panduan Ulama’ Ayomi Umat: Kiprah Sosial 70 Kiai Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007), Cet. I, h. 1-2.

[6] Lihat Umdah el Baroroh dan Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, (Pati: PUSAT FISI IPMAFA, 2016), 12-13

Beli Buku

[7] Berdasarkan hasil wawancara dengan Tutik Nurul Janah (anak menantu Kiai Sahal) pada hari Kamis, 20 April 2017 di Ipmafa Kajen Pati jam 10.30-11.15

[8] Jamal Ma’mur Asmani, Biografi Intelektual KH. MA. Sahal Mahfudh, (Yogyakarta: Global Press, 2017), 20.

[9] Mujib Rohman dkk, Kiai Sahal ; Sebuah Biografi, (Jakarta: KMF Jakarta, 2012), Cet.I, h. 31. lihat juga Jamal Ma’mur Asmani, Biografi Intelektual KH. MA. Sahal Mahfudh, (Yogyakarta: Global Press, 2017), 23.

[10] KH.Zuabair Dahlan adalah ayah dari Kiai Maimun Zubair Sarang, KH.Zuabair Dahlan merupakan sahabat yang paling akrab ayah K. Sahal, KH.Mahfudh ketika belajar di Makkah sekaligus lawan diskusi paling sengit. lihat Lihat Mujib Rohman dkk, Kiai Sahal; Sebuah Biografi, (Jakarta: KMF Jakarta, 2012), Cet.I, h. 4.

[11] Ke-kiyaian dalam arti proses alamiayah menjadi kiyai yaitu karena pengakuan atas keilmuannya yang luas sehingga patut untuk diikuti dan digali ilmunya, bukan karena keturunan kiyai yang mewarisi wibawa ayahnya kemudian menjadi kiyai

[12] Mujib Rohman dkk, Kiai Sahal ; Sebuah Biografi, (Jakarta: KMF Jakarta, 2012), Cet.I, h. 38

[13] Lihat Mujib Rohman dkk, Kiai Sahal ; Sebuah Biografi, (Jakarta: KMF Jakarta, 2012), Cet.I, h. 41

[14] Perjalanan haji Kiai Sahal pada tahun 1962 tercatat sebagai jamaah haji terakhir yang masih menggunakan kapal laut dan dibutuhkan sekitar 18 hari perjalanan laut untuk mencapai pelabuhan Jeddah, 3 hari Semarang-Jakarta dan 15 hari Jakarta-Jeddah. Kebanyakan jamaah haji Indonesia waktu itu tinggal di Mekkah selama 2,5 bulan karena harus menunggu giliran mendapatkan kapal dan dengan waktu yang sangat panjang itu dimanfaatkan Sahal untuk menggali lebih dalam keilmuan Syeikh Yasin di kediamannya. Lihat Mujib Rohman dkk, Kiai Sahal ; Sebuah Biografi, (Jakarta: KMF Jakarta, 2012), Cet.I, h.41-43.

Beli Buku

[15] Pengalaman peneliti yang sejak 1997 – 2001 nyantri di Maslakul Huda.

[16] Biodata pribadi KH. MA. Sahal Mahfudh

[17] Lihat Ichwan Sam dkk, Panduan Ulama’ Ayomi Umat: Kiprah Sosial 70 Kiai Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007), Cet. I, 3. lihat juga Soeleiman Fadeli dan M. Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliyah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2010), Cet. III, 269.

[18]Jamal Ma’mur Asmani, Biografi Intelektual KH. MA. Sahal Mahfudh, (Yogyakarta: Global Press, 2017), 55.

Share:
Beli Buku
Avatar photo

Ulama Nusantara Center

Melestarikan khazanah ulama Nusantara dan pemikirannya yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Assalamualaikum, mhn maaf sedikit koreksi tentang berdirinya pondok pesantren Maslakul Huda thn 1990 apakah tdk salah ?sebab 1985-1988 saja saya sdh mondok disana.
    Kemudian tertulis KH.Abdullah Salah (Mbah Dullah), setahu saya KH.Abdullah Salam. Suwun mhn maaf tulisan di atas mungkin hanya salah tulis, tapi menurut sy perlu diperbaiki.