Abdul Qodir al-Mindili. Abdul Qodir al-Mindili merupakan pengajar di Masjidil Haram yang tidak mudah tergiur dengan jabatan. Ia lebih mementingkan menjadi qadîmu al-ilmi. Raja Arab Saudi pernah menawarinya untuk menjadi Qadi al-Qudat (kepala Qadhi), maka dengan penuh pertimbangan, ia menolaknya. Begitu juga ketika Presiden Soekarno menawarinya untuk menjadi mufti di Indonesia, ia menolaknya. Ia lebih suka menjadi pelayan ilmu, terlebih qadim di Masjidil Haram.
Garis Keturunan
Namanya Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib ibn Hasan. Ia lahir pada tahun 1322 (1910) di Sigalangang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ayah Qodir, Abdul Muthalib sangat mengedepankan asas keislaman, sehingga semua saudaranya mendapatkan pendidikan yang penuh religi. Selain memperoleh pendidikan agama dari ayahnya, Qodir juga memperoleh pendidikan umum. Ia pernah belajar di sekolah umum milik Belanda (HBS). Tidak sembarangan putra pribumi bisa masuk sekolah made in Belanda. Mereka kebanyakan anak pegawai Belanda atau tokoh terpandang. Kebetulan, ayah Qodir adalah seorang penghulu yang ada di daerahnya sehingga ia mudah masuk di sekolahan tersebut. Ia belajar di HBS dari 1917 hingga 1923.
Rihlah Mencari Ilmu
Usai belajar dari kampung halamannya, pada 1924, Abdul Muthalib memerintahkan Qodir untuk belajar di Kedah, Malaysia. Mulanya ia belajar kepada Syaikh Syafii al-Mindili yang masih ada hubungan kerabat dengan keluarganya. Selain kepada Syaikh Syafii al-Mindili, Qodir belajar kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar di Pondok Penyarum, Pendang, Tuan Guru Haji Idris, dan Lebai Dukun.
Tahun 1926, Qodir belajar di Madrasah Darul Saadah al-Islamiyah (Pondok Titi Gajah) pimpinan Syaikh Wan Ibrahim Abdul Qadir (Pak Chu Him). Selama 10 tahun Qodir mendalami ilmu agama di madrasah ini. Karena prestasi yang ada dalam dirinya, pemimpin madrasah tersebut mengangkatnya menjadi guru bantu untuk mengajar.
Membangun Rumah Tangga
Meskipun Qodir adalah putra orang yang mampu, namun ia tidak suka merepotkan kedua orang tuanya dalam masalah pembiayaan selama menuntut ilmu. Ia sering bekerja di ladang orang kampung, seperti menjadi buruh menanam dan menunai padi. Di sela-sela istirahatnya, Qodir sering menggunakan waktunya tersebut untuk menghafalkan kitab-kitab yang dipelajari dari gurunya. Melihat kesungguhan Qodir ini, telah membuat salah satu penduduk setempat tertarik untuk menjadikan Qodir sebagai seorang menantu. Orang tersebut menawari Qodir untuk menikahi anak perempuannya. Dengan penuh pertimbangan Qodir menerima tawaran tersebut. Dari pernikahannya ini, Allah memberi karunia 8 anak kepada Qodir, di antaranya adalah Zaki dan Muhammad.
Mencari Ilmu di Haramain
Melihat kecerdasan Qodir dalam kajian ilmu agama, Syaikh Wan Ibrahim memintanya untuk mematangkan keilmuannya di Haramain. Kebetulan di sana, Syaikh Wan Ibrahim mempunyai kakak yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syaikh Wan Ismail Abdul Qadir (Pak Da ‘Ail). Dengan senang hati ia akan menjalani titah tersebut.
Niat Qodir untuk belajar ke Makkah mendapatkan dukungan dari mertuanya. Untuk masalah pembiayaan, sang mertua dengan senang hati akan menanggungnya. Sampai di Haramain, Qodir menemui Syaikh Wan Ismail untuk mendapatkan bimbingan dan arahan darinya. Dengan penuh kesemangatan, Qodir menjalani apa yang gurunya perintahkan. Siang malam, ia selalu belajar dan belajar sampai kedua matanya berwarna merah sebab kurang tidur. Ia begitu asyik dengan kitab-kitab turast yang menjadi kesukaannya semenjak kecil. Karena bekalnya yang sudah mulai menipis semenjak kedatangannya di Haramain, Qodir sering menenangkan perutnya dengan meminum air zam-zam yang penuh dengan keberkahan. Atas izin Allah, rasa lapar dan dahaga hilang dalam diri Qodir, sehingga ia kembali semangat dalam belajar. Ia dapat menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti ilmu Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqih, Hadist, Ushul al-Hadist, Tafsir, Ushul al-Tafsir, dan Gramatika Arab.

Selain belajar kepada Syaikh Wan Ismail, Qodir juga belajar ke beberapa syaikh yang mengajar di Haramain seperti Syaikh Muhammad Ali al-Maliki, Syaikh Hassan al-Masyath, Syaikh Muhammad al-Arabi, Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki, Syaikh Muhammad Ahyad ibn Idris al-Bughuri, Syaikh Hasan ibn Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Nur Saif, Syaikh Ismail al-Fathani, Syaikh Umar Hamdan Mahrusi, dan Syaikh Abdullah Lahji.
Mengajar di Masjidil Haram
Karena prestasi Qodir dalam menyerap keilmuan syaikh-nya yang begitu memuaskan, maka ia menjadi salah satu santri kesayangan Masyayikh Haramain. Prestasi Qodir ini ber-ending kepada pengangkatannya menjadi salah seorang pengajar di Masjidil Haram setelah melalui seleksi ketat. Peristiwa itu terjadi pada 1347 H (1928). Ia menggelar halaqah di Hiswah Bab al-Umrah arah Rukun al-Syami. Adapun waktunya adalah setelah Ashar, Isya, dan Shubuh. Pengabdiannya di Masjidil Haram ini berlangsung hingga 20 Rabiul Akhir 1385 H (1965). Selama kurang lebih 25 tahun, ia mengabdikan dirinya menjadi pelayan ilmu di Masjidil Haram.
Saat ikut sumbangsih transfer ilmu di Masjidil Haram, banyak thalabah dari berbagai wilayah belahan dunia mendatangi halaqah Qodir, khususnya Melayu, Indonesia-Malaysia. Di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani, Syaikh Zakaria Bela, Kiai Maimoen Zubair, Sayyid Hamid ibn Alawi al-Kaff, Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti, dan Tuan Guru Saleh Musa dari Malaysia.
Seperti Syaikh Khatib Minangkabau
Ketika mengajar di Masjidil Haram, Qodir mengampu materi Fiqih Syafii, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Musthalahatu al-Hadist, dan Tafsir. Qodir pernah mengajar Jami’ Shahih al-Tirmidzi di Masjidil Haram pada 1350. Ia juga pernah menghatamkan kitab al-Luma’ dalam kajian Ushul al-Fiqh pada 1381 H (1961), dan kitab Fath al-Wahhab syarh Minhaju al-Tullab. Mutiara keilmuan yang disampaikan Qodir begitu memukau sehingga halaqahnya termasuk halaqah ramai dari ulama Nusantara yang mengajar di Haramain. Ia sebagaimana Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang halaqahnya ramai. Kurang lebih sebanyak 200 thalabah dari penjuru dunia menghadirinya, khususnya Melayu, Indonesia-Malaysia.
Menguasai Beberapa Bahasa
Posisi Qodir yang menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu Arab, Indonesia, dan Belanda, membuat komunikasinya selaku sebagai qodîmu al-ilmi menjadi mudah. Bila dengan orang Melayu yang masih awam dengan bahasa Arab, maka ia menggunakan bahasa Melayu untuk menyampaikan sebuah keilmuan supaya mereka paham. Begitu juga dengan bahasa Arab-nya, ia menggunakannya untuk berkomuniskasi dengan orang Melayu yang sudah lihai berbahasa Arab atau dengan orang Arab tulen. Sering ia mengajar dengan menggunakan bahasa Arab dan Melayu jika kebanyakan yang hadir adalah orang Melayu. Ia membaca teks Arab-nya sesuai dengan kaidah yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.
Karena Qodir sering menggunakan bahasa Arab dan Melayu, maka karya tulisnya juga menggunakan kedua bahasa tersebut. Ia menghasilkan sekitar 24 judul seperti Tuhfatu al-Qari’ al-Muslim fi al-Ahadist al-Muttafaq Alaiha Baina al-Imam al-Bukhari wa al-Imam al-Muslim, al-Khazainu al-Saniyyah fi Min Masyahiri Kutubi al-Fiqhiyyah li Aimmatina al-Fuqaha al-Syafi’iyyah, Risalah Pokok Qadyani, Sinar Matahari Buat Penyuluh Kesilapan Abu Hasan Al-Asy’ari, al-Mazhab atau Tiada Haram Bermazhab, Pendirian Agama Islam, Senjata Tok Haji dan Tok Lebai, Pembantu Bagi Sekalian Orang Islam dengan Harus Membaca Quran dan Sampai Pahalanya Kepada Sekalian Yang Mati, Bekal Orang Yang Menunaikan Haji, Penawar Bagi Hati, Perisai Bagi Sekalian Mukallaf, Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia (1961), Siasah dan Loteri dan Alim Ulama (1962), dan Islam: Agama dan Kedaulatan (1959). Selain kitab-kitab tersebut, Qodir juga mempunyai beberapa risalah dalam bahasa Melayu sekitar 36.
Tegas Terhadap Paham Menyimpang
Melalui karya tulisnya, Qodir berusaha menepis berbagai pemahaman yang menyimpang dari aliran Ahlsunnah wa al-Jamaah, seperti menanggapi masalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Nabi, Qodir mengarang kitab yang berjudul “Risalah Pokok Qadyani”. Untuk menangggapi golongan yang mengkritisi akidah Asy’ariyah dan amalan bermadzhab, Qodir mengarang kitab yang berjudul, “Sinar Matahari buat Penyuluh Kesilapan Abu Hasan Al-Asy’ari” dan “al-Mazhab atau Tiada Haram Bermazhab”.
Menanggapi masalah negara yang mayoritas berpenduduk umat Islam sementara undang-undang yang digunakan diadospi dari Barat semisal Belanda, Qodir mengarang kitab, “Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia”, Siasah dan Loteri dan Alim Ulama”, dan “Islam: Agama dan Kedaulatan”.

Namanya Semakin Harum
Banyaknya halaqah yang menjadi wadifah Qodir, terlebih pengajiannya yang ada di Masjidil Haram membuat namanya semakin masyhur . Tawaran mengajar silih berganti kepadanya, termasuk yang datangnya dari Afrika Selatan, tepatnya di Cape Town. Muslim Afrika Selatan (Cape Town) ini ingin menyambung tali keilmuan yang sudah terjalin lama antara ulama Melayu semenjak datangnya Syaikh Yusuf al-Maqasari (1626-1699) yang menyinari Afrika Selatan dengan ajaran Ahlusunnah wa al-Jamaah. Dengan penuh pertimbangan, Qodir tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut. Ia sudah mempunyai wadifah penting untuk mengajar di Masjidil Haram. Karena antusiasnya Muslim Afrika Selatan terhadap Qodir, sementara ia tidak bisa mengajar di Afrika Selatan, maka mau tidak mau, mereka harus menuntut ilmu kepada Qodir di Haramain yang kemudian mereka mengajarkannya kepada masyarakat Afrika Selatan.
Tawaran Menjadi Qadi al-Qudat
Merasa tertarik dengan kealiman Qodir, Raja Arab Saudi menawarinya jabatan sebagai Qadi al-Qudat dengan gaji yang berlimpah ruah, namun dengan penuh rasa tawaduk dan kesopanan Qodir menolak tawaran tersebut. Ia lebih suka menjadi pelayan ilmu di Masjidil Haram meskipun penghasilannya tidak seberapa bila dibandingkan dengan jabatan yang sang raja tawarkan.
Tawaran Presiden Soekarno
Melihat prestasi Qodir di Haramain yang menjadi pujian banyak orang, Presiden Soekarno yang saat itu sedang menjalankan ibadah haji menemuinya dan menawarkan jabatan Mufti Indonesia jika ia berkenan kembali ke negara asalnya, Indonesia. Qodir tidak bisa menyanggupi tawaran mulia dari Presiden Soekarno. Ia lebih suka menjadi qadîmu al-ilmi di Haramain. Ia pernah berujar, “khuwaidam talabah al-ilmu as-syarif bil harami al-makki (pelayan kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)”.
Sebagai pelayan ilmu, Qodir tidak pernah menyiakan-nyiakan waktunya untuk mengajar. Jika jadwal yang ditentukan untuk mengajar sudah tiba, maka dengan antusiasnya ia berangkat. Rasa sakit tidak begitu dihiraukannya demi memperoleh ridha Allah melalui butiran cahaya keilmuan yang ia tularkan kepada santri-santrinya.
Pada 1384 (1964), kaki Qodir terkena penyakit parah. Dokter menyarankan kepadanya agar berobat ke Indonesia, akan tetapi ia tidak mau meninggalkan Makkah. Ketika ditawari untuk dioperasi, Qodir menolak tawaran tersebut. Ia pernah dibawa keluarganya untuk berobat ke Madinah namun ketika merasa ajalnya segera tiba, Qodir minta dipulangkan segera. Ia ingin wafat di Makkah, tempat yang penuh dengan keberkahan. Cita-cita Qodir akhirnya dipenuhi Allah. Ia wafat di Makkah pada 20 Rabiul Akhir 1385 H (1965). Untuk pusarannya, ada di Ma’la. []
Oleh : Amirul Ulum
REFERENSI
Al-Moalimi, Syaikh Abdallah Abdurrahman, ‘Alamu al-Makkiyin : 832-1399 H (The Biography of Makkah Scholars Out Standing Male and Female : 832-1399 H). Makkah.: Dar Furqon Turost Islami, 2000.
Syuaib, Hasan bin Muhammad bin Hasan, “al Dauru al-Tarbawiyyi li Halaqati al-Ilmi bi al-Masjidlil Haram fi ‘Ahdi Mulk Abdul Aziz”, Makkah : Jamiah Ummul Qura, 1429 H.
Bela, Zakaria Abdullah, al-Jawahiru al-Hisan fi Tarajimi al-Fudhala’wa al-A’yan min Asâtidati wa al-Khalan, Beirut : Muassatu al-Furqon, 1427 H.

Ahmad, Habib, Syaikh Abdul Qadir al-Mandili Guru di Masjidil Haram, https://pondokhabib.wordpress.com, /2011/02/19